4

201 50 0
                                    


Suara anak-anak yang tertawa dan bercengkrama terdengar ketika aku melangkahkan kaki melewati lorong sebuah rumah tua besar yang terasa asri. Sekelibat wangi cat baru terendus beberapa kali terbawa angin menyadarkanku kalau warna cat bangunan ini sudah berganti menjadi lebih cerah dari terakhir kalinya aku berkunjung.

Dinding-dinding lorong yang aku lewati ini penuh dengan bingkai foto dan gambar coretan tangan dengan pensil warna-warni yang menandakan kalau kehidupan di dalamnya tergambar dengan sangat baik. Beberapa kali langkahku terhenti untuk menatap foto-foto yang terpajang dengan senyuman terpasang di wajahku. Dari semua foto-foto yang tergantung, tak satupun tidak ada sosok Ibu di dalam gambarnya.

Rumah ini adalah tempat di mana ibu dan sihirnya yang bisa membuat anak-anaknya berkumpul. Dengan cahaya yang sinarnya tidak pernah sekalipun ada sebuah penghakiman, sekecil apapun, sumbernya ada pada hatinya dan dipancarkan lewat senyuman teduhnya.

Aku memasuki ruangan lebih dalam sampai tiba pada sebuah ruang keluarga yang luas dengan sofa dan kursi rotan terjejer rapi di depan sebuah meja besar yang dulu seingatku berisikan pajangan-pajangan milik Ibu. Namun kini meja besar itu terletak satu buah frame foto di mana ada sosok wajah cantik yang tersenyum lembut menatap kamera yang memotretnya. Blouse putih yang dikenakan beliau di sana sangat mencerminkan betapa lembut dan murninya hati beliau.

Kakiku melangkah lebih dekat ke sana. Di atas meja tak hanya terletak satu frame foto besar yang sejak tadi aku pandangi. Meja ini dijadikan altar tempat sesajian khas orang Tionghoa, ada lilin putih yang apinya menyala, Hio Lo kuningan di mana ada beberapa dupa merah yang asapnya berterbangan dan sebuah guci abu keramik berwarna putih. Ada tulisan yang menyertakan milik siapa guci abu itu.

Wherever a beautiful soul has been,

there is a trail of beautiful memories

For love is immortality

Yan Miwa Fen

1954 - 2019

Tanganku dengan perlahan terangkat untuk menyentuh guci abu keramik itu dan membuat belaian lembut di sana. Senyumanku mengembang kecil seolah kini sedang menyentuh wajah Ibu yang tersenyum ke arahku.

"Apa kabar, Ibu?" Kalimat pertamaku terlontar masih dengan membelai lembut sisi guci. 

"Aku tau, pertanyaanku tadi sangat terlambat." Senyum miris nengembang kecil di sudut bibirku. "Di tempat Ibu sekarang ... bagus, kan?" tanyaku dengan suara yang sedikit sumbang.

Aku ingat bagaimana aku memohon kepada Brie untuk membuat upacara kematian Ibu sebaik mungkin. Apa banyak orang yang datang untuk mendoakan dan menangisi Ibu hari itu? Ah, Zenaida, bagaimana kau bisa mengandalkan orang lain kalau kamu sendiri pun tidak ada di sana kala itu!

"Aku nggak tahu Ibu suka guci warna apa, tapi semoga pilihanku ini Ibu juga suka."

Brie sempat bertanya kepadaku perihal semua yang akan disiapkannya untuk upacara kematian Ibu seminggu lalu, berhubung aku memohon kepadanya untuk membuat hari itu menjadi terkendali dan berjalan baik untuk mendiang Ibu. Aku memilihkan apa-apa yang dirasa butuh setelah Brie menjelaskan perihal upacara yang akan dilaksanakan oleh pihak keluarga Ibu untuk beliau, berhubung rangkaiannya cukup padat. Pilihan guci abu ini dan foto Ibu yang mengenakan blouse putih, itu menjadi pilihanku dan syukurnya keluraga Ibu tidak keberatan sama sekali.

Brie sempat kecewa ketika aku memilih untuk tidak datang ke upacara kematian Ibu dan memilih hanya tetap di Perth dengan pikiran yang rumit. Lelaki itu melaporkan setiap hal mengenai upacara kematian Ibu yang terlaksana dengan sangat baik dan benar sesuai pesanku, Brie menyiapkan semuanya dengan indah. Ibu seorang kristiani yang punya keturunan Tionghoa, aku tidak pernah tahu apa keinginan Ibu perihal tempat istirahat terakhirnya. Namun berhubung Brie terkoneksi langsung dengan para keluarga Ibu, Brie mendapatkan informasi kalau jenazah Ibu akan dikremasi dan abunya akan disimpan di tempat para leluhurnya di Kalimantan sana.

FairwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang