Bab 29

661 69 49
                                    

Lagi-lagi dering ponsel membangunkanku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lagi-lagi dering ponsel membangunkanku.

Lagi-lagi ponsel Alex.

Aku membuka mataku tetapi hanya bantal kosong dihadapanku. Aku menoleh ke lenganku, Alex masih terlelap di depan payudaraku. Kepalanya berbantalkan lenganku, dan salah satu putingku masih terperangkap di antara gigi-gigi di dalam mulutnya.

Aku tidak ingin membangunkannya, karena pemandangan yang ku lihat saat ini sangat erotis. Aku tidak ingat siapa yang terlelap terlebih dahulu, aku atau Alex.

Alex terkesiap dari tidurnya, lalu membuka matanya perlahan. Ia menjauhkan mulutnya dari payudaraku, lalu dengan gerakkan cepat bangun dari posisi tidurnya. Ia menatap ke luar jendela dan cahaya matahari sangat terik dari luar menyinari kami.

Tanpa menatapku, Alex bangkit dari kasur.

"Sial, Dara, aku terlambat." Dia mengeryit, lalu bergegas masuk ke ruang penyimpanan pakaiannya dan menghilang di dalamnya.

Aku ingat Alex selalu berangkat saat matahari belum terlihat. Dia benar-benar akan terlambat.

Dering ponsel Alex mati lalu kembali berdering.

"Ada yang meneleponmu." Aku menjerit. Aku bangun dan terduduk di atas tempat tidur.

Alex bergegeas keluar dari dalam ruangan dengan sudah mengenakan celana jeans. Lalu ia mengambil ponselnya dan menjawab panggilan masuknya.

"Halo... Ya... Aku segera berangkat..," katanya. Dia mematikan panggilan dengan cepat dan memasukkan ponselnya ke saku belakang celana jeans-nya. Ia lalu kembali ke dalam ruangan.

Aku turun dari tempat tidur lalu mengambilkan sisir di atas meja. Aku menggunakan sisirnya kemarin dan aku tahu dia sedang terburu-buru. Dia mungkin akan lupa harus menyisir rambutnya terlebih dahulu.

Aku melangkah ke arah pintu ruang ia berganti pakaian. Aku belum pernah masuk ke dalamnya. Tetapi baru saja tiba di depan pintu, dadaku menabrak dada Alex yang muncul tiba-tiba dari dalam.

Alex meraih lenganku, menahanku agar tidak jatuh, dan aku memang hampir terjatuh jika ia tidak memegangiku.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya sambil mengalungkan kaus di kepalanya lalu menarik kain itu turun menutupi dadanya, tubuhnya.

Aku menyerahkan sisir di tanganku padanya. Dia menatap sisir lalu menatapku dengan penuh rasa terima kasih di matanya.

"Apa jadinya aku tanpamu," katanya dengan tersenyum.

Aku tersenyum, pipiku memerah karena kalimat berlebihannya membuatku tersipu. Alex berjalan melewatiku, lalu berhenti saat menatap ke lantai dan kondom-kondom yang ia lemparkan masih tercecer di lantai.

Aku menatap lantai lalu menatap Alex. "Pergilah. Aku akan membereskannya."

Lebih penting baginya untuk pergi sekarang daripada membersihkan lantainya saat ini.

Alex mendekatiku dengan dua langkah panjang dan cepat, lalu menciumku dengan cepat juga.

"Aku berangkat." Ia berpamitan lalu dengan tangannya yang satu menggenggam jaket dan sisir, tangannya yang lain meraih kunci mobil dan kartu untuk membuka pintu lalu pergi dan menghilang di balik pintu.

Tiba-tiba dering ponsel terdengar lagi.

Kali ini jelas dari ponselku.

Aku berbalik lalu meraih ponselku. Aku mengeryit karena Efran kembali meneleponku.

Aku tidak menjawabnya, aku membiarkan ponselku berdering.

Lalu setelah deringnya berhenti, ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk.

Alisku semakin menyatu karena keryitanku semakin dalam saat membaca pesan dari Efran.

Dimana dirimu?

Baru saja aku akan berpikir mengapa ia meneleponku, layar ponsel menampilkan nama Bianca kali ini. panggilan masuk dari Bianca.

Jatungku berdebar kencang. Aku tidak tahu apa yang terjadi tetapi aku tiba-tiba merasa khawatir. Bianca dan Efran meneleponku, pagi-pagi, Bianca bahkan seharusnya belum bangun sekarang, sepagi ini.

Lagi-lagi aku ingin tidak menghiraukan panggilan dari Bianca, karena aku tidak siap mendengar seandainya ia mengatakan sesuatu yang menakutkan. Tetapi tanganku bergerak tanpa sadar menggeser, menjawab panggilannya. Aku lalu meletakkan ponsel ke telingaku, dengan perhatian penuh.

"Halo, Dara? Astaga, Ra. Dari mana saja kau? Efran mencoba menghubungimu berulang kali sejak kemarin." Bianca terdengar kesal dari ujung panggilan.

Aku mengeryit. Jadi Bianca tahu Efran meneleponku sejak kemarin. Jantungku semakin cepat berdetak.

"Ada apa?" Aku bertanya pelan.

Bianca menghembuskan nafas berat. "Ibumu pingsan dan sekarang masih tidak sadarkan diri di rumah sakit," katanya sedikit menjerit.

Tanganku bergetar, aku membelalakkan mataku. Ibu? Pingsan?

Aku menurunkan ponsel dari telingaku, lalu dengan air mata mulai menusuk mataku, sesuatu seperti pisau menusuk hatiku. Aku seperti ingin menangis.

Aku menoleh kesana-kemari mencari apa saja yang bisa menutupi tubuh telanjangku. Aku harus segera pulang. Sekarang juga.

Mataku menemukan kaus putihku di atas lemari lalu tanpa mengenakan dalaman satupun, aku memasukkan tubuhku ke dalam kaus itu. Aku tidak peduli seperti apa penampilanku sekarang, karena pikiranku kabur, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Aku meraih kartu cadangan lalu dengan cepat mengenakan sandal jepit. Aku berlari secepat yang aku bisa ke arah lift ketika aku berhasil keluar dari apartemen Alex. Tetesan air mata mulai jatuh dari sudut mataku. Pintu Lift terbuka saat aku masih berlari menujunya. Sosok Efran muncul di balik pintu lift, membuat tubuh lemasku jatuh ke lantai ketika aku tiba di depan lift.

Efran terbelalak karena terkejut. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku takut tidak bisa pulang dan menemui ibuku, tetapi melihat Efran membuatku lega. Setidaknya Efran akan membantuku. Lagi-lagi aku terus mengandalkan dan menyusahkannya. Meskipun begitu, melihatnya sekarang membuatku bisa melepaskan kekhawatiranku dan hanya perlu menangis.

Efran dengan cepat menunduk mensejajarkan dirinya dengan aku yang masih di lantai.

"Alex, Sialan." Dia menggeram kesal.

~bersambung

Jangan lupa vote,
Komen dan follow ygy 😊

.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Rose Thorns: Dara's Love Journey #1 Where stories live. Discover now