Risalah Hati

307 38 0
                                    

"Aku mau bawa Dek Ning ke rumah ini," ujar Fahmi membuat Alea yang sedang membuat sarapan menghentikan kegiatan masaknya.

Alea yang terkejut mendengar ucapan suaminya, lantas meletakkan pisau lalu membalikkan tubuhnya menatap sang suami yang juga tengah menatapnya.

"Apa kamu bilang, Mas?! Di bawa kesini? Kau bodoh atau pura pura bodoh!" Alea marah.

"Kasihan Dek Ning, Al. Dia lagi hamil besar. Aku tidak tenang dia sendirian dirumah dalam kondisi hamil besar seperti itu."

Alea tertawa mendengarnya. "Oh... kasihan ya. Perasaan dulu aku dua kali hamil besar di tinggal Mas kerja keluar kota sampai berbulan-bulan ngga masalah tuh. Mas inget ngga pas Kalina lahir Mas ada dimana? Mas sibuk mengurus kerjaan Mas yang ngga pernah ada habisnya. Tapi apa aku pernah mengeluh? Ngga Mas. Aku tangguh meski aku sangat ingin ditemani Mas di saat-saat kelahiran putri kedua kita. Tapi apa yang aku dapatkan dari Mas? Mas selalu menguatkan aku untuk melalui proses itu sendirian."

"Sekarang tiba-tiba Mas bilang mau bawa wanita itu ke rumah ini dengan gampangnya mengatakan alasan kalau dia sendirian di tengah hamil besar?! Masih kurang puas Mas menyiksa batin aku dan anak-anak?!"

"Itu beda Alea. Itu beda. Dek Ning selama ini hidup bersama keluarga terdekatnya. Berkumpul dengan banyak orang dirumahnya. Setelah ikut Mas, dia hanya seorang diri dirumah. Tidak ada teman untuk bercerita atau berkeluh kesah. Setidaknya kalau dia disini dia bisa ada teman untuk menghiburnya," jelas Fahmi.

Penjelasan Fahmi benar-benar diluar nalar Alea. Wanita itu benar-benar marah besar. Seolah tak putus masalah bertubi-tubi datang kedalam rumah tangganya semenjak Fahmi sang suami di minta menikahi Putri seorang Kiyai dimana dahulu Fahmi menuntut ilmu.

Tanpa ada ceria, tiba-tiba Ningsih datang ke dalam kehidupannya dan kini tengah mengandung buah cintanya bersama Fahmi.

"Gampang banget kamu mengucap itu Mas! Kamu benar-benar berubah Mas semenjak balik dari Pesantren lama kamu itu. Otak kamu semakin ngga waras!" Ucap Alea yang lelah berdebat. Ia memilih pergi dari dapur meninggalkan Fahmi.

"Dengan atau tanpa persetujuan mu, aku akan membawa Dek Ning kemari agar bisa akrab dengan anak-anak."

Alea pergi berlalu begitu saja. Fahmi menghela nafas melihat kepergian isteri pertamanya. Tak lama ia pun berangkat bekerja. Alea menatap kepergian suaminya dari balik jendela kamar. Air matanya kembali luruh. Ia memegangi dadanya yang terasa sakit.

"Mau sampai kapan ya Allah Engkau menguji kesabaran ku?" ucap Alea terisak. "Pak, Bu, Alea sudah tak sanggup lagi dengan pernikahan ini." Alea mengusap potret kedua orang tuanya di kampung.

Andai saja dulu Alea tidak mengikuti keinginan orang tuanya untuk mempertahankan pernikahannya dengan Fahmi, mungkin keadaan Alea tidak akan tersiksa seperti ini. Kedua orang tua Alea sangat membanggakan Fahmi meskipun kini sudah membuat mereka kecewa tapi Fahmi tetap memperlakukan kedua orang tuanya dengan baik. Itulah mengapa kedua orang tua Alea membujuk Alea untuk tetap mempertahankan pernikahannya dengan Fahmi walaupun terasa sulit.

***

"Kemasi barang-barang mu. Nanti sore aku jemput," ucap Fahmi kepada Ningsih saat keduanya sarapan bersama. Fahmi rupanya menyambangi kediaman Ningsih untuk sarapan bersama.

"Loh, memangnya kita mau kemana, Bi?"

"Aku mau bawa kamu tinggal bersama Alea dan anak-anak. Aku ngga bisa konsen bekerja dan mengurus pesantren kalau meninggalkan kamu yang lagi hamil besar seorang diri. Lebih baik tinggal bersama Alea dan anak-anak dirumah. Cepat atau lambat anak-anak harus bisa menerima kenyataan kalau ada Umi baru di rumah mereka."

"Tapi Abi, Umi gpp tinggal dirumah ini saja. Umi kerasan tinggal disini, Bi. Lagian ngga enak sama Alea dan anak-anak. Mereka pasti ngga nyaman dengan kehadiran Umi. Lebih baik Umi disini saja ya Bi."

Ningsih memohon dengan sangat tapi Fahmi tetaplah Fahmi. Ia tidak ingin isteri isterinya membantah keinginannya. Fahmi bersikeras membawa Ningsih ke rumah utama setelah menyelesaikan beberapa pekerjaannya di Pesantren. Ningsih tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menuruti keinginan suaminya.

Sekitar pukul delapan malam, Fahmi dan Ningsih tiba dirumah. Alea yang mendengar suara mesin mobil milik suaminya bersikap acuh tak acuh. Begitu pula dengan kedua putrinya Aluna dan Kalina yang sibuk mengerjakan pr sekolah mereka. Biasanya kedua putrinya langsung berhamburan menyambut kepulangan sang ayah. Tapi hari ini keduanya bersikap sama dengan sang ibu.

Aluna dan Kalina hanya membalas ucapan salam sang Ayah saat masuk ke dalam rumah. Alea berdiri dari duduknya lalu masuk ke dalam kamarnya.

"Loh, anak-anak, kok pada diam sih? Ayah bawain kalian makanan loh," ucap Fahmi membuka suara sambil mendekati kedua putrinya. Aluna dan Kalina melihat sekilas ke arah sang Ayah yang menenteng dua keresek besar yang berisi makanan kesukaan mereka.

"Nih lihat, Ayah bawa apa? Kakak sama Adek pasti suka," ucap Fahmi membuka satu kotak pizza keju kesukaan putrinya.

Ningsih belum bergerak sedikitpun. Ia hanya melihat reaksi kedua anak tirinya yang masih mengacuhkan sang ayah. Bahkan jajanan kesukaan mereka yang di bawa sang ayah pun sama sekali tidak berhasil merebut perhatian mereka kembali.

Fahmi tak berhenti memutar otak agar kedua putrinya bisa kembali seperti dulu. Aluna si sulung yang sudah lebih paham mengenai masalah rumah tangga kedua orang tuanya memilih pergi darisana. Sebelum pergi, Aluna sempat memberikan tatapan kekecewaan yang teramat sangat kepada sang Ayah dan juga isteri barunya.

"Ayah... Ayah sayang kami kan?" Tanya Aluna sebelum pergi.

"Tentu saja Ayah sayang sama Ibu, Kakak dan Adek. Kok Kakak bertanya hal itu?"

"Ngga. Ayah ngga sesayang itu sama kami. Kalau Ayah sayang, maka Ayah ngga mungkin menikahi wanita lain dan membawanya ke rumah."

Ucapan Aluna membuat Ningsih sedih. Begitu juga dengan Fahmi. Ia hanya bisa menatap kepergian putri sulungnya yang sudah beranjak dewasa.

"Itu siapa, Ayah?" Kalina menunjuk ke arah Ningsih yang masih berdiri tak jauh dari posisi Fahmi dan Kalina. Ningsih mencoba tersenyum manis kearah Kalina yang sedari tadi curi curi pandang kearahnya. Fahmi memberi kode kepada Ningsih untuk mendekat. Ia pun mengikuti instruksi suaminya.

"Adek, kenalin ini Umi Ningsih. Adek bisa panggil Umi Ning ya." Fahmi memperkenalkan Ningsih dengan putri kecilnya.

Ningsih melambaikan tangan sambil berkata halo kepada Kalina. Gadis kecil itu memilih menyembunyikan dirinya di balik tubuh sang ayah. Fahmi tersenyum melihatnya. Ternyata membujuk Kalina lebih dulu adalah salah satu tujuannya untuk bisa mendekatkan Ningsih kepada anak-anak. Ia yakin perlahan namun pasti Ningsih bisa diterima di keluarganya.

"Mulai besok adek ngga akan sendirian dirumah sepulang sekolah karena ada Umi Ning yang akan temenin adek dirumah disaat Ibu jaga toko dan kakak sekolah."

"Temenin?" Kalina tampak bingung.

Fahmi memberi kode Ningsih untuk mencoba berinteraksi dengan Kalina. Dengan senang hati Ningsih melakukannya.

"Iya adek. Nanti kalau perlu Umi yang jemput adek di sekolah ya." Ningsih mengelus tangan Kalina yang mungil.

"Wah, asik dong. Nanti adek ngga akan telat lagi di jemput sama Ibu pas pulang sekolah. Soalnya kan ada Umi yang siap jemput adek dari sekolah. Iya kan, Umi?"

"Iya sayang. Adek tenang aja. Nanti Umi standby pokoknya di gerbang sekolah."

Kalina yang masih belum paham hanya bisa manggut manggut saja mendengar perkataan kedua orang dewasa di hadapannya. Perlahan sikap dingin Kalina pun mencair. Ia pun mulai meminta jajanan yang di bawakan oleh Ayahnya termasuk pizza keju. Ningsih mulai berinteraksi dengan Kalina sementara Fahmi tersenyum melihat putri cantiknya bisa mulai akrab dengan Ningsih.

DISCOVERY OF LOVE (Season 2)Место, где живут истории. Откройте их для себя