#Key : Quality Time

93 28 19
                                    

"Taruna!"

"Jaya, jaya, jaya!" semua orang menaruh tangan mereka menjadi satu lalu berteriak bersama.

Usai rapat OSIS dan MPK, semua orang bubar dengan kegembiraan. Mereka melepas penat soal debat acara 17 agustus lusa nanti dengan teriakan yel-yel bersama. Kulihat dari seberang depan wajah semua orang berseri setelah lama muram. Tak terkecuali Agam, kulihat dia yang paling semangat dari yang lain.

"Siap lomba, Key?" tanya Gilbran yang entah sejak kapan sudah berada di sebelahku.

"Siap, dong!" kataku bersemangat 45.

Gilbran menarik senyum melihat seruanku. Kami berdua bercanda gurau di sana.

Aku lihat Agam ; aku mencoba membuka suara soal keinginan acara lomba lusa nanti. Namun ternyata dia malah sibuk dengan yang lain.

Sebenarnya, tak masalah juga dia mau berteman dengan yang lain. Maksudnya dalam konteks ; bercanda gurau, dan dekat. Apalagi OSIS dan MPK itu memiliki kesetiakawanan yang erat. Tapi, apakah kedekatan Naya dan Agam akhir-akhir ini bisa dibilang hanya sebagai ikatan pertemanan dalam organisasi saja? Atau yang lain?

Tanpa sadar aku mendiami gurauan Gilbran setelah melihat kedekatan Naya dan Agam di seberang sana. Agam dengan bangga merangkul Naya kedekapannya dengan sebuah senyuman yang bahkan belum pernah aku lihat sebelumnya.

***

Lelah. Sangat.

Rapat barusan adalah rapat terakhir sebelum kami menaiki tanah pertempuran sebenarnya. Sudah dua hari atau tiga hari aku tidak tidur nyenyak, harap-harap hari ini bisa terlelap. Meski bayang-bayang Agam dan Naya tepat berada dalam ingatanku, tak mau pergi begitu saja.

"Key, belum balik?" Agam tanpa ragu duduk di sampingku yang sedang menikmati es teh cekek yang aku beli di kantin tadi.

"Masih mau diem dulu," ujarku sambil minum. "Lo sendiri kok belum balik?"

"Agak males juga."

Hening seketika.

Kulihat lorong-lorong sekolah terlihat sepi, anggota OSIS dan MPK lainnya mungkin sudah pergi duluan. Lagi pula saat ini sudah sangat larut. Aneh juga kalau terus berdiam diri di bangku bata depan kelas seperti yang aku lakukan dengan Agam seperti ini. Kami hanya duduk terdiam membisu dan menikmati pemandangan lapangan basket yang sepi dengan langit sore menjadi latarnya.

Kulihat garis-garis jingga membentang luas di atas lautan kuning cerah itu. Burung-burung bernyanyi sebagai pertanda warna gelap akan segera menyapa. Di mana malam adalah cipta ; ribuan bintang akan menyerang, bulan akan menjadi tokoh utama sang malam, dan kepergian senja untuk tertidur sementara.

"Deket banget sama Naya ya," sindirku melihat wajah Agam lalu menarik pandangan pada lapangan basket lagi.

"Mana ada," kata Agam jutek.

"Kak Agam!" tiba-tiba adik kelas menyapa di lantai atas. Mereka melambai pada kami yang terperangah menatapnya dari bawah tanah.

"Oh, hai..." suara Agam melembut ketika menyapa mereka.

Aku hanya berdecih ; tak percaya dengan omongannya sekaligus cemburu dengan nada lembut itu. "Tapi emang sih, Naya cantik..." aku membuang wajah sambil menyedot minumanku yang tersisa sedikit.

"Ogah sih, sebenernya punya pacar kaya Naya," kata Agam ceplas-ceplos tak seperti biasanya. "Lagian gue udah punya Vira ngapain suka sama yang lain."

"Vira?" aku justru lebih terkejut dengan nama perempuan lain yang justru belum pernah Agam sebut dibanding nama 'Naya' atau puluhan nama adik kelas di sekolah ini lewat bibirnya langsung.

Crush, Cresh, Cursed! Where stories live. Discover now