#10

819 117 22
                                    

10

“We’re Actually in Love, Just Refusing to Admit it.”

Uzumaki Naruto merebahkan diri di atas sofa. Membiarkan kegelapan membungkus hatinya yang rumit.

Masih segar di ingatannya tentang bagaimana dia sekonyong-konyong menuju rumah sakit di Prefektur Tochigi hanya untuk meneriaki wanita itu, marah dengan berbagai macam emosi kompleks yang memanaskan tungku di hatinya.

Tidak. Dia tidak bermaksud untuk meminta wanita itu enyah. Apalagi mendengarnya mengatakan hal-hal yang kini dia sesali entah atas alasan apa.

Menekan tombol riset katanya?

Naruto ingin menyerukan sumpah serapah. Setelah semua hal yang mereka lakukan, bagaimana mungkin bisa kembali ke awal seolah tidak terjadi apa-apa?

Apakah Hinata sakit hati karena pengakuannya tidak dia tanggapi?

Naruto ingin sekali menggaruk hatinya yang terasa gatal. Jengah dengan rentetan kronik yang berujung pada satu kata—yang tidak ingin dia sebut bahkan jika hanya di kepala.

Baginya, cinta hanyalah hal tabu setelah kepergian orang itu. Hanya orang bodoh yang percaya bahwa cinta dapat membuat seseorang bahagia. Dan idiot jika meyakini kata ‘saling memiliki’ merupakan happy ending dari drama tersebut.

Karena nyatanya, cinta merupakan suatu katastrofe. Sebuah bencana besar yang mengguncang hidup seseorang. Terkadang, kedatangannya menyusup diam-diam, kemudian menancapkan kaki di sudut terdalam, membentuk eksistensi; yang jika beranjak akan meninggalkan jejak. Seperti dinding yang berlubang. Yang jika dibiarkan, perlahan-lahan akan mengalami reaksi kimia: mengeropos sebelum pada akhirnya runtuh. Berubah menjadi debu yang tertelan seiring darah yang mengalir. Terkadang pula, datang bagai sapuan ombak tsunami, yang menghantam karang dengan ketinggian ratusan meter hingga hancur.

Dan dia; Uzumaki Naruto menolak untuk masuk ke dalamnya, meski dia terperosok sekali pun.
Setidaknya, itulah yang dia percaya. Dia pegang teguh sebagai tuas yang menahan katrol dalam dirinya—hingga saat ini.

Segalanya tentang Hinata begitu rumit. Dia awalnya percaya kalau bekerja sama dengan wanita itu memiliki persentase kegagalan yang rendah; karena wanita itu tidak mungkin akan jatuh cinta padanya. Namun entah sejak kapan, persentase di angka minus perlahan-lahan merambah ke titik nol, yang berarti kemudinya telah goyah, sampai-sampai hati seseorang turut menepi.

Dialah orang yang menawarkan sandaran, tetapi berujung meraup kenyamanan secara sepihak. Seperti seorang raja yang menawarkan cawan madu tetapi akhirnya dialah yang menikmati rasanya seorang diri.

Egois adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya.

Jadi jika ditarik kesimpulan, dialah yang menjadi masalah. Biang kerok dari polemik ini, bukan Hinata apalagi hatinya yang telah berubah arah.

Keberadaan Shion di sisi lain hatinya hanyalah alasan yang dia cari-cari untuk dirinya sendiri, agar dia memiliki alasan tetap bertahan dari badai yang dibawa oleh Hinata. Dari gelombang tsunami yang menerpa hatinya.

“Aku ingin sendiri, maaf.”

.

| 12 Oktober 2020 |

The Liar and His Dangerous PartnerWhere stories live. Discover now