Jangan lupa vote dulu sebelum baca.
VOTE dalam mode offline masih bisa
gratis!Terima kasih supportnya yang sudah mau vote, komen, dan share cerita ini.
HAPPY READING!
08. BINVS : ANARKALI ANAK BU LADEN
"Gimana, udah dapat?" tanya Wira ketika melihat Tsana yang baru saja datang ke meja kantin mendekatinya. Napasnya tersengal-sengal sebab berlarian menaiki anak tangga, mengingat bahwa kantin MHS berada di lantai dua tepatnya di atas gedung perpustakaan.
"Sini duduk deketan, minum dulu." Wira membawa Tsana duduk di sebelahnya. Siswa laki-laki itu menyodorkan segelas es teh untuk menyegarkan tenggorokan Tsana. Wira juga merapikan beberapa anak rambut si gadis tomboi yang acak-acakan tertiup angin. Ia terlihat begitu perhatian terhadap Tsana, hingga membuat Dai yang duduk di hadapan Wira itu ingin memuntahkan isi perutnya.
"Sini didik dikitin, minim dili. Giliran sama Wira nurut, giliran sama gue malah berubah wujud spek iblis," sindir Dai sambil memakan bunga sepatu yang tadi sempat ia petik di depan asrama.
"Kalau gue spek iblis, terus lo apa? Siluman pemakan bunga-bungaan yang setiap hari koleksi perempuan-perempuan cantik, apalagi dulunya mantan pencuri lukisan gue," balas Tsana, langsung membuat Dai menutup mulutnya rapat. Lihat saja, kini ia ketakutan melihat wajah garang Tsana ketika mengeluarkan sindiran pedas dari mulutnya.
"Nggak usah diungkit, anjir. Lagian gue juga udah balikin lukisannya. Nggak usah dendam, kata Alip dendam itu nggak baik dan termasuk ciri-ciri orang zalim," ujar Dai.
"Lo bukan Alip, gak usah ceramahi gue."
"Ck! Lama-lama lo kayak Alipah. Kalau dikasih tau yang bener malah batu. Nih, gue kasih tau, kalau manusia udah kejebak dalam perasaan dendam, energi negatif bakal terus menguasai hati sama pikiran. Hal itu bikin kita sulit buat bergerak maju dan menikmati hidup sepenuhnya. Terserah mau dengerin nasihat gue atau nggak, yang penting gue udah menyampaikan hal yang udah seharusnya." Dai mengedikkan bahunya. Laki-laki dengan poni rambut belah dua di bagian depan itu membuang sisa tangkai bunga sepatu yang tadi di makan olehnya. Setelah itu, Dai beralih menggorek isi hidungnya menggunakan kelingking.
Mengupil. Dai memiliki kebiasaan buruk seperti itu yang sulit ditinggalkan meski sudah berkali-kali diperingati. Itulah kekurangan seorang Dainuri Malabis di balik wajah tampan nan cerianya.
Tsana terkekeh setelah mendengar nasihat dari Dai. "Itu kan, kalimat dari Wira. Lo cuma copy paste terus nasihati gue seolah-olah lo paling bijak?" ledek Tsana lagi-lagi membuat Dai langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Niatnya tampil keren, malah sudah ketahuan oleh Tsana bahwa kalimat itu bukan ciptaan darinya. Si gadis tomboi ini hobi sekali menembak lawan bicaranya.
Wira tersenyum seraya menggelengkan kepalanya melihat interaksi dua temannya yang sulit sekali untuk akur itu. Wira, si manis bermata cokelat dengan seragam yang selalu rapi setiap saat itu terpikir kalimat nasihat yang baru saja terlontar dari mulut Dai. Kalimat itu memang pernah Wira katakan pada Dai di kehidupan sebelumnya saat Dai ngotot ingin mendemo kembali Direktur Tripod terkait kematian Senior Dainuri Setiawan Jaya pada tahun 1998. Dendamnya begitu kuat terhadap sekolah ini. Wira berusaha untuk menenangkan Dai dengan segala macam cara, tapi malah terjadi cekcok hebat antar keduanya sampai mereka bermusuhan dan membuat tim Himpunan Basis terpecah belah. Permusuhan antara Wira dan Dai tak pernah berakhir, bahkan sampai maut menjemput keduanya saat tragedi kebakaran di perpustakaan.
Wira menggelengkan kepalanya membayangkan betapa sesaknya peristiwa itu. Hatinya ikut tersiksa saat dijauhi oleh teman dekatnya. Tugas Wira selain menjaga Tsana agar tidak menjadi korban gantung di rantai di dinding perpustakaan, ia juga harus bertekad kuat untuk memperbaiki hubungan persahabatannya dengan Dai supaya langgeng sampai seterusnya. Wira usahakan tidak ada salah paham lagi diantara mereka berdua.
Namun, satu hal yang membuat Wira merasa janggal. Kalimat nasihat tentang dendam yang baru saja Dai ucapkan, seharusnya tidak secepat ini Dai mendapatkannya. Wira juga merasa kalau dilihat dari waktunya di kehidupan ini, ia belum pernah menasihati Dai dengan kalimat tersebut. Lantas, dari mana Dai mendapatkannya? Tidak mungkin temannya itu bisa melacak pikiran Wira. Kecuali kalau Dai memang sama-sama pernah mengalami kematian sekali seperti Wira dan sekarang hanya mengulang hidup kembali. Jika itu benar? Mengapa Dai tidak mengaku? Atau dia sedang berpura-pura?
