6. RAGU UNTUK MENGUNGKAPKAN

180 10 0
                                    

      Jatuh cinta itu menguras tenaga,
      Makanya kita harus sabar.
      Kaivan pramudya

                                          🪐

"Kok bukan  ke rumah aku?" tanya Aleanora saat Albara malah menjalankan motornya, ke alun-alun. Albara hanya diam tanpa membalas, lalu ia memarkirkan motornya.

"Gak boleh? Panas gini, mending diem dulu," tuturnya. Lalu menatap Aleanora yang kini mencoba untuk membuka helmnya.

"Bisa gak?"

"Bisa," jawab Aleeanora cepat. Namun setelah 3 menit masih belum terbuka. Tanpa bicara, Albara langsung membukanya.

"Kalo susah bilang." Aleanora hanya mengangguk. Otaknya masih ngelag, ia yang 3 menit belum terbuka. Sedangkan Albara, ia hanya beberapa detik. "Ko sama kamu cepet sih?"

"Karena lo gak bisa," ejek Albara lalu berjalan lebih dahulu. Aleanora pun langsung berlari.
"Tungguin!" ucap Aleanora berdiri di samping Albara, dengan napas yang terengah-engah.

"Makanya jangan lari."

"Kan kamu yang ninggalin!" kesal Aleanora. Apa katanya jangan lari? Heh! Siapa di sini yang meninggalkannya.

Albara terkekeh melihat ekspresi Aleanora. Wajahnya memerah, tapi tetap saja cantik.
Lalu mereka duduk di bawah pohon besar, lumayan tidak panas.

Hening.

Mereka sama-sama tidak berbicara. Malahan sibuk menatap banyak anak kecil yang sedang bermain. Mereka terlihat bahagia, ah jadi ingin kembali kecil. Dewasa itu tidak menyenangkan, tidak sesuai yang kita kira.

"Mau beli jajanan?" Albara memecahkan keheningan diantara mereka.

"Enggak," bales Aleanora tanpa menatap Albara.

"Al, kamu nggak mau jatuh cinta?"

"Gue bukan gak mau jatuh cinta. Tapi, belum ada yang mau buat hati gue luluh. Lagian jatuh cinta gak semudah itu. Kadang ada yang berhenti di tengah jalan,ada yang sampai menua,ada yang meninggal. Dan itu gak mudah, bahkan untuk melewati sampai tua pasti banyak rintangan."

"Jatuh cinta itu, bukan cuman mainan. Karena cinta yang menentukan hidup kita. Yaitu, teman hidup kita tua nanti." Aleanora tertegun. Pandai sekali Albara merangkai kata-kata. Bahkan ia yang mendengarkannya tidak kepikiran.

"Lo?" tanya Albara balik.

"Rasa, rasa yang belum tumbuh," kata Aleanora cepat. Ia lalu tersenyum, bahkan Varga mengejarnya tapi rasa itu belum tumbuh. Entah bukan jodohnya entahlah hanya tuhan yang tahu.

"Lo beneran gak suka Varga?" Aleanora mengernyit bingung. Bagaimana Albara bisa tahu?

"Kenapa kamu tahu?"

"Gue tahu semua tentang lo." Albara terkekeh.
Sedangkan Aleanora masih mencerna semuanya. Tahu semua tentangnya? Mana mungkinkah.

"Makanan yang aku sukai?" tanya Aleanora memastikan. "Bakso." Aleanora membulatkan matanya. Apa jangan-jangan Albara...

"Ko tahu? Peramal ya?"

"Iya, peramal hati lo," kata Albara membuat pipi Aleanora memerah. Bisa-bisanya Albara menggombal.

"Dih gombal!"

"Biarin wle!" Albara berlari saat Aleanora ingin memukulnya. Tentu saja Aleanora juga mengejar, Albara semakin jauh, memutari alun-alun, tapi Aleanora tidak menyerah ia juga semakin mempercepat larinya.

"Sini kamu Albara!" Aleanora tertawa saat Albara tidak sengaja terjatuh. Tentu saja itu kesempatan bagi Aleanora.

"Ra ampun!" ucap Albara saat Aleanora menggelitik perutnya. Tentu saja membuat harga diri Albara turun. Apalagi saat semua mata tertuju pada mereka.

BANDUNG DAN KISAH KITA Where stories live. Discover now