Bab 3

2 0 0
                                    

"KALAU ada yang macam-macam denganmu bilang saja padaku." Kai menyingsingkan sepasang lengan bajunya, bergaya sok kuat dengan muka sengaknya.

"Omong kosong, Kai. Frea mungkin akan langsung memelototinya sampai kabur," gurau bibi Judith sembari mencolek bahu Kai berulang kali, membuat pemuda berambut jabrik itu mengaduh.

Paman Dean memarkirkan mobil pick up legendarisnya di depan restoran. Kendati mobil bercat merah kusam itu sudah usang dan knalpotnya sering batuk-batuk, bibi Judith bilang tidak ada yang bisa menggantikannya. Entah karena banyak kenangan indah nan terlukis di setiap sudutnya, atau karena paman Dean terlihat tampan dengan mobil itu saat pertama kali mereka berkencan.

Pria berperawakan besar dengan kemaja kotak-kotak dan celana jeans longar berdiri di dekat mobil dengan perasaan tidak enak hati. Pasalnya kemarin, dia sudah berjanji akan menjemput Frea ke rumah, tetapi Madeline repot-repot datang ke restorannya pagi-pagi bersama Frea.

Matilda memeluk Frea erat hingga nyaris membuatnya tak bisa bernapas. "Jangan lupakan aku kalau kamu sudah jadi artis, ya." Itu kedengarannya berlebihan.

"Tidak mungkin."

"Oh ya, titip salamku untuk Camero, ya," bisik Matilda sambil cekikikan.

Frea asal mengangguk saja lantaran sulit bernapas. "Ya, tapi bisa tolong lepaskan aku."

Matilda melepaskan pelukannya dari Frea. Dia tertawa lepas, tetapi saat melihat Kai terkikik geli, tatapan mematikan langsung menyorot Kai bak sebilah belati runcing.

Sementara itu, Terrence hanya menunduk, sesekali melirik ke arah Frea malu-malu. Namun, dari tatapan matanya seolah berkata 'Stay safe'.

"Ayahmu akan senang kalau kamu memakainya." Madeline mengalungkan sebuah kalung dengan liontin pohon di leher Frea, membuat gadis itu sedikit terkejut sebab gerakan tiba-tibanya.

Frea memandangi liontin tersebut seperti menatap iris mata green lime milik ayahnya lekat. "Ya, pasti," lirihnya lantas memeluk Madeline hangat.

"Aku akan merindukanmu, Honey Sweetie," bisik Madeline dengan suara bergetar.

"Aku berjanji akan kembali." Frea menautkan jari kelingking sebagai tanda janji.

Frea tidak bisa berlama-lama mengucapkan perpisahan sementara, karena kereta dengan tujuan New Lincoln akan segera berangkat. Gadis itu naik ke dalam mobil, menempati satu-satunya kursi penumpang di sebelah kursi kemudi. Dia melambaikan tangannya ke arah luar jendela mobil.

"Siap, messy curly?" Paman Dean menyalakan mesin. Frea mengangguk sebagai isyarat lampu hijau.

Knalpot butut dan dengung mesin nan tersendat membawa mereka melaju ke jalan raya, mengikuti laju mobil lain yang mengalir layaknya aliran sungai. Musik pop dari speker mobil mengalun. Paman Dean bersenandung, sesekali terdengar lebih keras kala lagu menyentuh reff.

"Life is a highway, yeah!"

Walaupun, suara melengking paman Dean bisa memecahkan kaca mobil, tetapi menurut Frea, selera musiknya tidak bisa dianggap remeh. Makin lama, dia pun ikut menikmati alunan lagu tersebut sambil berlagak layaknya tokoh utama dalam sebuah film.

Gedung-gedung perkotaan menjulang tinggi. Kesibukan tampak begitu jelas mewarnai sudut kota; orang-orang dewasa berpenampilan rapi bergerak terburu-buru menyusuri trotoar, salah satu dari mereka berlari mengejar bus. Kios-kios dibuka hampir secara bersamaan di blok-blok kota, dan rombongan bocah sekolah dasar yang menyeberang zebra cross takala lampu lalu lintas berubah merah.

Mobil paman Dean terus bergerak, melintasi jalan dengan kanopi dedaunan maple yang berguguran. Jalan itu selalu mengingatkan Frea pada masa kecilnya saat mengunjungi festival musim gugur dan pasar mid autumn bersama kedua orang tuanya. Benar kata orang, waktu memang cepat berlalu. Kendati begitu, Frea dapat melihat bayangan dirinya di masa lalu dengan jelas; umurnya masih lima tahun kala itu, dia berjalan sambil bergandengan tangan bersama sang ayah.

Paman Dean memutar setir ke arah kiri. Mobil berbelok memasuki gerbang stasiun kereta Oleander. Usai berputar-putar mencari lahan parkir kosong, Frea beranjak turun dari mobil. Pria yang genap berusia tiga puluh lima tahun itu merangkul pundaknya, berjaga-jaga agar Frea tidak hilang di tengah keramaian. Frea mengedarkan pandangan sekeliling, tetapi sesekali menurunkan topi saat bersitatap dengan orang tidak dikenal. Di Musim panas, stasiun dipadati mayoritas oleh masyarakat lokal yang hendak berlibur ke kota pesisir. Tentu mereka tidak ingin menghabiskan liburan di kota dengan suhu dingin.

Paman Dean hanya bisa mengantar Frea sampai di pos pemeriksaan sebelum masuk ke peron. Dia pasti merindukan keponakan pertamanya yang akan pergi cukup lama.

"Good luck, messy curly!" Paman Dean menyodorkan kepalan tangan pada Frea sambil menatapnya dengan ekspresi haru.

Frea langsung menyambar kepalan tangan paman Dean. "Thanks, paman. Jangan cemaskan aku." Dia lekas balik badan dan meninggalkan ucapan selamat tinggal yang menggantung di udara.

Paman Dean melambaikan tangan sembari memandangi punggung keponakannya yang menghilang ditelan kerumunan. "Kamu mirip seperti Romanés," lirihnya.

Frea menyerahkan boarding pass beserta kartu identitasnya kepada seorang petugas. Setelah diperiksa, petugas tersebut mengembalikan kartu identitasnya. Gestur tangan kanan petugas mempersilakan Frea untuk masuk ke deretan kursi tunggu di dekat peron. Frea mengangguk sebagai ucapan terima kasih. Dia mengeratkan tas ranselnya dan membusungkan dada dengan bangga.

Selalu ada hari di mana aku bisa mengubah takdirku," batinya merasa bebas.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Treasure HuntersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang