Lian
"Can we?"
"Gak ada yang gak bisa, Li. I'll do anything to keep you."
Keserakahan gue makin menjadi. Gue gak mau hilang dari lelaki ini. Gue mau Juan. Gue ingin terus melihat wajahnya sampai satu, sepuluh, dan lima puluh tahun kemudian. Memang akan lebih baik bagi kita jika kita tetap berpisah, namun akan lebih-lebih-lebih baik lagi jika kita tetap bertahan disaat rasa ingin pisah itu terus meronta tak ingin dikalahkan.
Jemarinya membelai wajah gue penuh kelembutan, "Aku gak pernah mau buat pisah dari kamu. Satu kali pun itu, aku gak pernah mau." Kini, punggung gue yang masih terbuka disentuhnya. Dia menariknya mendekat hingga tubuh kita berdua semakin rapat lagi.
"Aku minta maaf kalo aku pernah bikin hati kamu luka," gue selalu membenci Juan ketika matanya berkaca-kaca. Perempuan macam apa yang selalu tega membuat suaminya mengeluarkan air mata?
"Aku gak pernah bermaksud buat nyuekin kamu, dingin ke kamu, apalagi sampai mengacuhkan kamu. Aku justru bingung sama apa yang terjadi ke kita. Aku bingung sewaktu kamu tiba-tiba berubah. Kalau aku maksa kamu, aku takut kamu marah atau yang lebih parahnya kamu pengen pisah. Makanya aku selalu diam, Li. Asal kamu masih di rumah ini, asal kamu masih bisa aku liat pake mata sendiri, aku gak keberatan karena yang aku mau cuma kehadiran kamu. Di sini, sama aku."
"Kamu lebih dari cukup, Sayang. Jangan pernah berani bilang kalo kamu kurang. Aku gak peduli sama apa kata orang, aku gak peduli walau selamanya kita harus hidup berdua, aku gak peduli. Aku gak akan sibuk kerja lagi, aku juga gak akan membatasi kamu untuk terus bekerja supaya kamu nggak merasa dikekang. Asal satu, kamu harus tetep sama aku."
Gue meremas kemeja yang Juan pakai untuk menyalurkan rasa sakit yang kini menjalar. Tiba-tiba saja tangisan gue pecah. Gue sampai mengerang, gue menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Juan. Semua perasaan tidak ingin yang selama ini terpendam akhirnya luruh juga. Juan melihatnya, dia telah mengetahui segala rahasia yang susah payah selalu gue sembunyikan.
"Aku nggak bisa bayangin akan sehancur apa diri aku kalo suatu hari nanti kamu lebih memilih hidup dengan orang lain. Sedih kamu, susah kamu, dan bahagia kamu harus sama aku. Demi Tuhan, aku gak ikhlas kalo mesti ditinggalin kamu. I'd rather die daripada harus hidup tanpa kamu."
Juan merenggangkan pelukannya. Kini, kedua tangannya memegang sisi wajah gue dengan segaris senyum tulus yang menenangkan. Pipinya basah, ketulusan dan kasih sayang yang dimilikinya tidak perlu lagi harus dipertanyakan.
"Jangankan liat kamu sama cowok lain, baru denger kalo ada orang yang suka kamu aja, aku udah murka." Greyson maksudnya. "Kalo bosen, kalo jenuh, kalo suatu saat ada rasa hambar yang kamu rasain lagi, bilang aja ke aku. I'll do my best to fix that. Sebisaku, aku gak akan membiarkan kamu merasakan semua itu."
"Aku sayang kamu, Li, sayaaaang banget sama kamu. Izinkan aku untuk terus jadi suami kamu, jadi imam kamu." Juan mencium bibir gue tanpa meminta izin seperti biasanya. Mata gue terpejam, meloloskan banyak air mata yang berjatuhan melalui pipi hingga habis tak bersisa. Setelah semenit permainannya berlangsung, dia mengakhirinya dan membuat sesuatu di dalam diri gue menjerit karena kecewa.
"Aku bo-"
"Boleh, Juan."
Tangan gue telah lebih dulu mengalung di lehernya. Sudut bibirnya tertarik, Juan menang hari ini. Di tengah-tengah aksinya, sesuatu yang hangat- yang gue duga merupakan jari-jarinya bergerak di punggung gue untuk melepaskan kaitan bra yang gue pakai. Gue tidak perlu menjelaskan kejadian berikutnya secara detail karena gue yakin, kalian semua sudah mengerti arahnya akan ke mana.

YOU ARE READING
L O V A L I V E
FanfictionSebelum mengajukan perceraian ke pengadilan, Lian dan Juan melakukan upaya terakhirnya untuk melihat apakah masih ada kecocokan di antara mereka atau tidak. Melalui sebuah jasa layanan memperbaiki hubungan pernikahan bernama Lovalive, selama empat b...