11: Meet Cute

9 5 0
                                    

Akhir Agustus 2018.

Lilly memperhatikan pelajaran dengan saksama, mencoba meresapi ucapan Mr. Johnson. Sesungguhnya, biologi bukanlah topik yang butuh pemahaman tingkat tinggi—seringkali, yang dibutuhkan adalah ingatan kuat. Masalahnya, ingatan Lilly tidak kuat. Lilly lebih membanggakan kemampuannya menghitung dan bernalar daripada kemampuannya mengingat-ingat.

Dia mendesah. Jika saja sekolahnya tidak mewajibkan mereka mendapatkan nilai minimal B untuk seluruh pelajaran sains, Lilly pasti tidak akan repot-repot mengulang pelajaran biologi. Nilai pelajaran sainsnya yang lain sudah bagus (A untuk fisika dan A- untuk kimia). Dia bahkan tidak ingin mengambil jurusan sains saat kuliah.

Mr. Johnson memang pelit sekali memberikan nilai. Hasil ujian Lilly sesungguhnya tidak seburuk itu hingga layak menerima nilai C+ dari Mr. Johnson. Banyak sekali siswa yang tidak menyukai Mr. Johnson, dan banyak sekali siswa yang harus mengulang pelajaran ini demi mendapatkan nilai B. Meskipun yang dia alami sebenarnya lumrah terjadi, dia tetap saja tidak menyukainya.

"Sebelum pelajaran saya akhiri, saya akan memberikan tugas," kata Mr. Johnson beberapa menit sebelum bel berbunyi. "Kerjakan latihan soal di bagian belakang bab pertama dan buat rangkuman materi bab kedua. Dikumpulkan di awal pertemuan berikutnya."

Lilly mendengus mendengar tugasnya. Begitu pelajaran berakhir, Lilly segera pergi ke perpustakaan. Dia berniat mengerjakan latihan soal, tetapi hatinya menyuruhnya membaca novel saja.

Bisa dibilang, Lilly merupakan pengunjung tetap perpustakaan. Dia menyukai perpustakaan sekolahnya karena koleksinya begitu lengkap, mulai dari buku teks, buku nonfiksi, hingga novel. Lilly meminjam setidaknya satu buku setiap bulannya—sebagian besar novel, sisanya buku-buku pengembangan diri. Salah satu buku favorit Lilly yang dia temukan di perpustakaan sekolah adalah Chicken Soup for the Soul.

Setelah mengambil sebuah novel, Lilly segera menuju tempat membaca favoritnya—di antara lemari buku-buku tebal yang jarang dibuka. Dia sering membaca di sana karena tempat itu selalu sepi. Ruang baca biasanya ramai dipenuhi siswa-siswa yang mengerjakan tugas atau belajar untuk ujian, membuat Lilly tidak nyaman. Lilly meletakkan buku biologinya begitu saja dan langsung fokus membaca.

"Oh, maafkan aku. Kukira tidak ada orang di sini."

Lilly mendongak mendengarnya. Di hadapannya, seorang pemuda berdiri canggung sambil membawa laptop. Pemuda itu tersenyum kaku sambil menunjuk ke lemari di belakang Lilly. Arah mata Lilly mengikuti telunjuk pemuda itu.

"Aku ingin mengambil salah satu buku di situ," kata pemuda itu. "Bisakah kau, eh, bergeser sedikit?"

"Ah! Benar, maafkan aku."

Lilly menarik buku biologinya dan bergeser agak jauh. Diperhatikannya pemuda itu. Apa yang dia kerjakan hingga harus mengambil buku dari lemari ini? Buku-buku di lemari ini tampak seperti buku teks anak kuliahan. Jarang sekali ada yang mau menyentuhnya—siswa SMA yang waras tidak akan mau membebani pikirannya dengan buku-buku mengerikan itu. Mungkin pemuda itu sudah tidak waras.

"Maaf, aku tidak bisa tidak memperhatikan," ucap pemuda itu. "Kau sedang mengambil kelas biologi Mr. Johnson?"

Lilly tidak begitu nyaman dengan sikap sok akrab yang ditunjukkan pemuda itu, tetapi dia bertanya juga karena penasaran. "Bagaimana kau tahu?"

Pemuda itu menunjuk ke arah buku biologi Lilly. "Ada nama Mr. Johnson di lembar bukumu yang terbuka. Apa kau sedang mengulang? Mr. Johnson memang pelit memberikan nilai."

"Begitulah," kata Lilly, mengedikkan bahunya. "Aku bukan satu-satunya korban. Apa kau juga sedang mengulang?"

"Tidak. Aku cukup beruntung hingga tidak mengulang." Pemuda itu tersenyum canggung. "Omong-omong, bolehkah aku mengerjakan tugasku di sini? Buku ini berat sekali."

Lilly tidak begitu menyukainya. Namun, dia tidak mungkin mengklaim satu bagian kecil perpustakaan sebagai miliknya, jadi dia mengangguk. Lagipula, pemuda itu sepertinya tidak akan mengganggunya lagi. Pemuda itu berterima kasih, lalu duduk dan mengerjakan tugasnya.

Pemuda itu tidak mengintimidasi Lilly. Malah, dia tampak terbuka dan ramah. Lilly teringat akan misinya untuk mencari teman di tahun seniornya. Haruskah dia mencobanya dengan pemuda ini? Tidak akan terlalu sulit mencari topik percakapan, berhubung pemuda itu sudah memulainya tadi. Apakah pemuda itu akan menerimanya dengan baik?

Lilly nyaris takut untuk mencoba, tetapi dia memutuskan untuk mengajak pemuda itu berbicara. Kasus terburuknya, pemuda itu akan mengabaikannya. Namun, kasus terbaiknya adalah, Lilly mendapatkan teman baru. Rasanya bukan pilihan yang buruk.

"Kau pasti pintar sekali biologi jika bisa selamat dari penilaian maut Mr. Johnson," kata Lilly.

Pemuda itu mendongak sesaat, lalu menunduk lagi dengan senyum malu-malu. "Aku ingin mempelajari biologi kelautan saat kuliah nanti. Akan memalukan kalau nilai biologiku jelek."

"Wah, kau keren." Lilly terdiam sejenak. "Aku benci biologi. Aku lebih tertarik mengambil jurusan ekonomi. Rasa-rasanya akan lebih mudah."

"Menurutku jurusan ekonomi juga keren."

Setelah saling menukar senyum, pemuda itu mengalihkan fokus lagi kepada laptopnya. Lilly tidak punya ide topik yang bisa diangkat, jadi dia memperhatikan buku biologinya—Lilly memang menuliskan nama pelajaran dan guru yang mengampunya di sampul. Usahanya mendapatkan teman baru sepertinya gagal. Kenapa sesusah ini berteman dengan seseorang? Sebaiknya Lilly mengerjakan saja latihan soal biologi supaya dia tidak gagal dalam pelajaran itu juga.

"Kau tahu," kata pemuda itu tiba-tiba, membuat Lilly menoleh padanya, "kalau kau mau, aku bisa membantumu. Mengerjakan tugas biologi, maksudku."

Lilly terdiam bingung, sebelum dia menyadari sesuatu. Pemuda itu baru saja menawarkan kesempatan untuk membantunya mencapai dua tujuannya sekaligus: mendapatkan nilai biologi yang bagus dan mencari teman baru. Kesempatan ini terlalu langka untuk dilewatkan begitu saja. Lilly menatap pemuda itu, yang sekarang memandanginya dengan tatapan malu-malu.

"Kau yakin?" tanya Lilly. "Aku akan sangat terbantu, tetapi kau pasti punya tugas yang harus kaukerjakan. Tugas itu pasti sulit jika kau harus mengambil buku tebal itu."

"Tidak apa-apa. Aku sedang malas mengerjakan esai itu. Lagipula, tenggat waktunya masih lama sekali. Aku akan sangat senang bisa membantumu."

Lilly tidak tahu kenapa pemuda ini mau membantunya. Mereka tidak saling mengenal sebelumnya—mungkin mereka pernah sekelas, tetapi Lilly tidak pernah memperhatikan pemuda itu sebelumnya. Sesuatu yang mengherankan, berhubung pemuda itu cukup tampan. Di bawah cahaya matahari yang menyinari lorong lewat sebuah cahaya kecil, pemuda itu tampak seperti malaikat.

"Mungkin aku terkesan lancang sekali," kata pemuda itu. "Sungguh, aku tidak punya niat apa-apa. Aku terbiasa membantu teman-temanku belajar, dan kau tampak seperti membutuhkan bantuan. Jadi, yah." Pemuda itu meringis. "Pasti kesannya mengerikan, ya?"

"Kurasa tidak akan ada orang mengerikan seperti itu yang akan mendekam di salah satu sudut tersepi perpustakaan dan membaca buku setebal itu," Lilly tersenyum. Dia mengulurkan tangan, "Omong-omong, namaku Liliana Hayes. Kau bisa memanggilku Lilly."

Pemuda itu bergeser mendekat dan menyambut uluran tangan Lilly. "Thomas Lane. Senang berkenalan denganmu, Lilly. Nah, sekarang, soal apa yang harus kau kerjakan?"

Lilly menghabiskan dua jam berikutnya membahas soal biologi—dan topik-topik random lainnya—bersama Thomas. Diam-diam, Lilly merasa senang. Tugasnya selesai, dan yang tidak kalah penting, dia mendapatkan seorang teman baru. Sebuah harapan muncul di dalam hatinya; harapan bahwa tahun seniornya tidak akan menyedihkan sebagaimana yang selama ini dia bayangkan.

Thomas Lane akansangat penting baginya. Lilly tahu itu.

Reminiscing ThomasDonde viven las historias. Descúbrelo ahora