|41.| Ingin Dimengerti

38 5 0
                                    

Seorang gadis dalam balutan piyama warna biru dongker sedang berbaring dengan posisi telentang di atas kasur. Waktu menunjukkan pukul 20.40 dan Raya baru saja selesai mengerjakan tugas sekolah. Ia meminta bantuan Yana untuk menghalau makhluk-makhluk yang terus berdatangan dan mengganggunya. Sebenarnya teman-teman Raya saja bisa, tapi power mereka tidak cukup kuat untuk melindungi Raya. Terlebih, tidak ada Lilac si setan gemoy yang menjadi ketua genk mereka.

Helaan nafas berat menguar dari saluran pernapasan Raya. Bola matanya mengarah ke langit-langit kamar dengan tatapan gamang.

"Lilac, kamu beneran mau ninggalin aku?"

Sedih. Raya selalu merasa dadanya terhimpit saat mengingat sahabatnya itu. Rasanya, sudah lama Raya tidak mendengar celotehan menyebalkan yang biasa Lilac lontarkan. Lilac memang bisa pergi dari Raya saat sosok itu sudah menemukan bagian tubuhnya yang hilang, seperti yang pernah Lilac katakan. Tapi, Raya tak menyangka waktunya akan secepat ini. Padahal Raya sudah lama memutuskan untuk tidak mencari keberadaan bola mata Lilac, sebab Raya tidak ingin ada perpisahan.

Dering ponsel yang tergeletak tepat di samping kirinya membuat Raya menoleh. Senyuman manis lantas terlukis saat melihat siapa nama penelepon itu.

"Belum tidur, Ay?"

Masih dengan posisi telentang, Raya menjawab, "Belum. Tumben banget Kakak telepon malam-malam, ada apa?"

Dokter Cakra mendengus pelan di seberang sana. "Emang nggak boleh saya telepon tunangan saya sendiri?"

Raya tertawa ngakak. "Boleh aja, sih. Cuma ya, tumben aja. Biasanya juga langsung nyamperin."

"Ya udah, saya ke rumah kamu sekarang."

Kalimat itu sontak membuat Raya terduduk cepat. "EH! JANGAN! Ini tuh udah malam ya, Kak! Main dateng-dateng aja. Nanti dimarahin papa gimana? Malah Kak Aka nggak boleh main ke rumah lagi lho. Mau?"

Terdengar suara tawa menggelegar di seberang sana. Kening Raya mengernyit heran. Memangnya ada yang lucu? "Malah ketawa," gerutunya.

"Habis kamu lucu banget." Dokter Cakra menghabiskan sisa tawanya. "Ya udah kalau gitu, tidur gih. Udah malam ini."

"Iya. Kakak juga tidur, ya."

Usai memastikan sambungan telepon terputus, Raya meletakkan ponselnya di atas nakas. Gadis itu meraih selimut yang semula terlipat rapi di ujung kasur, bersiap untuk tidur. Senyum Raya seolah otomatis terbit saat ia mengingat momen romantis bersama Dokter Cakra hari ini. Lebih tepatnya, saat di kasir minimarket.

Beberapa menit mengantri, kini giliran Raya membayar belanjaannya di kasir. Alisnya bertaut heran saat melihat beberapa barang yang tidak ia ambil, tapi ada di keranjang.

"Ini punya kakak?" tanya Raya sambil menatap Dokter Cakra. Tangannya bergerak mengambil satu-persatu barang dari dalam keranjang untuk dibayar.

"Bukan. Punya kamu semua."

"Perasaan aku nggak ambil."

"Kamu mau ambil, tapi ragu. Ya udah saya aja."

Raya tertawa. "Tumben peka."

Dokter Cakra mendesah kecewa mendengar respon Raya. "Timbin piki."

"Dih! Siapa yang ngajarin gitu?" Ekspresi terkejut tercetak jelas membingkai wajah cantik Raya.

"Kamu. Nggak inget tiap saya nasihatin selalu bilang, 'nyenyenyenye'?"

Telak. Raya hanya bisa membalas Dokter Cakra dengan senyuman nyengir seolah tanpa dosa.

RALILAC Where stories live. Discover now