4. HALTE DAN HUJAN

229 13 0
                                    

       Setiap hujan pasti akan memiliki
       Kenangan masing-masing.

                                        🪐

Lelaki pemilik mata tajam dan perempuan penyuka bola itu, sedang meneduh. Nyatanya, hujan lebih awal datang dari pada sampai lebih awal. Maka dari situ kita belajar, masalah akan lebih datang dari awal sebelum bahagia.

"Dingin gak?" tanya Albara, padahal sudah jelas Aleanora memakai jaketnya. "Harusnya aku yang nanya kamu, dingin gak?" tanyanya balik.

"Gue? Gue laki, kuat, gak dingin," ucapnya dengan bangga. Aleanora hanya terkekeh lalu fokusnya pada pengendara yang rela menerobos hujan, menarik.

"Kenapa gak terobos aja hujannya?" tanya Aleanora mendongak pada Albara. Albara mengalihkan fokusnya pada Aleanora. Ah, sepertinya perempuan yang dihadapan ingin bermain hujan.

"Takut sakit."

"Cie khawatir," kata Aleanora dengan percaya diri.

"Takut gue yang sakit, maksudnya." Albara lalu tertawa melihat wajah Aleanora yang malu. Demi gajah terbang Aleanora sangat malu, dasar ia terlalu berharap.

"Makanya jangan terlalu percaya."

"Manusia bisa kapan saja menghancurkan rasa percaya kita," kata Albara membuat Aleanora menatapnya kembali. Tatapan Albara semakin dalam, ia hanyut dengan cantiknya Aleanora.

Begitupun Aleanora, bahkan untuk mengalihkan saja rasanya susah. Karena kedua sama-sama hanyut dengan tatapan tersebut. Albara itu hampir sempurna. Begitupun Aleanora.

"Katanya mau hujan-hujanan? Ayok," ajak Albara mengalihkan tatapan mereka. Tanpa menjawab, Aleanora menaiki motor Albara. Kalau boleh tahu, Aleanora rasanya ingin memeluk Albara.

Bandung yang sudah dingin, ditambah hujan semakin dingin. Tetapi kota itu tetap saja, kota Bandung dengan keindahannya. Aleanora bangga bisa terlahir di Bandung, Aleanora bangga bisa
Jadi bagian Bandung, Aleanora bangga bisa menjadi salah satu Bobotoh Bandung.

"Kamu suka hujan?" tanya Aleanora sedikit berteriak. Karena suara hujan yang tidak mungkin terdengar.

"Iya!"

"Kenapa?"

"Hujan emang berisik, tapi omongan manusia lebih berisik," kata Albara mampu membuat Aleanora terdiam. Apa masalah Albara? Tanpa sadar Aleanora sudah sampai di rumahnya.

"Thaks relain dingin buat aku." Aleanora menatap jaket yang kini basah. Sungguh disayangkan.

Lalu ia menyodorkan helm yang ia gunakan. Albara hanya berdehem sebagai jawaban. "Jaketnya gimana?" tanya Aleanora menatap jaket Albara yang basah.

"Cuci."

"Oke aku masuk dulu,ya! Hati-hati!" Aleanora berlari kecil memasuki rumahnya. Pandangan Albara tidak luput dari Aleanora hingga perempuan itu memasuki rumahnya.

Setelah itu, ia melajukan motornya meninggalkan perkarangan rumah Aleanora. Ia menjalankan motornya diatas kecepatan rata-rata. Kalau boleh jujur bedanya menggigil, mungkin karena ia tidak memakai jaket.

Setelah sampai di rumahnya,ia memarkirkan asal motornya. Lalu segera masuk, pasti bundanya sudah menunggu. Senyum Albara mengembang,saat matanya melihat dua perempuan yang ia cintai.

Yaitu Nita bundanya lalu Zanitra adek perempuannya. "Aa!" panggil bocah berumur 5 tahun itu.

Albara berjongkok menyesuaikan tingginya dan adeknya. "Aa basah, jangan minta gendong dulu. Oke?" Bocah itu mengangguk walaupun tidak mengerti.

BANDUNG DAN KISAH KITA Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum