9. Who Are You?

36 4 0
                                    

"Aku tidak akan pernah memberikan sembarang misi untuk dirimu, darling. Kau tau itu." Ucapnya memperingati lagi kalau dia gak akan sembarangan memberi misi kepada orang yang sangat handal.

Dan ia yang hanya mengedihkan bahunya acuh, menanggapi peringatan pria yang ada dihadapannya ini. "Aku hanya mengingatkan dirimu."

"Apakah kau begitu yakin kalau dia merupakan bagian dari Mikaelson? Bagaimana kalau dia hanya bagian dari musuh-mu, Salvatore." Ucapnya, yang meyakinkan lagi pria yang ada dihadapannya lagi mengenai tuduhannya.

"Aku yakin kalau dia itu bagian dari Mikaelson. Entah dia itu ketuanya, atau hanya menjadi anggotanya saja. Kau tau bukan, menangkap anggota Mikaelson sangat-lah susah. Mereka itu seperti bunglon yang sangat tidak terlihat, serta sangat susah untuk di dapat. Jadi, segera bawa dia kalau kau sudah tau dia itu bagian dari Mikaelson." Titahnya yang sangat yakin mengenai seseorang yang telah menjadi targetnya.

"Pasti. Kau tidak perlu meragukan diriku. Kau tau sendiri bukan kalau aku sangat menginginkan Mikaelson hancur." Serunya yang ingat dan emang ingin menghancurkan sekelompok organisasi Mikaelsom. "Kalau begitu aku pulang dulu." Sambungnya, lalu bergegas pergi.

Bisa gawat kalau suaminya mencari dirinya. Suaminya berkata kalau dia tidak boleh ke mana-mana. Kalaupun dia mau pergi, harus di dampingi bodyguard.
---

Setelah sampai di restaurant semula, setelah di antar oleh Hans, ia langsung menyetopkan taksi dan masuk ke dalam, menuju mall yang di maksud.

Di pertengahan jalan, ponselnya berdering. Ia dapat melihat dial name suaminya yang ada di layar ponselnya. Padahal dia baru saja membeli ponsel dan nomor baru tadi. Tapi kenapa suaminya ini sudah tau nomor ponselnya? Menyebalkan bukan.

Darimana ia tau kalau itu nomor suaminya? Ia tau empat digit terakhir nomor suaminya. Jadi, ia tau begitu melihat nomornya. Ia juga langsung mendengus kasar, ketika mendengar suara ponsel itu yang tak kunjung diam.

Ponselnya terus berdering, namun ia tidak berniat untuk mengangkatnya. Pasti suaminya ini akan memarahinya habis-habisan kalau dia mengangkat ponselnya. Jadi, daripada di marahi, lebih baik ia tidak usah mengangkat teleponnya.

Setelah melewati hiruk pikuk perkotaan, akhirnya ia sampai di depan rumahnya. Ia segera membayar taksi, lalu turun dan masuk ke dalam rumahnya. Baru saja ia masuk ke dalam rumahnya, tangannya langsung di tarik oleh suaminya. "Kau ke mana saja? Kenapa main pergi begitu saja tanpa penjagaan? Bagaimana kalau kau terluka? Apakah terjadi sesuatu kepada dirimu?" Pertanyaan berentet yang keluar dari mulut suaminya, begitu mereka sampai di ruang keluarga.

Ia yang mendengarnya pun langsung menghela nafasnya kasar, mencoba menetralkan emosinya. Karena pertanyaan suaminya yang banyak, serta tarikan suaminya yang tiba-tiba. "Aku akan menjawab pertanyaan yang kau berikan. Tapi, kau harus diam sampai aku selesai menjawab semua pertanyaan kamu!" Serunya. Ia paling tidak suka di selak, kalau dirinya sedang berbicara.

"Pertama, aku habis berbelanja. Kedua, aku tidak suka penjagaan! Aku tidak suka menjadi pusat perhatian, dan aku bukan anak kecil lagi! Ketiga dan keempat, seperti yang kau lihat! Aku baik-baik saja tanpa adanya luka sedikit pun. Kau bisa lihat sendiri! Apa perlu aku membuka pakaian yang aku pakai agar kau bisa melihat semuanya dengan puas?" Tanyanya yang ingin membuka pakaiannya, namun langsung di tahan oleh suaminya.

"Kenapa menahan diriku?!" Rutukan kesal yang langsung ia berikan kepada suaminya yang menahan niatnya.

Sementara dia yang mendengarnya pun langsung menatap istrinya dengan spechless. Bagaimana bisa istrinya ini menawarkan diri untuk membuka pakaiannya, ketika di sini banyak sekali pria yang sedang bertugas menjadi bodyguard?

Ia langsung menghela nafasnya kasar dan langsung menggendong istrinya ini ala karung beras, menuju kamar milik mereka berdua. "Kau tau sendiri bukan, yang aku lakukan saat ini untuk menjaga dirimu? Apakah kau lupa apa yang telah terjadi dengan kita?" Ucapnya frustasi, begitu mereka tiba dikamar.

"Aku tau! Tapi mereka itu musuhnya kamu, bukan aku. Mereka tidak ada hubungannya dengan aku!" Balasnya akan peringatan suaminya ini.

"Mereka sudah melihat dirimu, sayang! Dengan begitu kau sudah masuk ke dalam ruang lingkup kehidupan aku. Musuh yang aku punya akan menargetkan dirimu sebagai kelemahan aku." Ujarnya menggeram, meremat kedua sisi bahu istrinya.

Dan ia masih setia menatap manik mata suaminya. Di sana terlihat amarah dan cemas menjadi satu. Dengan perlahan, ia langsung memegang kedua tangan milik suaminya yang ada di bahunya. Lalu mengelusnya sampai suaminya merasa tenang. Setelah merasa suaminya sudah lebih tenang dari sebelumnya, ua langsung melepaskan kedua tangan suaminya dari bahunya.

"Aku akan menuruti dirimu. Tapi, bisakah aku bertanya kepada dirimu?" Tanyanya. "Apa?" Tanya balik yang langsung suaminya berikan.

"Sebenarnya siapa dirimu, Mark Lee?" Tanyanya, yang saat ini tengah menatap suaminya dengan tatapan penug selidik. Mencari kebenaran melalui manik matanya.

"Aku hanya seorang CEO dari Lee Coorporation." Jawaban yang suaminya berikan, yang langsung dapat ia lihat kebohongan dari jawaban yang suaminya berikan. "Kau kenapa?" Tanya suaminya lagi, yang saat ini tengah menatap dirinya yang tengah terkekeh.

"Kau tau? Semakin kau bohong, semakin aku penasaran akan dirimu. Semakin ingin aku mencari tau siapa dirimu." Jawaban yang langsung ia berikan ketika mendengar pertanyaan suaminya. Lebih tepatnya ketika ia tau kalau suaminya ini tengah berbohong.

"Jangan." Seruan yang langsung suaminya berikan, sukses membuat dirinya mengerutkan dahinya penuh keheranan. "Kenapa?" Tanyanya.

"Kau tidak akan bisa menemukan apa yang kau inginkan." Seruan penuh keyakinan yang suaminya berikan, sukses membuat dirinya menyeringai. "Benarkah? Bagaimana kalau aku bisa menemukan apa yang kau inginkan?" Tanyanya, menantang suaminya.

"Kau tidak bisa, nyonya Lee. Jangan memaksakan apa yang kau tidak bisa." Seru suaminya lagi, memperingati dirinya. "Kau tau, aku semakin tertantang kalau kau memperingati itu." Sahutnya.
***

Pukul 2 malam dini hari, ia terbangun dari tidur lelapnya karena rasa lapar yang menyerang tidurnya. Beranjak dari tidurnya, dan menatap yang ada di sekelilingnya. Dahinya langsung mengkerut ketika dirinya tidak menemukan suaminya di dalam kamarnya.

Dengam perlahan, ia mulai turun dari ranjangnya. Menelusuri sekitaran kamarnya. Sampai akhirnya ia menemukan suaminya yang sedang duduk di balkon, dengan sebatang rokok yang menempel di tangannya.

"Kenapa terbangun?" Pertanyaan yang suaminya berikan yang tentunya membuat dirinya menggelinjat kaget.

Ia langsung mendesis lalu duduk di samping suaminya. Begitu ia duduk, suaminya langsung mematikan rokok yang tengah dihisapnya. "Kenapa di matikan?" Tanyanya dengan penuh menyelidik.

"Karena ada dirimu. Aku tidak ingin kau menghirup asapnya." Jawabnya.

"Kenapa belum tidur? Apakah sedang ada masalah yang menimpa dirimu?" Tanyanya lagi yang penasaran kenapa suaminya ini belum tidur.

Bukannya menjawab, ia malah terdiam sejenak lalu berucap. "Tidak, aku tidak ada masalah apapun." Jawabnya.

"Benarkah? Lalu, kenapa kau merokok? Kata orang-orang, kalau orang itu merokok apalagi merokok sendiri di malam hari, itu tandanya orang itu sedang memiliki masalah." Serunya yang tidak percaya begitu saja akan jawaban suaminya.

Ia dapat merasakan suaminya yang tengah terkekeh mendengar ucapan yang ia berikan. "Kata siapa itu? Sok tau sekali. Aku merokok hanya karena ingin. Sudah lama aku tidak menghisap benda ini." Ujar suaminya.

"Maafkan aku." Ucapannya, sontak membuat suaminya langsung menoleh menatap dirinya. "Maaf untuk apa?" Pertanyaan yang langsung suaminya berikan, yang sangat bingung atas ucapan maaf darinya.

"Maafkan aku karena telah membuat dirimu cemas, karena aku yang pergi tiba-tiba tadi siang."

MY MISSION? - MARKMINحيث تعيش القصص. اكتشف الآن