Prolog

84 12 7
                                    

     Proses pemakaman itu berlalu dengan cepat.

     Manca Rindualam, meninggalkan dunia dan putra semata wayangnya, Sakha yang terduduk di samping batu nisan dengan wajah datar. Bahkan dia tak memedulikan orang-orang yang berlarian karena hujan menghujam. Basah kuyup tubuh tak terasa kentara dirinya tengah memproses segalanya.

    Sang ayah mengaku sedang dalam perjalanan menuju Ibukota, hendak menghadiri acara wisuda Sakha keesokan harinya. Namun bukannya wisuda dengan bahagia, keduanya terakhir berjumpa di pusara. Belum sempat Sakha menjumpai jasadnya, Manca telah dikebumikan karena kondisi yang tidak memungkinkan jika dibiarkan terlalu lama. Sakha tiba di rumah duka dengan keadaan sang ayah sudah dalam peti mati.

     "Kamu pasti Sakha."

     Pemuda itu menoleh dan mendapati seorang perempuan berbaju serba putih sedang mengarahkan payung kepadanya. Lirih suaranya mem buat Sakha segera mendongak. Wajahnya tertutup oleh sebuah tudung hitam semi-transparan yang memanjang. Meski begitu, Sakha sekilas melihat senyum tipis yang tersungging di bibir sang perempuan.

     "Iya, saya Sakha. Anda ...?" Keningnya mengernyit. Bagaimana bisa perempuan ini mengenalinya? Apakah dia ada hubungan dengan sang Ayah?

    "Kamu tidak perlu tahu sekarang. Tapi pastinya kita akan bertemu lagi. Saya hanya ingin memperingatimu, untuk terus bersembunyi dari bayangan yang akan mengejar." Perempuan itu memberi jeda sambil sebelah tangannya menyeka air hujan yang membasahi wajah Sakha. "Mereka mengincar dirimu setelah ayahmu."

     Setelah menyerahkan payungnya pada Sakha, perempuan itu berbalik dan seseorang dengan sigap segera memayunginya.

     "Maksudnya, anda tahu apa yang terjadi pada ayah saya?!" Sakha setengah berteriak di tengah hujan. Sejenak dia takut suaranya tak terdengar, akan tetapi perempuan tersebut mendadak menghentikan langkah.

     "Saya harap saya pun bisa tahu, karena itu saya segera menemui kamu." Perempuan itu membalikkan tubuh. Dia juga berteriak untuk melawan nyaringnya deras hujan. "... lebih awal dari yang ditentukan," tambahnya dengan suara pelan, hanya terdengar oleh pria di samping yang kian erat memegang payung.

     "Saya ... akan menyesal menjalani hidup tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah, jadi ... bisakah anda membantu?" Sakha berseru dengan suara parau. Pita suaranya teredam setelah menangis dalam diam selama beberapa jam. Guyuran hujan tak mampu membuat tangisnya mereda, malahan sedihnya semakin tak tertahankan.

     "Saya akan coba, tapi tidak sekarang dan tidak disini. Kamu dan saya harus bersabar menunggu waktu yang tepat."

     "Sampai kapan?" Sakha bertanya memastikan.

     Perempuan itu tersenyum tipis. "Saat hari tanpa bayangan tiba, dan Baskara mencapai titik khayalnya. Saya pasti akan menjemput, persiapkan dan jaga dirimu, Sakhala Bhumi." 

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now