"Gue udah kumpulin semuanya. Buku Aku Suka Sastra Sejarah milik Anarkali, merupakan adaptasi lengkap dari Kitab Keramat yang ditulis oleh wujud hantu Senior Asfa. Kata anak MHS, waktu kebakaran tahun 2008, tangan Senior Asfa potong dan nggak dikubur. Terus gentayangan di MHS buat menulis Kitab Keramat yang akhirnya ditemukan Wira di laboratorium. Habis itu, Wira mimpi masuk ke tahun 2008," jelas Tsana, memberitahu secara singkat terkait buku Aku Suka Sastra Sejarah milik Anarkali yang hanya ada satu-satunya di Magnesium High School. Itu pun sangat berbahaya jika ketahuan oleh pihak sekolah, bisa-bisa dimusnahkan begitu saja. Oleh karenanya, Tsana menutup cover buku tersebut menggunakan kertas kalender bekas untuk menghindari hal-hal yang membuat ia dan teman-temannya kehilangan jejak kasus MHS.
"Bedanya buku Anarkali sama Kitab Keramat apa?" tanya Wira.
"Kitab Keramat cuma mengisahkan kasus di tahun 2008, sedangkan buku milik Anarkali ditulis lebih lengkap kejadian di tahun 1998 di mana kasus otak Senior Dainuri yang diambil dan dijadikan penelitian. Tapi, halaman itu hilang sebelum gue baca lengkapnya," jawab Tsana.
"Sama sekali belum dibaca?" tanya Wira serius. Laki-laki itu membuka buku kuno yang kertasnya kuning nan lusuh dengan jumlah 369 halaman yang tersisa. Di setiap tepi halamannya sudah berayap dan gampang sobek. Membuat Wira hati-hati membalikkan setiap halamannya. "Benar, ada tiga puluhan halaman yang hilang. Ada yang sengaja menyobek halaman ini di bagian kisah Senior Dainuri," ucapnya.
"Padahal, sebelumnya gue selalu simpan buku itu di dalam sarung bantal. Nggak pernah ada yang ambil," kata Tsana.
"Ada yang pernah pinjam buku ini ke lo?"
Tsana menggeleng ragu sambil bergumam, "Kecuali...,"
"Kecuali apa?" Wira begitu penasaran dengan jawaban Tsana. Si tomboi itu perlahan menatap Dai seolah-olah menuntut penjelasan dari sang empu.
"... kecuali waktu kelas sepuluh. Lo pernah tabrak Yaya di depan gue, setelah itu lo bawa kabur buku Anarkali yang ada di tangan gue. Waktu lo balikin bukunya, gue nggak pernah cek lagi isi buku itu karena sibuk urus petisi yang Wira rancang," kata Tsana pada Dai. "Lo yang curi tiga puluh halaman dari buku ini, kan, Dai?" tudingnya.
Lagi-lagi Tsana berhasil menembak lawan bicaranya tepat sasaran hingga kembali membuat Dai terbungkam.
"Benar, gue yang ambil dari lo tanpa izin," ungkap Dai pada akhirnya.
"DASAR PENCURI!" maki Tsana menunjuk muka Dai. "Barang sepenting lukisan ini lo curi dari gue, buku Anarkali juga lo curi beberapa halamannya dari gue. Besok apalagi yang bakal lo curi? Jangan bilang lo mau ambil Wira dari gue?!"
Wira dan Dai tersentak kaget mendengar bentakan Tsana yang cukup keras hingga membuat beberapa murid yang berada di kantin menatap mereka bertiga dengan sinis.
"Lo yang ambil Wira dari gue. Semenjak lo datang, Wira jadi nggak peduli ke gue. Apa-apa harus lo yang diutamakan. Padahal bukan pacar atau saudaranya," serang Dai jengkel. Laki-laki berwajah tampan itu mendelik dengan hidung yang terus kembang kempis sebab marah.
"Lha? Gue memang pacarnya. Lo siapa ngaku-ngaku Wira punya lo?" kelakar Tsana sambil bersedekap dada.
Di samping itu, Wira masih syok mendengar tiba-tiba Tsana mengklaim dirinya sebagai pacar. Sedangkan Dai justru cemburu akan kedekatan Wira bersama Tsana. Dari pada berdebat dengan hal tak berfaedah ini, Wira memilih menggandeng keduanya untuk melaksanakan misi yang lebih penting.

KAMU SEDANG MEMBACA
BUT I'M NOT VERY SMART! || [Lengkap]
Mystery / ThrillerBook 4 Sekuel I'm not Stupid! "Jika kamu mengetahui kekuatan penuh angka 3, 6 dan 9, maka kamu akan mengetahui rahasia semesta Magnesium High School." __Anarkali 2015. Kalimat dalam buku teka-teki silang itulah yang menjadi pedoman Wira dalam menyel...