Bab 12

56 17 0
                                    

"Emang. Sengaja aja sih, pengen ngobrol sama lo." Farid tersenyum lebar. "Nggak mau ngopi? Tuh anak-anak pada buat satu teko besar tadi."

"Nggak deh, habis dari sini pengen langsung tidur gue, capek. Kalau ngopi, bisa nggak tidur gue," balas Kaia.

Farid terkekeh, lantas mengubah posisi duduk menjadi bersila menghadap Kaia. Ia jadi leluasa memperhatikan perempuan itu dari samping. "Tumben banget. Biasanya juga lo trabas aja kalau udah denger kata kopi."

Perempuan itu menolehkan kepala, lalu membuat kakinya selonjor. "Ya lihat situasi juga, Rid. Ya kali gue seabai itu sama kebutuhan tidur diri sendiri."

"Dasar si paling self-love."

"Harus, dong." Kaia terkekeh.

Kaia bukannya tak sadar tengah menjadi pusat perhatian, ia terlalu malas memikirkannya. Toh memang kenapa, ia dan Farid memang teman lama, jika bertemu pun sudah biasa begini, berbincang nyaman tanpa canggung.

"Jadi gimana sama si itu? Beneran?" Pertanyaan Farid sukses membuat Kaia menaruh atensi penuh, hingga menaikkan sebelah alis.

"Siapa maksud lo?"

"Yang gue bilang malam itu."

Kaia berdecak. "Udah gue bilang itu cuma gosip. Lo sama temen-temen lo aja yang terlalu konsumtif sama berita ngawur kayak gitu."

Dua tangan Farid ditumpu ke belakang, di bibirnya tersungging senyum miring. "Tapi kok gue nggak percaya ya, sama lo? Soalnya gue juga sempet denger selentingan yang sama dari temen-temen lo itu."

"Tanya aja sama dia langsung kalau nggak percaya. We really have nothing, Rid," tantang Kaia.

Sebuah kebetulan yang ... entahlah, mungkin juga sial. Ugra muncul di hadapan keduanya dengan sorot mata sayu, tampak amat kelelahan.

"Kok bisa orang sekalem dan sependiem lo mau deket sama cewek pecicilan kayak Kaia, Gra?"

Farid sialan! Kenapa pertanyaannya jadi melenceng, seolah lelaki itu sudah mengultimatum bahwa Ugra memang dengan Kaia?

Sejujurnya, Ugra dan Farid saling kenal karena beberapa kali tergabung dalam project hadrah bersama. Lebih tepatnya, Ugra sering dimintai tolong untuk menjadi vokal pengganti saat posisi vokal yang asli berhalangan. Sedang, Farid sendiri memegang darbuka di tim tersebut. Namun memang, keduanya tak akrab, hanya sebatas tahu.

"Sejak kapan Ugra kalem dan pendiam?" balas Kaia. Jelas ia tak terima mengingat Kaia tahu betul bagaimana track record Ugra.

"Kalau sama tim gue dia kalem banget."

Ugar tetap diam, berdiri tanpa mengubah posisi sedikit pun.

"Nggak ada sejarahnya Ugra kalem. Dari dulu dia lebih pecicilan dari gue tahu," balas Kaia.

"Udah kenal banget kayaknya ya, Kai?" goda Farid. Ia lantas melirik Ugra sekilas yang tengah menatapnya tajam.

"Gue nggak deket sama Kaia kayak yang lo pikirin. Tenang aja, lo punya kesempatan." Setelah lama bungkam, akhinya Ugra membuka suara.

Sadar nada dingin suara Ugra sangat kentara, Kaia memilih mengembuskan napas panjang. Ia tak mau ambil pusing.

"Beneran nih, gue punya kesempatan?" Farid kembali mengubah posisi duduk, menghadap depan. "Bagus, deh. Seenggaknya saingan berat gue saat ini cuma prinsipnya Kaia, bukan lo. FYI aja, Gra. Gue ngejar Kaia udah hampir sembilan tahun per hari ini."

Dalam remang pencahayaan karena lampu-lampu sudah dicopot, Kaia tahu rahang lelaki yang berdiri di depannya itu mengetat. Namun lagi-lagi, Kaia tak mau ambil pusing, meskipun sempat terlonjak juga Farid mengungkapnya dengan gamblang di depan lelaki itu.

Arundaya KaiaOnde histórias criam vida. Descubra agora