Mengenang masa lalu

18 1 0
                                    

  Aku di sini, menyapu seisi ruangan lobi yang begitu sepi. Kantuk menguasai. Mungkin aku sedang berhalusinasi karna pandanganku serasa dikelabui.

  Di ambang pintu, bisa kulihat lelaki dari masa laluku. Seorang lelaki  jangkung dengan mata cekung dan hidung mancung berkulit putih gading; sinar rembulan membuatnya agak kelabu. Mataku mengerjap beberapa kali, memastikan itu benar sosoknya atau tidak. Memastikan kalau itu hanya imajiner atau tidak. Ini tidak bisa kupercaya, rasanya sungguh tidak nyata. Lagi pula, hidupku tidak pernah terasa nyata lagi sepeninggalannya. Hidupku sepeninggalannya seperti meneguk air setiap hari, rasanya hambar. Tidak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan rasanya air dan kehidupanku. Begitu hambar sampai-sampai terasa kosong dan tidak nyata.

  Saat kami kuliah dulu, kami merupakan teman kost. Kami sama-sama anak rantau yang tidak memiliki uang cukup sekedar menyewa tempat sendiri. Keadaan memaksakan kami bertemu untuk berbagi, namun kian berubah menjadi rasa nyaman, dan dipisahkan kembali oleh keadaan.
 
  Enam tahun lamanya kami merajut kasih, mengetahui masing-masing keluh, dan saling mengusap peluh. Kami menjadi sepasang kekasih yang sudah melalui banyak hal. Ada rasa angkuh di hati bahwa kami tidak akan berpisah.

  Sayangnya takdir begitu kejam, cobaan pun terus berdatangan bak rintangan di permainan arung jeram. "Lebih baik aku tenggelam mengikuti arus air. Tanganku letih mendayung sampan rapuh di arus sungai yang gaduh." Itu kata terakhir yang aku ingat terlontar dari mulutnya sebelum kami mengawali perdebatan tanpa ujung di hotel favorit kami, yang diakhiri dengan kepergiannya dan sepucuk surat undangan pernikahan yang menyusul datang ke rumahku kemudian hari.

  Aku tidak menyangka betapa hidupku terbalik, terjerembab, terkoyak hanya karna membaca surat dari kertas akasia dengan namanya, juga wanita yang tak kukenali tertera di sana. Bahkan, saat kami berdebat panjang waktu itu, dia sama sekali tidak menyinggung wanita yang kini tertera jelas pada undangan. Saat kami bertengkar hebat, tidak lain karna dia merasa hubungan kami sudah di ujung tanduk. Tidak ada kesamaan lagi pada diri kami. Kami berada di dunia yang berbeda dan memaksakan tetap bersama karna intensitas hubungan yang lama. Setidaknya, surat undangan pernikahannya telah menjadi saksi bisu akan perubahannya akhir-akhir ini.

  Pada surat undangan pernikahan itu, terdapat surat yang ditulis asal olehnya dengan kertas yang dirobek secara asal pula. Aku sempat bertanya, apakah surat asal itu cukup membayarkan enam tahun hubungan kami? Apakah dia berharap hatiku terobati hanya dengan membacanya? Entahlah, aku sudah tidak bisa menalar apa yang ada di pikirannya semenjak ia berubah. Di sana dia menyampaikan permohonan maaf karna dirinya tak kuasa untuk menyampaikan ini secara langsung, dia bilang kalau hubungan enam tahun terakhir itu dia rasa begitu berharga meski pahit di ujung, walaupun aku yakin tanpa kehadiran wanita itu dalam hidupnya, maka tidak akan dia berubah, tidak pula kami merasa asing. Dia juga bilang bahwa dia sepenuhnya terpaksa dalam perjodohan ini. Sebagai anak tunggal, dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya dengan memberi tahu tentang dirinya ataupun tentang kami. "Aku hanya ingin jadi anak berbakti, Romli..." Itulah kalimat yang mengakhiri surat itu, beserta namanya yang tertera di ujung kanan kertas bagian bawah. Sugeng.

  Surat itu tak bertahan lama, penanya luntur akibat dibasahi oleh derasnya aliran air mata yang bermuara dari kelopak mata, pipi, dagu, lalu meluncur tepat di atas tulisan. Yang tersisa dari surat itu hanya buaian manis yang terdapat di tengah-tengah surat yang bertujuan untuk sedikit mengobati hatiku, pengakuan pengorbanannya menjadi anak berbakti di akhir, dan namanya. Sisi atasnya sudah tak berbentuk. Sisi atasnya hanya berisi cerita nostalgia roman picisan belaka. Memang sudah sepatutnya itu biar lenyap saja.

  Setelah puas menguras bendungan air di mataku, aku telepon Mas Sugeng berkali-kali. Seperti yang kuduga, tidak ada jawaban. Aku bahkan tak tahu dia di mana sekarang. Pada akhirnya aku menyalakan mesin motorku dan keluar menembus dinginnya hawa malam bercampur hujan. Toh, badanku sedang panas didihkan emosi. Biarkanlah hujan ini meredakannya.

AmprokWhere stories live. Discover now