5 [Membaranya Api]

167 22 2
                                    

Kedua kaki itu melangkah dengan terburu-buru, namun tetap berusaha agar tak membuat suara berisik. Rembulan seakan mengawasinya dari atas lautan. Cahaya yang terpantul, membantu Blaze, namun hal itu juga malah membuatnya kesulitan untuk menyembunyikan diri.

Beberapa penjaga yang hanya mengenakan celana hampir saja memergokinya. Terutama yang menyalakan api meski sudah jelas dalam peraturan dilarang menyalakan api apapun di malam hari.

Meski tertatih, tapi Blaze berhasil sampai pada tujuannya. Tanah lapang yang agak jauh dari pemukiman. Hanya ada pasir dan beberapa tunggul pohon bekas tebangan. Hawa di sini segera saja berubah menjadi berbeda, lebih dingin, anginnya berhembus lebih kencang. Bagai ribuan jarum yang menusuk kulit. Blaze yang hanya mengenakan baju singlet tanpa lengan terpaksa harus menahan gigilan akibat dingin. Kaki tanpa alas itu melangkah lebih jauh. Mendekat pada palang kayu besar yang di bawahnya duduk seseorang dalam keadaan menunduk.

"Hey! Bangunlah."

Blaze duduk bersila di depannya. Ketika anak itu membuka matanya perlahan, Blaze membuka bingkisan dari daun pisang yang dibawanya. Berisi makan malamnya yang sengaja tak dimakannya. Diserahkannya pada anak tersebut.

"Kau bisa, Petir?"

Yang ditanyai melirik sebentar, lalu mengangguk kaku. Derak rantai yang saling bergesek terdengar nyaring di antara deburan ombak di malam hari. Secara reflek Petir menghentikan gerakan tangannya. Dia mendongak, menatap Blaze yang masih duduk di depannya.

Blaze menghela napas pelan. Mengambil kembali bungkus nasi itu. "Aku akan menyuapimu."

Petir membuang wajahnya sejenak, sebelum mengangguk kaku lagi. Saat sesuap nasi disodorkan padanya, dia cepat membuka mulut. Menguyah dengan cepat, bahkan belum hancur sepenuhnya sudah ditelannya bulat-bulat. Jantungnya berdebar, rasa takut akan adanyaa seseorang melihat mereka.

"Pelan-pelan saja. Aman kok, mana ada yang mau repot-repot ke sini," bisik Blaze. Berusaha menenangkan. Nasi dalam bungkusan daun itu hampir habis. Kelihatan sekali anak di depannya begitu kelaparan. Lalu, dia diam-diam mengutuk si pemimpin tempat, pengikut-pengikutnya yang begitu setia, dan orang-orang yang mempercayainya.

"Sampah," umpat Blaze. Setelahnya meremukkan daun bekas nasi yang telah ludes habis. Sesaat kemudian, ia tersadar. "... Aku lupa bawa air."

Setelah meneguk nasi terakhirnya, Petir menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Terima kasih makanannya."

Blaze menatap Petir sebentar, lama-lama air matanya turun membasahi pipi. Direngkuhnya tubuh anak itu dalam pelukan, meski suara rantai jadi terdengar lebih nyaring sari sebelumnya.

Blaze berkali-kali menggumamkan kata maaf. Petir hanya diam, tubuhnya tak bergerak, mulutnya tak melontarkan protes. Dinikmatinya kehangatan yang dibagi Blaze. Mungkin saja, ini akan jadi malam terakhir bertemu Blaze, pikirnya.

Tanpa menyadari, seseorang yang mengenakan topi caping dan jubah, memperhatikan mereka dari atas gunung.

=••=

Duri harus puas ketika tubuhnya diguyur air laut subuh-subuh. Katanya ini prosesi penyucian setelah semalam ia pingsan di depan orang-orang yang terpenjara. Duri juga tak mengerti hingga hari ini, sekte sesat apa yang mereka anut di sini.


Ketika dia menyadari seluruh tubuhnya yang gemetar hebat perlahan mendapatkan kehangatan, membuatnya sedikit rileks. Dia menoleh pada Blaze yang masih duduk di kasur bersampingan dengannya. Tangan Blaze menggenggam lengan Duri, dari sanalah Duri dapatkan kehangatan untuk mengusir rasa dingin yang menyeruak. Wajah Blaze lebih murung dari kemarin. Meskipun pada dasarnya ia 'baru' mengenal Blaze, namun berbekal ingatan Daun, Duri rasa Blaze bukan orang yang mudah kehilangan semangatnya. Apalagi di pagi hari begini.

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Oct 07, 2023 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

Euforia [BoBoiBoy Duri]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora