6. Imam Sholat Maghrib

630 186 26
                                    


     Sore yang indah. Mayang menatap langit sore dengan berbinar. Terlihat lebay memang. Pasalnya sangat amat jarang sekali ia bisa keluar kantor di kala langit masih terang begini. Jam bahkan baru saja lewat tiga puluh menit dari waktu ashar. Sungguh kesempatan yang tak boleh disiakan.

      Biasanya di hari-hari premium, itu istilah Mayang untuk hari Senin hingga Kamis, Mayang baru bisa keluar kantor minimal usai maghrib. Dikala senja mulai merangkak malam. Langit mulai menggelap. Jangan ditanya lagi kenapa. Karena semua juga sudah tahu kalau Mayang nyaris selalu kebagian over time alias lembur.
 
     Tapi it's okay. Mayang selalu bilang ke diri sendiri bahwa karir gemilang selalu butuh perjuangan, ketekunan dan kesabaran. Mayang tak mau memakai istilah budak korporat yang sering dipakai para pegawai kantoran untuk dirinya sendiri. Ya Mayang tak mau posisinya disamakan dengan budak yang identik dengan manusia rendahan, tak punya hak asasi dan tak boleh membantah. Nyatanya Mayang merasa tetap tak ada hal asasi nya yang terlanggar apalagi tak bisa membantah. Membantu para seniornya yang memiliki kesibukan lebih dalam tanda kutip karena status mereka yang telah menjadi istri juga ibu. Bagi Mayang itu bukan hal yang harus dipersepsikan sebagai kesengsaraan.

      Ya suatu saat mungkin ia akan berada di posisi seperti ketiga seniornya tersebut. Menikah, punya suami dan anak sembari tetap berkarir. Dan Mayang yakin, kelak pasti ia juga butuh bantuan orang lain jika telah mencapai tahapan itu. Yaitu tahapan dimana ia mulai disibukan bukan sekedar tentang urusan dirinya sendiri. Tapi juga urusan rumah tangga.
  
      Rumah tangga? Ah ayolah May, kamu sedang berpikir apaan?....Mayang mentertawakan pikirannya sendiri.

      "Mau pulang mbak May yang cerah ceria?" Sapaan khas pak Wowo membuat Mayang kembali ke suasana sore yang tadi ia nikmati.
   
      "Iya pak. Akhirnya bisa juga pulang sore begini pak" jawab Mayang sembari mengeluarkan kunci motor dari Tote bag nya.

     "Sini sini mbak. Saya bantu keluarkan motornya" pak Wowo menawarkan diri membantu. Seperti biasanya. Bukan hanya pada Mayang saja. Tapi pada karyawan lainnya. Dengan senang hati Mayang menyerahkan kunci motornya.

     "Terus pulang sore begini rencananya mau kemana mbak May? Apa mau kencan?" Tanya pak Wowo saat motor sudah keluar dari barisan parkir.

     Heleh, kencan? Kencan sama siapa pak?...cuma jawaban di batin Mayang. Kan Mayang harus tetap pasang senyum buat pak Wowo yang baik hati dan suka membantu.

     "Nggak pak Wowo. Pulang ke tempat kos. Mau liat Netflix aja" sahut Mayang sopan.

     "Woh apa itu neplik? Kaya Korea-korea gitu ya? Mantan istri saya dulu kerajingan nonton mas-mas ganteng sipit yang rupanya menurut saya mirip semua. Kayaknya satu negara mukanya sama..."

     Ucapan pak Wowo membuat Mayang terkikik geli. Masak orang satu negara dibilang mukanya sama.

      "Iya pak. Satu negara ganteng semua" sahut Mayang asal sembari memasang helm.

     "Wah berarti saya ini nggak masuk kriteria calon imam idamannya mbak May dong. Lha muka saya item bulak gini. Matanya mendolo kayak melotot. Mana perutnya udah nggak sipek itu...." pak Wowo memang paling pintar membuat Mayang terkekeh geli.

     "Bisa jadi sih pak. Udah ya pak, May pulang dulu..."pamit Mayang yang sudah menyalakan mesin motornya.

     "Silahkan mbak May. Hati-hati di jalan. Selamat santai" jawab pak Wowo masih dengan nada canda.

     Perlahan Mayang mulai menjalankan laju motornya. Ah ramah tamah dari pak Wowo tuh nyatanya cukup membuat Mayang terhibur. Meski pak Wowo tuh suka bikin baper juga. Hihihi...enggak ah. Jangan baper sama pak Wowo. Bukan calon imam idamannya Mayang kan katanya tadi.

Love In ApprovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang