Bab 2. Kembali Bersua

922 137 14
                                    

Jiwa Erlangga Bab 2

Meraup kasar wajahnya sendiri lantas mengusapnya, Erlangga menyangkal apa yang baru saja dilihatnya. Menarik dan membuang napas teratur untuk beberapa saat.

Netranya kembali membuka perlahan. Degup jantungnya menyerukan doktrin bahwa yang baru saja tertangkap ruang pandang pastilah fatamorgana seperti yang sering dialaminya. Hal semacam ini terulang puluhan kali dan semuanya hanya ilusi.

"Ini pasti efek jetlag." Erlangga bergumam pelan.

Sayang, seseorang yang menyiksa batinnya selama tiga tahun kali ini nyata adanya. Menghantam manik hitamnya. Laksana panah tajam yang melesat cepat dan menancap tepat pada buntalan rindu berpadu nestapa di dasar sukma.

Hati rapuhnya tercerai berai berceceran lagi. Padahal, baru saja ditambal rapi. Dulu, dirinya hampir gila mencari. Tak pernah menyangka ternyata si pemilik rindu ditemukannya di sini. Tepat di saat buku lama bertekad dibuangnya dari sanubari.

"Jiwani?" gumamnya untuk yang kedua kali. Suara Erlangga mengambang lirih, hanya terdengar telinganya sendiri.

Ingin sekali Erlangga menghambur, meluapkan segala tanya juga marah di hati yang telah lama terkubur. Akan tetapi kedua kakinya membeku, seolah dipaku. Bersamaan dengan sosok yang dipandangi sepertinya menyadari sedang diamati. Bergulir mencari hingga pandangan pun bertemu tak terelakkan lagi.

Gadis berkerudung lebar itu terkesiap. Pipinya memucat. Pekatnya netra Erlangga menghujam tanpa permisi, mengobrak abrik manik coklatnya yang membeliak panik tak terperi.

Keranjang rotan di genggaman luruh ke lantai. Kakinya bergerak mundur, serta merta berbalik badan mengambil langkah seribu menuju bagian dalam samping rumah. Tak memedulikan buah Markisa yang jatuh berserak juga seruan lantang yang memanggil namanya.

"Jiwani, tunggu!"

Erlangga yang semula terpekur di tempatnya berdiri, mengayunkan kaki panjangnya tergesa hendak menyusul. Namun, langkahnya terjegal oleh Barata yang mendadak muncul di teras.

"Er, kenapa lama sekali? Tidak enak sama Pak Manaf. Dari dalam Papi perhatikan kamu malah asyik diam di teras." Barata menggamit lengan Erlangga, menariknya masuk ke dalam ke ruang tamu berinterior klasik khas tempo dulu itu.

"Tapi, Pi. A_"

"Tidak ada tapi-tapian lagi, Pak Manaf dan keluarganya sudah menunggu." Barata memotong cepat kalimat Erlangga.

Meski kakinya melangkah searah dengan papinya, tetapi kepala Erlangga tak henti melongok ke tempat di mana punggung Jiwani tertelan kelokan rumah di bagian teras samping, diiringi kecamuk hebat yang mengobrak-abrik perasaan juga pikirannya.

*****

"Er, ini Dzakiya Baihaqi, putri sulungnya Pak Manaf." Antusias, Maharani mengenalkan gadis cantik pemilik senyum manis itu pada Erlangga, bergamis dusty pink dipadu pashmina senada. "Usia Kia lebih muda empat tahun dari kamu. Kia ini lagi kuliah S2 terus lagi proses menghafal tiga puluh juz lho. Cantik dan hebat kan?"

Erlangga mengulas senyum sekilas disertai anggukan tipis, tak lupa tetap menjaga kesopanan meski perasaanya tak menentu. Entah harus berkomentar apa sebab isi kepalanya berputar-putar dipenuhi penasaran tak terkendali tentang Jiwani yang muncul di rumah ini.

Gadis yang ada di hadapannya ini memang cantik. Garis wajahnya memiliki sedikit kemiripan dengan Jiwani. Namun, bagi mata lahir dan mata batin Erlangga hanya Jiwani yang parasnya paling indah. Selalu begitu meski Jiwani telah meluluhlantakkan seisi dunia kalbunya.

"Ternyata aslinya jauh lebih berkharisma dan lebih ganteng dari foto. Wibawa para keluarga Syailendra dan Lazuardi memang tak diragukan lagi," puji Manaf yang diangguki penuh semangat oleh istrinya, Farah.

Jiwa Erlangga Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin