Bab 12

697 123 27
                                    

Jiwa Erlangga Bab 12

Si Ferrari merah mentereng yang mesinnya sudah menyala sejak setengah jam lalu itu akhirnya melaju meninggalkan pelataran Klinik Bima Artha. 

Erlangga dan Jiwani sempat terlibat perdebatan yang lumayan alot di tempat parkir. Jiwani hendak naik angkutan umum dan meminta Erlangga menyebutkan to the point saja dengan cara apa ia harus membayar, menolak bepergian satu mobil dengan Erlangga kecuali memakai kendaraan yang memiliki empat pintu. Akan tetapi, posisinya tersudut lantaran Erlangga menuduhnya berniat mangkir dari tanggung jawab utang piutang dan Jiwani tak suka disebut demikian. 

Jiwani duduk tak tenang pada kursi bagian kiri, menempel rapat nyaris menyatu dengan pintu dan Erlangga yang melihatnya sontak berdecak sebal. Erlangga memang tak lupa bahwa Jiwani bukan seperti gadis kebanyakan yang kegirangan saat diajak berduaan naik mobil mewah oleh pria tampan. Sudah kenyang Erlangga alami ketika mengejar Jiwani dulu. 

“Ck, memangnya aku sumber virus!” Erlangga menggerutu bersungut-sungut. 

“Bukan mahram!” sambar Jiwani galak. 

Laju mobil Erlangga perlambat, di depan sana traffic light berubah ke warna merah, menggunakan waktu jeda mengemudi untuk melirik Jiwani yang tampak bertambah resah.

“Aku juga tahu. Tapi memangnya harus sampai mepet banget gitu, huh?” kesal Erlangga jengkel. 

“Siapa suruh maksa satu mobil!” balas Jiwani tak mau kalah. “Mas, kenapa nggak ngomong langsung aja sih, sebetulnya aku harus bayar pakai cara apa?” 

Nada putus asa Jiwani justru menerbitkan gurat senyum menjengkelkan di wajah tampan Erlangga yang beberapa menit lalu menekuk cemberut. 

“Tunggulah sebentar lagi, Sayang. Nggak sabaran amat,” kekehnya sembari tetap fokus mengemudi, tertawa di atas kegelisahan Jiwani yang disambut gadis bermanik coklat itu dengan pelototan galak. 

“Jangan sembarangan manggil kayak gitu! Mas Ega pasti nggak lupa kan udah punya calon istri? Aku nggak mau disalahpahami orang-orang,” terang Jiwani frustasi setengah memelas. 

“Kamu juga calon istriku, iya kan?” sahut Erlangga enteng. 

“Mas!” sergah Jiwani berseru lantang. 

Erlangga meringis, mengusap-usap telinganya yang berdenging. “Akh, teriakanmu itu kalau sampai terdengar keluar bisa bikin salah paham. Tapi kalau aku sih nggak keberatan disalahpahami, bagus malah.” 

Mendesah lelah, Jiwani memutus adu kosa kata yang dipastikan takkan berkesudahan. Memilih membuang pandangan ke jalanan dan menutup mulut rapat-rapat.

Napas lega Jiwani embuskan saat mobil yang ditumpanginya berhenti. Hanya saja kelegaannya tak berlangsung lama, diserbu panik saat menyadari di mana Erlangga memarkirkan kendaraan mewahnya. 

“Ke-kenapa Mas Ega bawa aku ke kantor polisi?” Jiwani dibuat gelagapan, Erlangga yang sekarang gemar sekali membuatnya senam jantung. 

“Bukannya kamu ngotot ingin cepat-cepat tahu cara membayar biaya berobatmu?” tukas Erlangga sambil membuka seat belt.

“Jadi maksudnya bukan dengan uang itu diselesaikan di kantor polisi? Masih bisa kita omongin baik-baik kan?” Muka Jiwani yang baru saja dipulas rona tipis kembali memucat. 

“Aku nggak suka bertele-tele. Jadi, aku mau laporin kamu atas tindak pidana pencurian!"

“Enak aja! Seumur hidup aku nggak pernah nyuri!" sanggah Jiwani tak terima. 

"Pernah lah. Nyuri hati aku terus kabur!" kesal Erlangga yang gerutuannya hanya digemakan dalam hati.

"Aku cuma ngasih solusi supaya utang kamu lunas tanpa repot, lagian aku memang nggak mau dibayar pakai uang. Palingan, ya… satu atau tiga bulan juga sudah bebas, sesuai dengan nominalnya yang cukup lumayan.” Erlangga bertutur ringan tanpa beban.

"Solusi macam apa ini! Ingat ya, aku nggak pernah minta dibayarin dan kenapa juga harus pakai ruangan VIP? Padahal tinggalin aja aku di UGD!” omelnya emosi.

Jiwani menyentuh permukaan perut yang kembali tak nyaman meski hanya gejala ringan saja. Tingkah memusingkan Erlangga mengacaukan mood dan hal itu berefek signifikan pada asam lambungnya yang belum lama ditertibkan. 

“Sebenarnya masih ada opsi lain. Kalau nggak mau di sini, kita bisa selesaikan di sana.” 

Jiwani mengikuti ke mana telunjuk Erlangga mengarah. Level pucat di wajahnya bertambah parah disusul keringat dingin berembun di dahi. 

“I-itu kan, ho-hotel?” Suara Jiwani bergetar diliputi pikiran-pikiran buruk, raut tegang bercampur takut tergambar jelas di wajahnya.

“Yup. Jadi, mau pilih mana? Kantor polisi atau hotel, Sayang?” ujar Erlangga enteng.

Sesuai prediksi, sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Erlangga menyeringai sementara tangan halus yang menamparnya bergetar hebat. 

“Kamu jahat, Mas!” Bola mata Jiwani mengkilap nanar, rongga dadanya kembang kempis diamuk kecamuk emosi. 

“Bukannya kamu juga sama jahatnya?” Seringai miring Erlangga semakin lebar. “Aku cuma membalas untuk apa yang pernah kamu lakukan padaku di masa lalu.”

Erlangga yang semula terkekeh renyah lantas tergemap. Kalang kabut ketika mendapati Jiwani yang memegang dahi dan perut nyaris terkulai lagi, pipinya pun seperti tak dialiri darah. Erlangga memang memendam marah yang amat dahsyat pada gadis bermata indah ini, tetapi rasa sayang yang terlanjur bersemayam di hati ternyata tak bersedia pergi. 

Begitulah jika cinta yang sudah tertancap kuat berpadu benci, tak jarang membuat manusia bertingkah aneh. Beberapa saat yang lalu mengintimidasi, tetapi di detik kemudian bisa jadi sangat peduli. 

“Jiwa, are you okay?” Mencondongkan tubuh, Erlangga menepuk-nepuk pelan pelipis Jiwani. Sebotol air mineral yang masih tersegel dibuka cepat dan Erlangga dekatkan ke mulut Jiwani. “Minum dulu.” 

Beberapa tegukan air lolos tanpa penolakan. Jiwani bersandar dengan mata terpejam sembari mengatur napas. 

Erlangga menyugar rambutnya sendiri. Merasa bersalah lantaran terlalu tunduk pada emosi. Sejenak terlupa bahwa Jiwani masih termasuk dalam kondisi sakit, tetapi malah diintimidasi. 

Senyap dibiarkan menyergap untuk beberapa saat. Erlangga turun dan berlari kecil memutari bagian depan mobil. Menarik tuas pintu di mana Jiwani duduk. 

“Ayo turun,” ajaknya setelah Jiwani tampak lebih tenang.

“Aku pilih kantor polisi saja,” kata Jiwani pelan sembari merapikan kerudungnya. 

Seberkas senyum mampir sekilas di ujung bibir Erlangga. Prinsip kuat Jiwani dalam menjaga diri inilah yang dulu membuat Erlangga jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, bahkan mungkin saat ini dia sedang jatuh cinta lagi untuk yang kedua kali pada sosok yang sama.

Erlangga mengangguk tipis. “Ikuti aku.” 

Jiwani mengekori di belakang punggung Erlangga. Bibirnya tak henti berdzikir memohon kekuatan dan perlindungan, merasa situasinya sulit juga berbahaya. Saking seriusnya menunduk ke bawah memperhatikan ke mana kaki Erlangga melangkah, Jiwani sampai tak menyadari arah yang dituju Erlangga berlawanan. Keningnya mengeryit saat Erlangga ternyata berhenti di depan bangunan hotel.

“Lho, kok ke hotel sih? Aku kan sudah milih kantor polisi!” Jiwani menghentikan ayunan kaki, menatap nyalang pada Erlangga. 

“Cewek memang juara ya kalau soal ngomel! Tujuan kita sejak awal itu memang ke sini, tapi ke restorannya, bukan mau ngajak kamu ngamar! Otakmu saja yang terburu-buru menyimpulkan.” Erlangga mengedikkan bahu. 

"Hah, re-restoran?"

Erlangga melipat bibirnya kuat-kuat, mengontrol tawanya agar tidak meledak melihat Jiwani yang dibuatnya melongo. Mengerjap lucu begitu lugu.

“Tapi aku maklum, kurang cairan dan kurang makan bikin otak jadi lola. Meja sudah direservasi sejak sore. Ayo cepat masuk. Ini sudah jam delapan malam. Kamu harus ngisi perut dan aku juga laper berat. Gara-gara bawa orang pingsan ke rumah sakit, aku sampai melewatkan makan siang dan jam makan malamku ikut molor,” celetuk Erlangga mengeluh sembari mengusap perut. 

Keluhan Erlangga sukses membuat Jiwani merasa bersalah. Tanpa mendebat lagi, Jiwani menerobos masuk lebih dulu diikuti Erlangga yang menyulam senyum penuh kemenangan.

Bersambung. 

Jiwa Erlangga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang