7

232 42 3
                                    

 "Around 200 million pounds."

Brie dan Papi tengah membicarakan perihal nilai pengakuisisian untuk sebuah gedung yang ada di UK. Yang aku ketahui tadi Brie akan bertandang ke Singapore untuk kembali memastikan ke bursa efek mengenai ekspansi yang Adiwangsa Indefinite—salah satu ARG yang fokus untuk akuisisi properti jangkauan luar negeri—lakukan di daerah St James's, London, Inggris benar-benar telah terdaftar. Dengan begitu Adiwangsa telah resmi memiliki dua bangunan yang ada di Britania Raya.

Papi dan Brie sudah memulai perbincangan mengenai pekerjaan semenjak Brie mengatakan kalau dia harus menyelesaikan sarapan segera agar bisa terbang ke Singapur tepat waktu, sementara Papi memiliki jadwal untuk terbang ke Inggris bersama Mami untuk satu sampai dua minggu ke depan.

"A premium commercial building," batin Papi yang dibalas anggukan Brie sembari mengunyah roti lapis dari atas piringnya. "Berkali-kali Papi lihat gedungnya di sana dan memang punya prospek yang bagus kedepannya."

"In the middle of the central district business, West End, kan?" celetukku dengan santai. Aku yang tengah sibuk menambahkan selai di atas rotiku terhenti ketika mendapati Papi melirik tertarik kepadaku yang ikut berkomentar.

Aku mengedikkan kedua bahu tak peduli. "There's a lots high-end stores there if I remember correctly," ucapku setelah mengingat kota London bagian West End itu. Yang ada diingatanku tempat itu bagaikan kota Manhattan di NYC. Ramai, sibuk dan metropolitan. So upscale.

"Adiwangsa eats a lot of profits," tambahku dengan nada bangga sembari mengangguk dan menggumam kata 'sure' berkali-kali. "So I can eat this premium bread deliciously this morning. Thank you, Brie!" 

Mami yang duduk di sampingku menepuk punggung tanganku yang masih memegang pisau selai sembari memicing. "Kapan kamu bisa panggil Brie dengan cara yang benar? Dia itu kakakmu, Zenaida." Peringatan Mami yang selalu kesal jika aku tidak memanggil Brie dengan panggilan yang benar. Ini tak hanya terjadi pagi ini, tapi sudah sejak kami kecil.

Sejak dulu aku selalu memanggil Brie dengan sebutan itu. Just Brie. Brie selalu datang dengan bersahabat layaknya teman kepadaku, sampai-sampai aku tak sanggup lagi memanggilnya 'kakak', 'gege' atau 'koko', yang mana tadi Mami sebutkan dengan 'panggilan yang benar'.

Brie melirik sedikit sebelum kembali menyuap makanannya di sendok.

Aku mencibir lelaki itu yang memilih diam tanpa perlawanan, maka itu tandanya aku juga harus tutup mulut.

"Sudah, Papi justru senang kalau mereka akrab dengan panggilan nama." Papi menengahi dengan bersahaja. Sebelum Mami kembali protes, Papi lebih dulu mengeluarkan suara beliau lagi.

"Jadi kamu mau ditempatkan di mana, Zen?" tanya beliau santai, membuang obrolan mereka tadi perihal gedung-gedung mahal di Britania Raya itu.

Keningku berkerut bingung. Ditempatkan? Maksudnya tempat tinggalku? Apa Papi tahu rencanaku dan Brie soal ... tidak tinggal di rumah ini selama aku di Jakarta?

"Pardon, Pap?" balasku dengan santun.

Papi meletakkan sendok dan garpu beliau di atas piring dan melipat kedua tangannya untuk ditopang di bawah dagu.

"Sure, kamu nggak bisa Papi langsung masukin ke BOD. Kamu bisa mulai dari manager, mau pegang di mana?"

Aku melongo mendengar kalimat Papi yang menunjukan maksud dari pertanyaan sebelumnya. Jadi ini soal pekerjaan.

Brie tidak melirik sedikit pun kepadaku ketika aku menoleh utuh ke arahnya. Lelaki itu memilih untuk diam dan menghabiskan makanan di atas piring dengan santai.

FairwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang