Bab 1

11 3 0
                                    

FREA tidak tahu bagaimana caranya mengejar matahari dan menggapainya.

Ketika kita masih kecil, kita punya banyak keinginan, maksud Frea cita-cita. Guru taman kanak-kanak Frea pernah bertanya 'kalau sudah besar mau jadi apa?', memang pertanyaan klasik yang sering dijawab enteng. Frea menjawab ingin jadi guru, tetapi besoknya dia mau jadi dokter, dan besoknya lagi dia bilang ingin jadi presiden supaya cepat kaya. Sontak seisi kelas menertawakannya.

Kala menginjak usia dewasa, perasaan ragu justru makin membuat Frea gusar, dan menghapus angan-angan masa kecilnya nan indah. Tertampar realita, begitulah kondisi Frea saat ini. Pada akhirnya ia terpaksa menerima tawaran pekerjaan dari bibi Judith di restoran kecilnya. Namun, hal itu Frea lakukan untuk membantu ibunya.

Dapur rumah sudah mengepul pagi-pagi menandakan ada ibu yang sibuk berkutat di dalamya demi menyiapkan sarapan terbaik. Frea turut membantu sang ibu memasak sarapan, cukup membantunya dengan tugas kecil-kecilan seperti mencuci sayur, memotong bawang sampai menangis, dan menumis. Sesekali dia terbatuk karena aroma menyeruak cabai yang menyengat hidungnya. 'Jangan mengusap mata setelah mengiris cabai' salah satu pesan yang dia camkan di benaknya, tetapi bodohnya terkadang dia lupa.

"Sarapan sudah siap."

Madeline Heather—ibu Frea—selalu menaruh usaha terbaik untuk menjaga hubungan harmonis antara ibu dan anak, salah satunya dengan makan bersama. Meskipun hanya ada hidangan seadanya, makan bersama sudah menjadi tradisi yang dipegang teguh dalam keluarga Heather, kendati tanpa sosok sang ayah yang telah lama tiada.

"Honey Sweetie, maaf ibu akan sering pulang terlambat, tidak masalah?" tanya Madeline di sela momen sarapan bersama mereka. "Belakangan ini pesanan toko membludak. Ibu jadi kewalahan," ungkapnya.

Frea mengangguk, walaupun pandangannya yang masih terfokus ke arah piring. "Ya, tidak masalah," jawabnya dengan mulut terisi makanan. Frea paham sang ibu bekerja sangat keras untuk mencukupi kebutuhannya.

Sejak kehilangan karirnya sebagai seorang perancang busana, Madeline memutuskan untuk membuka toko kue dan toko bunga di kota Oleander dengan dukungan penuh dari suaminya, Romanés Heather. Namun, setelah Romanés meninggal, semua toko terpaksa gulung tikar. Sekarang, Madeline bekerja sebagai penjahit di toko baju milik orang lain.

Setelah tradisi sarapan bersama selesai, seperti biasa setiap paginya, Frea dan Madeline akan berangkat bersama menuju halte bus terdekat di ujung jalan blok rumah mereka, tetapi keduanya menaiki bus yang berbeda. Frea meraih topi dan jaket varsity Lincoln University milik ayahnya—universitas ternama impian semua orang, termasuk Frea—yang digantung di belakang pintu kamar. Kemudian, bergerak mengikuti langkah ibunya ke arah luar rumah.

Cahaya lembut matahari menyelinap masuk melalui celah dedaunan pohon maple nan tumbuh di tepi jalan. Udara hangat bercampur lembab mengisi atmosfer kota Oleander, menciptakan suasana pagi hari nun nyaman untuk tidur lagi. Bekas hujan tadi malam menggenang di mana-mana. Frea memperhatikan penampilan dirinya dari pantulan kubangan besar. Rambut keriting brunette dengan highlight blonde yang berantakan, wajah berfrekel lengkap dengan jerawat, dan kulit cokelat yang dikata seperti jarang mandi. Frea menurunkan topi berwarna ivory-nya guna menutupi wajah.

Sesampainya di halte tujuan, bus yang dituju Frea telah terparkir menunggu penumpang. Dia bergegas menaiki bus lebih dulu dan melambaikan tangan ke arah ibunya dalam balutan blazer Panjang. "Aku berangkat."

Madeline balas melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan, Honey Sweetie."

***

"BIBI JUDITH, apakah ada pekerjaan tambahan yang bisa kulakukan?" Bukan sekali dua kali Frea melontarkan pertanyaan tersebut kepada seorang wanita berusia tiga puluh tahun di hadapannya.

Treasure HuntersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang