XXIII. Hate is A Strong Feeling

625 59 9
                                    

[Hoffenheim, 2020]

Anak laki-laki itu berjalan memasuki mobil dan memilih untuk duduk di kursi samping pengemudi. Dia meletakkan piala berlambang angka satu miliknya, tepat di sisi kiri tubuhnya. Ayahnya menyusul beberapa saat kemudian, sesaat telah berhasil menaikkan mobil kart milik anaknya tersebut ke atas bagian pick up yang terbuka. Wajah anak laki-laki itu tampak masam, dan dahinya dia tekuk. Ayahnya hanya bisa tersenyum, melihat anak laki-laki bungsu nya bersikap demikian.

Mesin mobil pick up dinyalakan, dan mobil melaju beberapa saat kemudian.

"Bang Henry tidak jadi ikut?" tanya anak itu.

"Ada tes motor trail. Pemilik tim tertarik dengan hasil lombanya, lalu memintanya melakukan tes."

Pria itu melirik ke arah piala yang berada di sisi anaknya, dan kembali menyunggingkan senyum. "Kelihatannya kau berhasil memenangkan lomba barusan."

"Bukan pencapaian yang penting." jawab anak itu seraya membuang mukanya ke arah jendela.

"Oh, begitu." jawab ayahnya dengan penuh hati-hati agar tidak menyinggung sang anak. "Kau hebat, Rayn. Ayah tau itu."

Anak itu berusaha terdiam, dan membuang mukanya ke jendela. Akan tetapi dia tidak sanggup sesaat berhasil menangkap wajah lelah Sang Ayah yang tengah menyetir. Dia mengetahui itu sesaat dirinya melirik ke arah pria yang lebih tua itu. Dia pikir, ayahnya kini tetaplah butuh penjelasan tentang mukanya yang sedang masam.

"Ayah." panggil anak laki-laki itu.

"Hmm."

"Pernah tidak, Ayah memenangkan sesuatu tetapi merasa kalah di saat yang bersamaan."

"Sepertinya pernah." jawabnya sembari menimbang-nimbang perasaan di masa lalu.

"Lalu Ayah melakukan apa?"

"Menerima dan tersenyum. Karena penerimaan tanpa bersikap lapang dada akan menghasilkan buah kebencian, dan kebencian itu buah yang tidak bisa dimakan. Rasanya masam, dan sulit sekali dipetik ataupun dibuang. Hanya membuat dada terasa berat dan muka menjadi muram."

"Lalu apakah kita bisa membenci seseorang yang tidak kita kenal?" tanya anak itu kembali.

"Tentu."

"Bagaimana bisa?"

"Buah kebencian dapat hadir dengan berbagai macam jenis benih. Seperti benih penolakan dan iri." jelas pria tersebut. "Bahkan jika kita memaksakan kehendak pada sebuah takdir yang tidak terjadi. Kita dapat menyalurkan kekecewaan tersebut pada orang lain yang tidak kita kenal, dan akhirnya timbul benih penolakan terhadap keadaan. Atau kita bisa saja tidak terima dengan keadaan baik orang lain yang tidak kita kenal, dan akhirnya tumbuh benih iri."

Anak laki-laki itu terdiam dan memandangi Ayahnya dengan amat lekat. Walau pikirnya kini dipenuhi gaungan pertanyaan, 'Apakah dirinya merasa iri pada anak laki-laki di balapannya tadi?'

• • •

[Baku, 2030]

Rayn sudah sampai di Baku, Ibu kota Azerbaijan. Pagelaran balapan F1 ronde ke 5 ini hanya berjarak satu minggu dari ronde ke 4 di Istanbul. Rayn sendiri langsung berangkat menuju Baku pada Hari Senin, meski hari kemarin ronde ke 4 barulah berakhir. Dan kali ini, Rayn bersama para tim tengah berjalan menyusuri lorong hotel yang mereka sewa untuk satu minggu kedepan.

Rayn kembali tidak berpergian bersama dengan Eral. Sudah terhitung dua kali, mereka tidak berjalan bersama. Satu karena Eral mengajukan cuti, dan yang kali ini Eral mengatakan ingin bersama dengan keluarganya dari Turki yang sudah lama dia tidak temui. Tentunya Rayn juga bingung, Eral pernah berkata bahwa dirinya tidak memiliki siapapun di negara asalnya tersebut, dan sekarang Eral memilih untuk berpergian lebih telat karena ingin bersama keluarganya. Ah, mungkin Rayn harus menanyakan hal tersebut sesaat Eral sampai di Baku.

Race With MeOnde histórias criam vida. Descubra agora