8- Peristiwa Mengerikan

167 35 0
                                    

Hanzel menahan napas, tangannya sudah berkeringat. Rasa takut menjalarinya saat bau alkohol dari seseorang di sebelahnya tercium, begitu menyengat hingga membuatnya mual.

Sejak tadi, lelaki berusia 30-an itu terus bergeser ke arahnya, padahal kursi dalam angkot masih luas karena hanya ada mereka berdua di dalam kendaraan.

"Cantik! Ikut Abang pulang, yuk!"

Gadis dengan make up yang masih menghiasi wajahnya itu menoleh takut lalu kembali menggeser posisi duduknya sampai mentok ke badan mobil bagian belakang. Ia merutuk, menyesali tindakan menghindarnya dari Abra dan terpaksa menaiki angkot dengan buru-buru. Awalnya hanya ada dirinya sebagai penumpang, tapi lelaki di sampingnya kemudian naik dari pertigaan dan langsung bersikap kurang ajar.

"Turun di mana, Cantik?"

Hanzel berjengkit merasakan colekan di lengannya yang tertutup kardigan hitam. Terang saja ia bertambah takut karena lelaki hidung belang di sampingnya semakin mepet.

"M-mas, bisa geser nggak?" cicit Hanzel lalu menunjuk ke belakang lelaki itu. "Kursinya masih luas."

Ucapannya diabaikan. Jelas saja, lelaki di sebelahnya berada di bawah pengaruh alkohol. Seharusnya supir angkot tidak membiarkan orang mabuk menaiki kendaraannya.

Sekuat tenaga Hanzel menahan tubuh lelaki itu dengan lengannya. Haruskah ia turun sekarang? 

"Wow, seksi!"

Hanzel refleks menutupi rok yang tersingkap dengan tas. Dengan tangan bergetar Hanzel mengambil ponsel dari saku jaket. Mencari kontak Gamma dan berusaha meneleponnya. Namun, lelaki itu tak mengangkat sampai panggilan ke lima.

Tak kehabisan akal, ia mengirimi Gamma pesan. Hanzel bahkan sudah tidak bisa mengetik dengan benar saking takutnya. Hanzel menatap supir angkot yang hanya diam, padahal ia yakin lelaki paruh baya itu melihat apa yang terjadi padanya.

Mata gadis itu membeliak merasakan sesuatu mendarat di pahanya dan terus naik. Untuk sesaat Hanzel membatu. Jantungnya berdegup sangat keras hingga membuatnya kesulitan bernapas. Hanzel berusaha mengangkat tangannya karena tubuhnya tiba-tiba sulit sekali digerakan. Mulutnya bahkan terasa kaku untuk sekedar berteriak. Wajah lelaki itu mendekat dengan cepat, Hanzel mencoba menghindar, tapi sayang, bibir hitam tersebut mengenai wajahnya.

Mata Hanzel membeliak. Mengumpulkan seluruh nyawanya, ia mendorong sekuat tenaga hingga tubuh lelaki itu membentur badan mobil.

"Brengsek!" pekiknya, "berhenti, Pak! Berhenti!"

Namun, mobil masih terus melaju, padahal Hanzel sudah berteriak dengan sangat keras. "Berhenti, sialan!"

Umpatan keluar dari bibirnya sebelum kemudian tubuhnya hampir tersungkur karena mobil yang direm mendadak.

Melihat lelaki tadi hendak bangkit, Hanzel mengangkat kaki untuk menendang perutnya keras hingga terdengar benturan, tubuhnya yang tidak seimbang kembali terkapar.

Dengan terhuyung, Hanzel melompat lalu menatap ke arah supir angkot dengan amarah penuh. "Bapak tuli? Nggak punya anak perempuan, hah?"

"Sialan!" umpatnya dengan suara bergetar. Ada keterkejutan di wajah lelaki seumuran ayahnya. Namun, Hanzel tidak peduli karena ia sangat benci dengan lelaki tak memiliki hati nurani itu.

Tak ada jawaban, sang supir malah kembali melajukan kendaraannya, berbeda dengan Hanzel, tubuhnya langsung luruh lalu tangisnya pecah begitu saja.

Apakah penampilannya terlihat semurahan itu? Padahal Hanzel hanya pulang bekerja dan tidak bermaksud menggoda siapapun. Beberapa rekannya yang lain juga mengenakan rok seperti dirinya, bahkan ada yang lebih pendek, tapi kenapa harus Hanzel yang mengalami hal seperti ini?

Seandainya KitaWhere stories live. Discover now