5

158 34 0
                                    

Tiba di kafe, Rhysand sudah membuka sabuk pengamamnya. Dia sudah akan turun tapi aku menahan lengannya, membuat dia menutup kembli pintu mobilnya. Pandangan Rhysand jatuh padaku.

"Apa menurutmu diamku salah?" kutanya dia.

Dia diam. Menatap padaku lembut. "Tidak. Sama sekali tidak."

"Lalu kenapa kau marah padaku?"

Rhysand diam sejenak, dia mendesah kemudian. "Aku tidak—"

"Aku mengenalmu, Rhysand. Aku mengenalmu. Jadi jangan katakan kalau kau tidak marah."

Bola mata itu bergulir menatap mataku. Ada mata Paul di dalam bola mata itu. Meski begitu, aku tidak menemukan kesamaan sama sekali. Warnanya memang sama. Tapi cara Rhysand menatapku, dan cara Paul menatapku, berbeda.

Rhysand menatapku seolah menyatakan kalau dia bisa melakukan apa pun untukku. Dia bisa mengorbankan apa pun.

Sedangkan Paul sejak dulu menatap aku dengan lembut, seakan memberitahuku kalau dengannya, segalanya akan berjalan dengan benar.

Rhysand mendominasi, tapi dengan cara yang tepat. Cara yang seperti aku membutuhkannya. Kalau dia sudah ada, seakan aku tidak perlu membutuhkan hal lainnya. Dan kadang itu menakutkan, sejak dulu. Mata itu seakan bisa membuat aku mengatakan seluruh apa yang ingin aku sembunyikan.

"Aku memang marah," ucap Rhysand mengakui. "Tapi bukan padamu, melainkan pada diriku."

"Kenapa? Apa yang salah denganmu?"

"Karena aku datang terlambat. Aku harusnya tidak membiarkanmu bertemu dengan bajingan itu dan memberikannya waktu untuk menyakitimu. Aku seharusnya pulang lebih cepat. Rupanya empat tahu terlalu lama untuk membuat aku bisa memaafkan diriku sendiri."

"Rhysand, kenapa kau mengatakan hal seperti itu? Tidak ada yang menyalahkanmu atas kepergianmu. Semua orang mengerti. Aku pun mengerti."

"Tetap saja, seharusnya aku tidak meninggalkanmu. Paul sudah membuat aku berjanji untuk melindungimu. Tapi aku malah sibuk menyalahkan takdir yang membuat Paul pergi lebih dulu. Aku abai pada pesannya."

"Paul akan mengerti. Aku tahu itu."

Rhysand mendesah. "Kau hanya perlu tahu, Kakak Ipar, aku ada untukmu sekarang. Kau tidak lagi sendiri. Tidak akan kubiarkan siapa pun menyakitimu. Akan kubuat perhitungan dengan semua orang yang membuatmu terluka."

"Terima kasih, Rhysand. Aku sebenarnya cukup bahagia kau pulang dan bertemu denganku. Oh, juga, karena kau tidak membenciku atas kematian Paul."

"Kenapa aku harus membencimu? Paul meninggal karena sakit yang di deritanya. Kita berdua ada di sana saat dokter menyatakan kematiannya. Aku tahu kau bukan pembunuhnya."

"Ya, aku tahu kalau kau tahu. Itu membuat aku lebih senang."

Rhysand menyentuh pipiku. Dia mengusap lembut. "Jangan lagi mendengarkan siapa pun yang tidak penting untukmu, Kakak Ipar. Kau hanya perlu mendengarkan aku, ya?"

"Baik, aku akan mendengarkanmu."

Rhysand mencubit pipiku gemas.

"Aw, Rhysand!"

Aku sudah akan memukulnya, tapi dia lebih cepat meninggalkan aku. Aku sudah akan meraihnya, sabuk pengaman menahanku. Itu membuat aku hanya bisa meraih angin.

Aku segera membuka sabuk pengamanku. Menyusulnya turun dan sudah setengah berlari menghampirinya. Tapi Rhysan menempelkan jari telunjuknya di belahan bibirnya.

Aku juga menempelkan jari telunjuk dan mengangguk. Menunggu, Rhysand berteleponan yang aku dugakan dengan Elena.

"Aku akan pulang besok. Masih ada hal yang harus aku lakukan. Jangan menungguku."

Rhysand memberikan anggukan agar aku berjalan masuk. Dia meraih tanganku dan membawaku masuk ke kafe itu.

"Ya, aku mengerti. Aku tidak bersamanya."

Aku yang mendengarnya menunjuk diriku. Dia tersenyum padaku dan memberikan anggukan. Rhysand berbohong pada ibunya. Dia mengatakan tidak bersamaku, tapi di sini dia menggandeng tanganku. Dasar pria.

Seorang pelayan menyambut kami. Rhysand memberikan dua jari pada pelayan itu dan kami diantar ke ruangan pribadi.

***

Ready pdf
Harga , 30.000

Tamat jug di karyakarsa
Tungguin EBOOKNYA

Fitnah Mantan Mertua Where stories live. Discover now