1. Titik Nadir dan Khayal-nya

15 4 0
                                    

–𓆩⟡𓆪–

Mimpi yang berulang konon katanya merupakan peringatan.

Kronologinya sama. Tak pernah berubah selama tiga minggu berturut-turut. Dimulai dari munculnya sosok berjubah hitam yang meringkuk. Saat dia mendekat, matanya menyalang merah marah. Sakha terperanjat dan bersiap kabur. Wajah sosok itu pucat, banyak ciprat kehitaman yang mengering di kulit. Tubuhnya jangkung dan kulitnya mengkerut. Persis seperti penyihir tua dalam cerita rakyat. Terlebih saat hidung runcingnya mencuat dari tudung kepala.

Kemudian adegan berganti. Sosok jubah hitam itu dengan angkuh duduk di singgasana. Kepalanya mendongak beserta seringai lebar dan mata yang memicing. Wajahnya lebih bersih tetapi masih pucat pasi. Teriakannya menggema di seluruh ruangan, cukup memekakkan telinga. Perlahan-lahan dia mendekati Sakha yang kedua tangannya dibelenggu.

Sakha berusaha melepaskan diri walau pecuma. Belenggu di tangan terhubung dengan rantai yang berasal dari balik jubah si mata merah. Sakha tak bisa melarikan diri. Semakin keras dia berusaha, hanya menguras tenaga dan membuatnya terjungkal.

Dan dia kemudian terbangun dengan napas terengah. Sekujur tubuh sakit-sakitan juga energinya terkuras habis. Peluh membasahi pelipis bahkan piama yang dikenakan pun basah kuyup dan terasa lengket. Seakan-akan mimpi yang barusan dialami adalah kenyataan. Sakha menggelengkan kepala, itu pasti hanya khayalan saja!

Bukannya mimpi itu lebih sering disebut bunga tidur? Kalau setiap malam begini sih jadinya malas tidur!

Sakha melirik jam dan kalender di nakas samping kasur. Benda tersebut menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan tanggal dua puluh tujuh September. Dia tersenyum tipis sebelum bangkit dan meregangkan tubuh. Otot-ototnya terasa kencang setelah terbangun dari mimpi buruk.

Bicara tentang mimpi buruk, hal tersebut sudah terulang berhari-hari. Tepatnya diawali sejak sebulan lalu, sepulang dari pemakaman sang Ayah. Bahkan Sakha mengingat urutan adegan yang akan terjadi. Mimpi itu seolah mengejek hidupnya yang terasa seperti mimpi buruk sepeninggalnya Manca Rindualam.

Sakha hidup terombang-ambing setelah menghilangnya sosok tersayang dalam semalam. Selepas wisuda, dia berusaha keras mencari pekerjaan kemana-mana. Sudah satu bulan dan Sakha masih menganggur di rumah. Bermodalkan flyer online, Sakha membuka jasa joki tugas sembari menunggu panggilan wawancara dari surat lamaran yang disebar.

Pancuran air yang mengguyur kepalanya mendadak berhenti, Sakha berseru kaget saat matanya terasa perih akibat busa shampo.

"Lagi?" Reflek dia berlari ke arah wastafel untuk membasuh wajah dan sisa busa di rambut dengan air yang untungnya masih mengalir. Resiko tinggal di rusun dengan harga yang pas dengan pendapatan, Sakha memaklumi bahwa kadang-kadang saluran air di kamar mandi suka mati sendiri.

Usai membersihkan wajah, dia mendongak dan menemukan pantulan dirinya di cermin dinding. Kulit tan miliknya kian menggelap akibat kemarin menghabiskan seharian untuk pekerjaan lepas di suatu acara sebagai bagian dari panitia tambahan. Sakha mengusap wajah dan rambut hitamnya dengan handuk. Tak lupa dia lekas melilit tubuh dengan handuk baru dan mulai memasang pakaian.

Hari ini Sakha ada wawancara kerja, jadi dia mengenakan kemeja putih yang sudah disetrika. Rambutnya yang panjang seleher itu rapi dibalur gel. Dua ruas jari tabir surya dioleskan merata agar wajahnya tidak begitu kusam. Sakha tersenyum tipis pada refleksi diri sendiri.

"Optimis, Sakha."

Ini bukan kali pertaman menghadiri panggilan wawancara, tetapi hatinya bergemuruh kencang seperti belum pernah sama sekali. Beberapa waktu lalu dia wawancara dengan salah satu perusahaan yang ternama, pada akhirnya berujung tidak jelas dan Sakha rasa wawancara itu kurang memuaskan. Kali ini, Sakha harap dewi fortuna berpihak padanya.

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now