Pelukan Mama

23 4 0
                                    

Sesuai seperti yang Hinan katakan pada Mama soal dirinya yang akan pulang terlambat karena ingin membantu Pakdhe berjualan jajan, Hinan benar-benar melakukannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sesuai seperti yang Hinan katakan pada Mama soal dirinya yang akan pulang terlambat karena ingin membantu Pakdhe berjualan jajan, Hinan benar-benar melakukannya. Kini, dengan tas yang masih bertengger di bahunya, Hinan berjalan berdua dengan Pakdhe.

Tak menganggur, Hinan bertugas untuk membawa sebuah keranjang kecil yang berisi pisang cokelat dan beberapa jajanan lain juga sebagai kasir. Meskipun Hinan membutuhkan waktu untuk menjumlahnya, ia tetap dipercaya Pakdhe untuk menduduki posisi tersebut.

"Hinan nggak capek?" Pakdhe duduk di sebuah kursi kayu depan ruko kosong, kemudian disusul oleh Hinan yang masih nampak sumringah. "Nggak, Hinan senang kok, bantu Pakdhe." bibir kecil itu berucap, yang membuat Pakdhe lantas tersenyum.

Hinan walaupun kecil, ia adalah tipe orang yang pekerja keras. Bahkan tak sekali dua kali Pakdhe merasa kewalahan dengan semangat dan kegigihan yang dipancarkan oleh Hinan. Hingga memunculkan suatu tanda tanya besar di kepalanya.

Mengapa harus anak sebaik ini?

Terkadang, Pakdhe juga malu dengan Hinan. Saat dirinya lebih banyak mengeluh tentang kehidupan yang dijalaninya. Namun, saat ia lihat bagaimana Hinan menjalani hari-harinya, Pakdhe jadi minder sendiri.

Anak sekecil itu sudah bisa mengerti bagaimana caranya sabar dan menjalani kehidupan dengan senyuman. Lalu, jika anak sekecil Hinan saja bisa, mengapa ia yang sudah hampir senja malah sibuk mengeluh?

"Pakdhe, ada yang beli!" suara dengan nada nyaring itu membuat pikiran Pakdhe lantas berhamburan. Ia mengangguk kala melihat ada dua wanita yang mendekat ke arahnya sambil memberikan lembar uang berwarna ungu.

Melihat-lihat, wanita itu lantas berucap. "Ini berapa ya, Pak?" pertanyaan klasik terlontar, Pakdhe dengan cepat menjawab dan membungkus apa yang dimintai pelanggannya. Setelah rampung, Pakdhe menoleh ke arah Hinan yang melihatnya sedari tadi.

"Pakdhe melamun, ya? Hinan panggil kok nggak menyahut, Pakdhe mikirin apa?" lihat, bahkan pertanyaan yang Hinan berikan tak seperti yang sepantasnya anak SD bertanya.

"Pakdhe nggak apa-apa, kok. Oh iya, sebaiknya kamu pulang, Nan."

Hinan tampak berpikir, lalu ia anggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. "Kalau begitu, Hinan pulang ya, Pakdhe," ucapnya, sembari membereskan beberapa plastik yang tadi sempat Pakdhe keluarkan.

"Ini buat Hinan ya, karena sudah membantu Pakdhe." Hinan menerima uluran dua buah uang berwarna ungu dari Pakdhe, kemudian menyaliminya.

Ini adalah salah satu alasan Hinan membantu Pakdhe berjualan seperti tadi, karena ingin mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Hinan memang sedang mengumpulkan uang untuk membelikan Mama sebuahh hadiah di hari ulang tahunnya.

"Kalau begini, Hinan bisa semakin cepat membelikan Mama baju yang bagus." Hinan membuka pintu belakang rumahnya, kemudian menyimpan sepatu miliknya di samping rak. Hinan tak berani untuk menaruhnya di atas rak, karena Mama pernah memarahinya karena itu.

"Ma, Hinan pulang."

Dapat Hinan dengar suara langkah kaki yang kian mendekat ke arahnya, dan sudah bisa ia tebak bahwa itu adalah Mama. "Mama kenapa bawa sapu--" ucapan Hinan kalah cepat dengan gagang sapu yang menyentuh keras di kakinya.

"Kenapa baru pulang, hah?!" Hinan memejamkan mata ketika semakin lama, semakin sering juga rasa sakit yang ia rasakan di kakinya. "Ma, ampun! Hinan habis bantu Pakdhe berjualan jajan, jangan pukul Hinan lagi, Ma ... sakit," jelasnya.

"Kapan saya izinkan, hah? Kapan?!" Mama meraih lengan Hinan, kemudian mencubitnya dengan sangat keras. Saking kerasnya, Hinan bisa merasakan bahwa itu pasti akan meninggalkan warna kebiruan seperti kemarin.

Tak kunjung mendapat jawaban, Mama memutar tangan yang masih mencubit lengan kanan Hinan. Dan pastinya, itu membuat rasa sakit yang Hinan rasakan menjadi berkali-kali lipat lebihnya.

"MA, AMPUNIN HINANN!" jeritnya. Namun, Mama terlihat acuh dengan Hinan yang sudah pasti merasakan sakit yang teramat di kaki juga kedua lengannya. Tak butuh waktu lama untuk Hinan menangis karena kesakitan, bahkan kini napasnya sudah tersenggal-senggal.

Mama melepas cubitannya, kemudian mendorong Hinan hingga anak itu nyaris saja tersungkur. "SANA TIDUR!" dengan kedua tangan yang terus mengelus lengan dan juga tangisan yang belum reda, Hinan berjalan pelan ke kamarnya.

Setelah sampai, buru-buru ia duduk di bibir kasur miliknya. Anak itu menangis, dengan menggenggam uang upah dari Pakdhe dan terus menatapnya.

"Mama, terima kasih ya, sudah mau memarahi Hinan karena pulang terlambat. Tapi kaki dan lengan Hinan sakit ... Mama kenapa pukul dan cubit Hinan ...?"

Hinan memeriksa kedua lengannya. Dan benar saja, bekas cubittan dari Mama meninggalkan bekas kebiruan pada kulitnya. Dengan lembut, Hinan mengelus-elus bagian yang sakit, lalu menangis kembali.

"Ma ... sakit ..."

Semakin lama, isak tangis yang dihasilkan Hinan juga semakin jelas. Ia menggenggam uang miliknya dengan erat, seakan sedang menyalurkan rasa sakit yang ia rasakan kepada uang itu.

Merasa jika apa yang ia lakukan sia-sia, Hinan membaringkan tubuh yang masih berbalut seragam merah putih itu. Bahkan tasnya tak Hinan lepas, ia biarkan begitu saja.

"Ma, Hinan nggak bisa berhentikan air mata Hinan ... Hinan mau dipeluk Mama ..."

Hinan mengusap air mata yang masih setia mengalir deras di pipinya, kemudian Hinan mengeluarkan buku tulis dan pensil miliknya. Hinan ingin dipeluk Mama, sangat ingin. Jadi, Hinan putuskan untuk membuat Mama seolah-olah sedang memeluknya.

Dengan cara menggambar Mama di atas lembaran buku miliknya.

Hinan mulai menggambar Mama sebisa mungkin. Mulai dari kepala, rambut, tangan, kaki, mata hingga senyum yang menghiasi gambarannya. Dan setelah menurutnya sempurna, Hinan memandangi gambarannya.

"Ma, maaf ya, kalau gambar buatan Hinan jelek. Tapi Mama cantik, kok. Mama seribu kali lipat lebih cantik dari gambar jelek punya Hinan."

Setelahnya, Hinan berbaring, ia taruh buku itu tepat di sampingnya. Anak itu memposisikan tubuhnya seolah-olah sedang memeluk Mama secara nyata.

Dengan isak tangis yang masih tersisa, Hinan memejamkan matanya, "Ma ... walaupun Hinan nggak peluk Mama sungguhan, tapi rasanya hangat, Ma ..." gumamnya pelan.

"Hinan senang, Ma, bisa peluk Mama lewat buku Hinan,"

Jika ada seseorang yang melihat Hinan saat ini, mungkin ia akan berpikir bahwa Hinan itu gila. Namun, bagi Hinan, ini sudah lebih dari cukup. Walaupun tak merasakan langsung, ini sudah cukup baginya.

Cukup dengan membayangkan jika Mama sedang memeluknya secara sesungguhnya.

Hinan tahu jika pukulan Mama tak benar-benar sebuah pukulan. Hinan yakin jika Mama melakukan itu karena Mama sangat sayang padanya.

Iya, buktinya ia dipukul karena terlambat pulang ke rumah. berarti Mama tak ingin ia pulang terlambat. "Hinan juga sayang sama Mama, terima kasih ya, Ma, sudah mau khawatir dan sayang Hinan ..."

Setelahnya, Hinan benar-benar pulas. Anak itu tertidur dengan senyum yang setia terukir manis di wajahnya.

Hinan BaskaraWhere stories live. Discover now