22: Faint Doubt

6 3 0
                                    

Lilly memperhatikan Thomas, yang saat ini sedang berbicara dengan Clara. Sambil mengingat-ingat wajah pemuda tadi, Lilly mencoba mencari perbedaan wajah di antara mereka, jika sungguh ada.

Sejauh ini, Lilly lebih banyak menemukan persamaan di antara mereka. Bentuk mata mereka mirip—mata Thomas sayu, dan Lilly mudah jatuh hati dengan mata seperti itu. Leher mereka sama-sama panjang, dan alis mereka tebal. Lilly tidak dapat melihat bentuk rahang dan hidung pemuda di foto, tetapi dari depan, bentuknya tidak jauh berbeda. Sayangnya Lilly belum pernah melihat Thomas tersenyum lebar sehingga tidak bisa dibandingkan dengan senyum lebar pemuda di foto.

Satu-satunya perbedaan yang bisa Lilly temukan hanyalah warna rambut mereka. Rambut pemuda di foto tadi cokelat, sementara milik Thomas yang ada di hadapannya hitam. Warna kulit mereka pun tampak sedikit berbeda—Thomas yang Lilly lihat sedikit pucat. Namun, rambut bisa saja dicat sehingga tidak bisa jadi patokan, dan warna kulit pun bisa tampak berbeda di bawah intensitas cahaya yang berbeda. Berhubung Thomas sekarang ada di dalam ruangan, sementara foto pemuda tadi diambil di luar ruangan, warna kulit mereka bisa saja berbeda.

Lilly menghela napas. Kenapa dia ingin sekali menemukan perbedaan di antara Thomas yang sekarang dia lihat dan Thomas yang ada di dalam foto? Seharusnya Lilly senang bisa melihat Thomas lagi. Seharusnya Lilly bersyukur Thomas tidak menjauh meski Lilly tidak bisa mengingatnya, dan memilih untuk tetap berada di sampingnya hingga dia mengingat kembali. Bukankah itu terdengar romantis sekali? Seorang pemuda berusaha membuat gadis yang dia cintai mengingat dan jatuh cinta lagi padanya.

Sambil berusaha mengusir keraguannya, Lilly memanggil Thomas. Ada baiknya dia mengonfirmasi langsung keraguannya pada Thomas. Lilly tidak mau menuduh Thomas sembarangan.

"Ah, ada yang cemburu," kata Clara saat mendengar panggilan Lilly. "Aku cuma ingin tahu bunga yang artinya kebahagiaan, kok, bukan merebut Thomas darimu."

Thomas hanya menyeringai. Dia duduk di sebelah Lilly. "Kenapa, White Lilly?"

"Tidak apa-apa," kata Lilly. "Aku hanya bosan. Bisakah kita membuka Instagram-mu?"

"Hm? Aku jarang pakai Instagram, jadi aplikasinya kuhapus. Apa kau mau menonton televisi saja? Mungkin ada siaran yang bagus."

Pancingan Lilly gagal. Walau begitu, jawaban Thomas cukup masuk akal. Sejauh yang Lilly tahu, aktivitas terakhir Thomas adalah ketika kelulusan yang diadakan akhir bulan Mei lalu. Dilihat dari unggahannya yang hanya diisikan foto bunga, Thomas pastilah tidak suka difoto, sama seperti Lilly. Wajar jika dia menghapus Instagram dari ponselnya jika dia tidak memakainya sesering itu.

"Yah. Padahal tadi aku melihat fotomu saat kelulusan." Lilly akhirnya mengambil ponselnya sendiri, lalu membuka Instagram. Setelah dia menemukan lagi foto Mr. Johnson, Lilly menyodorkan ponselnya kepada Thomas. "Yang ini. Kau tampak keren sekali di sini."

Thomas mengambil ponsel Lilly dan memperhatikan foto itu. "Kau benar. Aku memang tampak keren sekali."

Lilly memutar matanya. "Sempat-sempatnya kau memuji dirimu sendiri. Hei, apa yang kaulakukan dengan ponselku?"

Thomas senyum-senyum sendiri melihat ponsel Lilly, membuat gadis itu curiga. Cepat-cepat direbutnya ponselnya dari tangan Thomas. Lilly menemukan foto yang dia unggah saat kelulusan, yang tersenyum cerah sekali. Wajah Lilly memerah. Apakah Thomas tersenyum melihat fotonya ini?

"Kau cantik sekali," kata Thomas sambil tersenyum. "Aku suka melihat foto itu. Kau bahagia sekali hari itu."

Mau tidak mau, Lilly ikut tersenyum. Dilihatnya lagi foto itu. Kapan terakhir kali dia bisa tersenyum secerah itu? "Aku juga suka melihatnya. Aku sempat takut melewati tahun seniorku, jadi kelulusan ini menandakan bahwa aku sanggup melewatinya dengan baik. Sayang sekali aku tidak bisa mengingatnya."

Thomas tidak langsung membalas. "Ya, sayang sekali," katanya kemudian. "Tidak apa-apa. Itulah gunanya foto, kan? Kau bisa melihatnya lagi untuk memancing ingatanmu akan kejadian tertentu."

"Kau benar." Lilly menghela napas. Dia memperhatikan fotonya, sedikit berharap gadis yang tersenyum di dalamnya bisa meminjamkan kenangan yang dia punya. "Aku akan melihat foto ini setiap hari supaya aku bisa ingat. Omong-omong, rambutmu tampak sedikit cokelat di foto."

"Benarkah? Mungkin efek cahaya."

Lilly memperhatikan lagi foto itu. Dia mencoba memperbesar gambarnya untuk melihat detail dengan lebih jelas. Sayangnya gambar itu tidak terlalu jelas saat diperbesar. Namun, jika diperhatikan dengan lebih saksama, rambut Thomas yang tidak terkena cahaya matahari memang tampak berwarna hitam. Keraguan Lilly tidak ada buktinya. Walau begitu, dia masih merasa ada yang salah.

"Kurasa memang begitu," kata Lilly akhirnya, menyerah mencari perbedaan. Dimatikannya ponsel. "Pantas aku merasa sedikit asing saat melihatnya. Hanya saja, harusnya tidak seaneh itu, kan? Maksudku, aku tetap mengenali foto diriku sendiri. Kenapa aku tidak mengenalimu?"

"Thomas, bisakah kau menemani Lilly?" tanya Clara, menginterupsi percakapan mereka. "Ibu kami sebentar lagi juga akan pulang, jadi tidak akan terlalu lama. Kau bisa mengajak Lilly menonton Netflix saja. Kemarin dia bilang ingin menonton Always Be My Maybe."

"Kau sebaiknya pergi saja," Lilly mengusir Clara. "Kita tidak harus menonton, kok. Berbicara denganmu juga sudah menyenangkan untukku."

Thomas tersenyum. "Baiklah, biar kuberikan sebuah topik untuk kita hari ini. Sepertinya aku ingat siapa Aiden yang kausebutkan dua hari yang lalu."

"Benarkah?" Mata Lilly membelalak. Sudah lama sekali dia penasaran akan peran Aiden dalam masalahnya, tetapi ingatannya belum juga pulih. "Apa yang kauingat?"

"Aiden memang orang yang kejam untuk ukuran remaja seusia kita. Menakutkan sekali. Aku mendengar rumor dia pernah mengancam akan membunuh seseorang karena orang itu berutang." Tubuh Thomas bergidik. "Mengerikan sekali. Bagaimana bisa dia diterima di sekolah kita?"

"Seram sekali." Lilly terdiam. Kini, bayangan bahwa dia—atau juga Thomas—mengenal orang semengerikan itu membuat Lilly ketakutan. "Apa kita berteman dengannya? Atau mungkinkah kita jadi korban perundungan? Tolong katakan bahwa itu tidak benar."

"Aku, kan, murid teladan. Menurutmu aku mau berteman dengan dia?" kata Thomas dengan seringai. Saat dilihatnya ekspresi gelisah Lilly, Thomas langsung merangkulnya. "Tenang saja. Jika kita pernah dirundung olehnya, kau pasti akan ingat. Kenangan buruk biasanya lebih mudah diingat ketimbang kenangan menyenangkan. Sejauh ini, ingatanmu yang kembali hanya yang baik, kan?"

"Bagaimana kalau aku sangat ketakutan sehingga aku menekan kuat-kuat ingatan itu?" Lilly memeluk Thomas. "Jika kita tidak berteman dengannya, lalu bagaimana mungkin aku menjadi korban ledakan yang sama dengannya?"

"Sepertinya karena Tony..."

Tony? Nama itu seperti memicu sesuatu di dalam otak Lilly. Rasa-rasanya dia bisa melihat dirinya sendiri belajar bersama Thomas dan seseorang asing, yang dia tebak pastilah Tony. Dalam bayangannya, pemuda itu sedang serius belajar. Dia sempat bertanya sesuatu pada Thomas. Thomas tampak sabar sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan Tony. Lilly menggoda Tony, berkata bahwa soal itu mudah, yang hanya dibalas ketus oleh Tony.

"Aku ingat sesuatu tentang dia." Lilly melepaskan diri dari pelukan Thomas dan duduk dengan tegak. "Aku ingat kita bertiga sedang belajar bersama. Kau sabar sekali menjawab setiap pertanyaannya."

Thomas tersenyum. "Aku jadi ingin tahu bagaimana kabarnya. Aku belum mendengar kabarnya lagi sejak hari itu. Sayang sekali aku lupa di mana dia tinggal."

"Kau saja tidak ingat, apalagi aku?" Lilly tersenyum. "Omong-omong, aku akan melaksanakan perintah Clara dan mengajakmu menonton. Aku lelah sekali hingga rasanya tidak bisa berpikir. Bisakah kau mengambil laptopku di kamar?"

Thomas menurutinya. Setelahmempertimbangkan, Lilly memilih untuk menonton ulang The Good Place,berhubung Thomas belum pernah menontonnya. Lilly menyandarkan kepalanya dipundak Thomas. Meski sekarang pertanyaannya justru bertambah, dia tidak inginmemikirkan jawabannya dulu.

Reminiscing ThomasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang