여덟-08

978 130 1
                                    

Happy reading‼️

.

.

"Niel! Tolong buka pintu sayang! Itu kayaknya paket bunda udah dateng!" teriak anne dari dapur, ia sedang mencuci piring.

"Iya bundaaa!" sahut niel.

Niel terpaksa menghentikan kegiatan menggambarnya dan mulai berjalan menuju pintu utama untuk membuka-kan pintu. Mengambil paket milik bundanya.

Ceklek

"Mana om paket—om jevan?!" pekik niel terkejut.

"Om ngapain disini?! Kok om bisa tau rumah aku?!" tanya niel masih belum reda dari keterkejutan nya.

Jevan terkekeh kecil melihat ekspresi niel yang tampaknya sangat terkejut. Jevan berjongkok menyamakan tingginya dengan niel. "Halo niel, kita ketemu lagi," ucap jevan.

"Halo om jevan, hehe, iya, kita ketemu lagi," balas niel.

"Eh, om jevan kok bisa tau rumah Niel?" imbuhnya lagi.

"Rahasia.." ujar jevan membuat niel merengut.

Lagi-lagi jevan terkekeh, astaga, anaknya sangat menggemaskan.

"Jangan marah dong, nanti om beliin maina—"

"Niel, mana paket bunda?"

Deg

Suara familiar terdengar di telinga jevan. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa mendengar suara itu lagi, suara yang lembut dan sangat menenangkan.

"Niel?" cicit anne heran karena putranya tidak menyahut, anne melangkah menuju pintu utama sambil mengikat rambutnya panjangnya yang berwarna pirang.

Belum sampai di pintu utama, langkah kakinya terhenti saat melihat siapa yang sedang bersama dengan niel. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya terasa kaku, tak mampu untuk melanjutkan langkahnya.

"Bunda!" panggil niel.

Anne memejamkan matanya, tangannya mengepal erat, bukan. Ia bukan sedang menahan amarah, tapi sedang menahan air matanya yang meronta ingin turun. Anne membuka kembali matanya, dan dengan perasaan yang campur aduk kembali melanjutkan langkah kakinya.

"Anne.." lirih jevan. Anne sudah berdiri tepat dibelakang niel.

"Niel, masuk." perintah anne tegas. Tidak seperti biasanya yang selalu lemah lembut jika berbicara dengan niel.

Niel yang merasakan suasana tidak enak langsung menuruti perintah anne tanpa bantahan. Ia tahu, bundanya sedang tidak ingin di bantah.

Setelah niel masuk, jevan berdiri, berhadapan langsung dengan anne—mantan istrinya.

"Pergi, ngapain kesini?" ketus anne.

Bukannya menurut ataupun membalas perkataan anne, jevan malah memeluk anne erat dan tangisnya tumpah begitu saja. Anne sendiri hanya diam, tidak ada niatan untuk membalas pelukan itu.

"Anne, maafin aku.." ucap jevan setelah melepaskan pelukannya.

"Anne, aku tau aku brengsek, aku bajingan, dan kelakuan aku di masa lalu bener-bener nggak bisa buat di maafin. Tapi aku mohon, maafin aku,"

Anne bergeming, pandangannya menatap kosong ke arah jevan. Lidahnya kelu, seakan-akan tidak bisa untuk mengeluarkan satu kata-pun. Air mata yang semulanya masih bisa ia tahan, kini berlomba-lomba untuk keluar dari manik indahnya.

"Kenapa? Kenapa kamu datang lagi?" tanya anne tak sadar.

Jevan menggelengkan kepalanya ribut, "nggak, jangan nangis, anne. Maafin aku, tolong maafin aku.." jevan pun tak kuasa menahan tangisannya.

Jevan menarik tubuh anne untuk masuk ke dalam dekapannya. "Maaf.. jangan nangis," bisik jevan berusaha menenangkan.

"I hate you.... jevandra arsenio."

"I know that.... roseanne adeline."

••••


Hari berganti hari, setelah kejadian itu, jevan semakin rutin mengunjungi rumah anne dan juga niel.

"Ayah!"

Niel? Benar. Setelah berfikir keras, anne akhirnya memutuskan untuk memberi tahu niel kalau seorang pria yang di panggilnya om jevan itu adalah ayahnya.

Hanya itu, tidak ada yang lain.

"Ya, jagoan?" sahut jevan.

Niel dengan riang berjalan mendekati jevan yang sedang duduk di sofa. Sesampainya dihadapan jevan, niel merentangkan kedua tangannya, mengode jevan, bahwa dirinya minta di pangku. Jevan yang mengerti pun lantas mengangkat tubuh kecil niel untuk duduk di pangkuannya.

"Bundanya mana?" tanya jevan.

"Ada kok, lagi bikin minuman di dapur," jawab niel.

Niel memeluk tubuh jevan, menduselkan wajahnya di dada bidang jevan. Entah apa yang anak itu lakukan, jevan tidak masalah.

"Kenapa sih, hm?" jevan mengecup pucuk kepala niel.

"Niel kangen banget sama ayah, ayah kerjanya kok lama banget?" jevan meneguk ludahnya sendiri, ah sial, ia tidak bisa menjawab pertanyaan ini. "Ekhem! Besok niel mau jalan-jalan nggak?" tanya jevan mengalihkan topik pembicaraan.

"Mauuu!" seru niel girang.

"Yaudah, besok ayah jemput ya,"

"Oke ayah!"

Saat sedang asik mengobrol dengan niel, jevan melihat anne yang berjalan mendekati mereka dengan nampan berisi minuman di tangannya. Jangan ditanya bagaimana ekspresi anne, tentu saja.... sangat-sangat datar.

"Thank you," ujar jevan dan hanya dibalas deheman malas oleh anne.

"Anne, besok aku mau ngajak kalian jalan-jalan, mau?" tanya jevan.

"Buat apa? Nggak usah repot-repot," balas anne ketus.

Jevan menghela nafas panjang, mengusap punggung sempit milik niel, "Niel, bundanya nggak mau jalan-jalan, gimana dong?"

Kepala niel yang mulanya berada di ketek jevan kini menoleh, menatap anne dengan tatapan bingung.

"Bunda kok nggak mau? Bunda lagi sakit?" tanya niel, Anne menggeleng sebagai respon.

"Terus kalau bunda lagi nggak sakit kenapa bunda nggak mau jalan-jalan, bunda lagi cape ya? Atau bunda lagi males aja?"

"Atau jangan-jangan bunda nggak mau jalan-jalan karena malu sama ayah? Soalnya kan bunda sama ayah baru ketemu lagi, pasti malu-malu!"

Astaga, bocah.

"Nggak sayang. iya, bunda mau jalan-jalan kok," tutur anne dengan senyum tertekannya.

Jevan tertawa kecil melihat ekspresi tertekan anne. Lucu sekali. Tetapi, tawanya seketika lenyap saat anne menatap nya sangat tajam, bagaikan pedang tajam yang bisa memotong-motong tubuhnya kapanpun saja.

Ya Tuhan, ternyata galaknya masih sama kayak yang dulu. Batin jevan.

To be continue....


baaaa, sengaja up malam-malam!

ada yang masih bangun nggak ya kira-kira? Haha

Janlup vote! Jangan jadi pembaca bayangan.

follow ig ku dong! @sweet.apia

Jevan & Anne | JaeròseDonde viven las historias. Descúbrelo ahora