33. Disconnected

27 14 3
                                    

"Nanti mau makan malam di luar gak?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Nanti mau makan malam di luar gak?"

Pertanyaan itu serupa sebuah pemberitahuan yang tidak penting ditolak atau tidak, karena pada akhirnya, aku harus ikut ke mana pun dia pergi. Dia menarikku keluar, mencari makan malam sekaligus udara segar. Seharian ini, menurutnya mood-ku sedang tidak bagus. Wajahku ditekuk, seperti orang yang sedang tersiksa. Dia ingin menarikku keluar rumah, agar bisa menikmati malam yang indah dinkota dingin ini.

Langit malam ini cukup cerah, banyak orang berjalan-jalan bergandengan tangan. Walau cerah tetap saja, udaranya masih cukup dingin buatku. Aku ingin meraih jemari Om Dimas yang mendadak lebih suka dipanggil sayang itu. Namun, dia memasukkan tangannya ke dalam jaket.

Aku tidak mengerti hubungan apa yang sebenarnya ada di antara kami. Ayah bilang, dia guruku di sekolah. Dia juga tutor matematikaku, sekaligus murid kebanggaan Ayah. Aku pernah mendengar namanya, tetapi tak ada satu pun kenangan tentang dirinya yang masih tersisa di kepala. Setelah ibu siuman dari komanya, dan kembali ke rumah, duniaku sepertinya sudah bergeser. Aku tidak ingat apa-apa setelah ibu sehat.

Namun, apa kami pernah dekat sebelumnya, kenapa aku nyaman ada di sampingnya, dan tidak masalah dengan kelakuan ajaibnya yang sebentar hangat, sebentar dingin. Seperti sekarang ini, dia memintaku makan malam di luar, padahal kami masih punya stock mi instan di rumah.

Sudah hampir lima belas menit kami berjalan, dan dia hanya diam tak mengajakku berbicara sedikitpun.

"Kamu mau makan di angkringan, atau makan di resto, Hana?" Akhirnya dia pun buka suara.

"Apa aja, deh, Om."

Dia berhenti dan menatapku. Aku buru-buru buang muka, karena biasanya sedetik setelahnya, dia akan memarahiku.

"Kok jadi Om? Katanya, pengen saya jadi temen hidup kamu, yang mesrahlah manggilnya."

"Ini tempat umum, Om. Malu!" kataku sambil sedikit berbisik padanya.

Dia mencondongkan badannya, "Kau tahu, Hana, aku akan terlihat seperti Sugar daddy kalau kamunya manggilnya gitu."

"Bukannya selama ini, Om cuma baby sit aja ya?" tanyaku menantangnya adu argumen. "Apa sudah berubah jadi Om-om sejati?"

Dia menengakkan badannya, "Ah jadi selama ini, kamu cuma nganggep saya cuma jadi baby sitter kamu ya?" Dia mendengus pelan. "Kamu yakin, ngomong gini di sini, orang bakalan pikir kamu jadi simpenan Om-Om, emang boleh sebar-bar itu, Hana?"

"Ya, makanya jangan kenceng-kenceng!"

Dia bergeming dan berjalan ke arah pedagang ayam geprek yang ada di pinggir jalan. Setelah memesan, dia duduk di salah satu kursi dan mengabaikan aku yang berdiri tegak di sebelah koki warung makan pinggir jalan itu.

Dia tak acuh dan terus diam di tempatnya tanpa menawariku duduk ataupun pangku. Kakiku pegal, pasalnya ini hari pertama haid yang cukup menyiksa. Tanganku mulai berada di pinggang dan mengelus pelan pinggangku yang mulai terasa pegal. Aku berjalan menjauh dari gerobak dan mencari tempat yang bisa kududuki.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now