41. Decently

16 6 1
                                    

Aku memandangi taman bunga kanola yang sedang mekar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku memandangi taman bunga kanola yang sedang mekar. Angin membelai lahan luas berwarna kuning itu lembut. Bunga-bunga itu bergoyang pelan seperti menari pada alunan musik waltz yang lembut.

"Percuma saja kamu berpikir untuk lari dari sini, itu tidak akan mungkin." Pria yang mengawalku ini akhirnya buka suara. Sedari tadi, aku hanya berjalan mengikutinya. Dia tidak menoleh, begitu tegar berjalan di bawah terik matahari denga baju berwana hitam-hitam.

"Apa kau tidak kepanasan?"

Aku penasaran padanya. Pasalnya, warna hitam lebih mudah menyerap panas ketimbang yang berwarna putih. Dia tidak menjawabku, hanya bergeming dan terus berjalan.

"Mungkin, kau harus mengganti sepatumu, Tuan. Kulihat, sendal jepit lebih cocok untukmu."

Dia juga tidak tertarik untuk menjawabku.

"Hm, baiklah, aku akan diam."

Aku menghentikan langkah kakiku. Sampai dia cukup jauh, aku pun berlari ke arah sekuat tenaga. Namun, belum sempat aku berlari, dia sudah ada di depanku.

"Apa kau bisa terbang?" tanyaku keheranan.

Dia hanya terseyum miring dan menarik ransel, lalu menyeretku pulang.

"Kenapa orang di sini tidak boleh berlari?"

"Karena tidak praktis," sahutnya datar.

"Aku kangen Pak Pram. Dia laki-laki yang baik, manis dan juga sangat sopan."

"Tidak perlu repot untuk mengingatnya, suatu saat nanti kau akan melupakannya dan kamu akan dilupakan olehnya."

Aku terdiam saat mendengarnya. Pasalnya, itu terlalu mengerikan untuk dipikirkan.

"Jangan berpikir, kupingku sakit mendengar semua bising dari kepalamu," katanya lagi. "Kau ini cerewet sekali, beda dengan di dunia sana yang selalu kalem dan terlihat menawan."

Aku mencoba melepaskan diri darinya.

"Apa Tuan melihatku?"

Jika dia menjawabnya, artinya aku memang sudah diincar sejak lama. Lantas, ke mana wanita bermantel hitam itu. Lalu, gadis berambut cokelat yang meminta kecerianku, ke mana dia? Kepalaku kembali sibuk dengan semua pikiran itu. Laki-laki di depanku berbalik, "tolong diamlah!"

"Apa tidak sakit, mendengarkan semua bising orang yang ada di dekatmu?" tanyaku lagi.

"Dari mana kau tahu aku bisa membaca semua pikiran orang?"

"Dari senyummu, Tuan!"

Dia tak acuh dan terus berjalan sampai tak sadar kalau aku tidak mengikutinya dan memilih bersembunyi ke semak-semak. Aku berusaha berpikir tentang semua yang akan aku lakukan saat pulang nanti, agar dia tidak curiga. Dan rupanya hal itu pun tidak berhasil, karena sebelum aku mulai berlari menjauh, kami sudah sampai di depan rumah. Antah bagaimana caranya kami pun sampai di depan rumah secara tiba-tiba.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now