3. Kejutan Seorang Ansel

208 53 8
                                    

"Ta-tapi—"

"Anda tidak mau kan saya memviralkan perbuatan Anda ini?" Ancaman pria itu memotong kalimat yang belum sempat diucapkan Jo.

Jo tidak punya pilihan selain menyetujui keinginan pria itu. "Oke."

Jo menyumpahi dirinya sendiri dalam hati di sepanjang perjalanan. Kenapa dia bisa sebodoh itu? Ambisinya untuk segera memenuhi panggilan sang bos berujung pertemuan dengan orang yang seharusnya Jo hindari. Jo melampiaskan kekesalannya dengan membanting pelan kepalan tangannya ke atas stir.

"Tidak baik mengemudi sambil marah-marah," celetuk pria itu.

Jo mengerucutkan bibir. Dia sama sekali tidak berminat untuk merespons ucapan pria itu. Saat ini kepala Jo dijejali oleh ketakutan. Jo pikir dia dan ayahnya akan selamat dari teror rentenir, tapi tidak dari pria yang duduk di sampingnya. Bayangan jeruji besi yang melintas di depan matanya membuat Jo merinding. Jika pria ini mengenalinya dan menuntutnya, hidup Jo akan berakhir di dalam penjara. Akhirnya Jo sadar ucapannya pada Janu tadi perlu diralat. Kenyataannya, Jo ketakutan setengah mati kalau pria itu akan mengenalinya dan menuntutnya.

"Aduuuh!" Kekesalan Jo terlontar begitu saja tanpa dia sadari.

"Kenapa?" tanya pria itu.

"A-apa?" Jo merasakan dirinya baru saja kembali ke kenyataan setelah bergelut dengan badai asumsi dan prediksi setelah mendengar tanya pria itu.

"Anda mengaduh, kenapa?"

"Mm, ...." Otak Jo mendadak nge-blank. Dia tidak bisa berpikir banyak. Saat ini konsentrasinya terbagi untuk masalah yang sedang membebani dan jalanan yang sedang dilewati. Beruntung, Jo melihat arus kendaraan yang sedikit ramai. Jo mendapatkan alasan. "Jalanan padat, padahal saya harus segera tiba di kantor."

Percakapan mereka hanya sebatas itu. Keduanya kemudian saling diam sampai tiba di pelataran parkir Keystone Persada.

"Tunggu sebentar di sini, ya. Saya harus menemui atasan saya dulu." Jo melepaskan sabuk pengamannya.

"Saya ikut Anda ke dalam," desak pria itu.

Jo mengernyitkan dahi. "Mau apa?"

"Pokoknya saya ikut."

Oh, God! Jo berdecak kesal. Pria ini benar-benar membuatnya geram. Namun, Jo tidak punya alasan untuk menahannya tetap berada di dalam mobil. "Baiklah, tapi hanya sampai lobi. Mas nggak bisa mengikuti saya sampai ke ruang kerja saya."

"Oke. Tidak masalah."

Mereka berdua masuk ke gedung berlantai delapan milik perusahaan Keystone Persada. Jo kemudian naik ke lantai tiga di mana ruang kerja para eksekutif perusahaan Keystone berada dan membiarkan pria pemenang lelang menunggu di lobi. Jo pun segera masuk ke ruang kerja sang bos setelah tiba di sana.

"Maaf, saya terlambat, Pak. Saya mengalami kecelakaan kecil tadi di jalan," jelas Jo pada Aiden, CEO Keystone.

Aiden memandangi Jo dari balik meja kerjanya. Dia tidak terbiasa menunggu apalagi yang ditunggu hanya seorang asisten. Pria berkemeja biru yang lengannya digulung hingga sebatas siku itu kemudian memindai jam tangannya.

"Kamu terlambat empat puluh menit dari yang kamu janjikan, Jo," tutur Aiden mengingatkan.

"Iya, Pak. Maaf." Jo menurunkan pandangan. Dia tidak bisa memandang Aiden lama-lama, apalagi bosnya itu sedang marah. Meskipun Aiden gantengnya pakai banget, tapi kalau dia marah, Hellboy saja kalah seram.

"Saya tidak biasa bekerja ...."

Dengan orang yang tidak disiplin. Jo melanjutkan kata-kata Aiden di dalam hati. Selama menjadi asisten Aiden, Jo sudah puluhan kali mendengar kalimat tersebut sampai Jo hafal. Terkadang, Jo ingin sekali memberi rangkaian kata lain untuk Aiden sebagai pengganti kalimat lawasnya yang terdengar membosankan. Namun, apalah dayanya yang hanya punya posisi sebagai seorang asisten?

EnmeshedWhere stories live. Discover now