42. Desibel

10 5 1
                                    

Ajudan ibu sudah ada di depan restoran milik keluarga Luka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ajudan ibu sudah ada di depan restoran milik keluarga Luka. Aku pun keluar dari restoran untuk menemuinya sebelum dia nekat dan menghancurkan semua yang ada. Luka menahan tanganku, dia menggeleng dan meletakkan jari telunjuknya di bibir.

Pemuda dengan rambut perak itu pun berjalan dengan tenang ke luar. Ajudan ibu terbang ke arahnya dengan cepat dan berdiri tepat di depannya.

"Kau ke manakan, Nona Hana?"

"Kenapa kau di sini, ini bukan tempatmu!"

"Harusnya, aku yang bertanya, mengapa kau membawa Nona Hana ke sini, ini bukan tempat yang layak dia datangi."

Mereka berdebat sengit. Tangan ajudan ibu sudah terkokang siap melesitkan pukulan ke wajah Luka. Namun, pemuda itu masih tegar dan tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya.

"Kau akan lihat, tempat ini akan terhapus selamanya," ancam si ajudan sebelum pergi meninggalkan restoran. Dia akhirnya pergi juga dalam sekajap mata.

Seorang gadis berdiri di depanku dengan senyuman manisnya. Dari semua penduduk di kota ini, hanya dia yang bisa tersenyum.

"Aku akan membuatkan kamu minuman, tunggulah sebentar."

Aku hanya bisa mengiyakan dan berjalan mendekati Luka. Aku tidak tahu pasti, apakah sebuah pukulan mengenainya atau tidak tadi, tetapi sekarang ada berkas darah di sudut bibirnya.

"Mukamu kenapa?"

"Ah, bukan masalah besar," sahutnya sambil menyeka darah yang ada di sudut bibirnya.

"Aku yakin itu pasti sakit."

Dia berjalan lurus ke ruang kenangan dan aku pun mengikutinya. Ada sebuah rak berisi kotak-kotak besar dengan label di depannya. Aku penasaran, apa yang sedang dia lakukan.

"Apa kau tidak bisa mengantarkan aku ke duniaku?" tanyaku penasaran.

"Belum saatnya. Aku punya misi yang harus kita selesaikan di sini."

"Aku ingin pulang saja, plis."

Dia menoleh ke arahku dengan tatapan serius.

"Percuma, karena mereka tidak akan berhenti mengusik hidupmu sampai anak dan cucumu. Kau harus mengunci mereka."

"Caranya?"

Dia membawa kotak yang dia ambil dari rak menuju meja yang terletak di tengah ruangan. Kotak itu sedikit berdebu, saat debu itu disingkirkan, ada ukiran yang sangat indah di bagian atas kotaknya.

Dia mengeluarkan sebuah diary berwarna hitam. Lalu, membukanya di depanku.

"Kau ingat ini buku siapa?"

Aku meraih buku itu, dan menemukan tulisan tangan ibu di sana. Mataku bergetar pelan, entah kenapa rasanya aku ingin menangis sejadinya.

"Ini buku Ibun?"

"Bacalah, di sini saja. Mereka tidak akan bisa melacak dan mendengarkan suara hatimu."

Aku mencari sudut ruangan untuk membacanya.
.
.
Hari ini, untuk kali pertama aku mendatangi kota ini. Di sini, begitu damai dan tenang. Warganya ramah dan saling peduli. Aku senang bisa ada di sini sekarang.

Ada sebuah kafe yang cukup nyentrik di sini. Kalian bisa memesan berbagai macam roti buatan sepasang sejoli yang saling mencintai. Saking indahnya cinta mereka, sampai-sampai rasa masakannya pun terasa enak sekali.

Ada sebuah mesin kopi tua di depan meja konter yang dioperasikan seorang gadis muda dengan apron berwarna merah menyala. Walau sudah diberi tahu jika warna itu tidak cocok dan terlalu mencolok untuk disandingkan dengan dekorasi ruangan yang dominan berwarna perak ini, dia tetap setia dengan apron itu. Ada ukiran bunga kanola di ujungnya yang menambah kesan indah dan mewah.

Dia begitu ramah padaku dan membuat aku betah berlama-lama menghabiskan waktu di sini. Sampai, akhirnya aku bertemu dengan Tuan Wiskar, nama yang cukup unik untuk kota ini. Namun, tidak usah heran, karena keberadaan kafe ini saja sudah sangat tidak biasa.

Dia memintaku sering datang dan membantu anak gadisnya. Katanya, usia kami sebaya. Dia gadis manis yang sangat supel dan ramah pada semua orang. Sementara pasangannya adalah seorang pria pendiam yang hanya fokus pada pekerjaannya. Dialah yang membuat roti di sini.

Tangan-tangan kekarnya itulah yang mencetak berbagai jenis roti dengan varian isian yang cukup beragam.

Ada roti jadul yang dibelah dan diisi dengan selai srikaya. Ada roti dengan toping meises dan juga keju. Roti-roti ini, enak disantap dengan kopi hangat. Sambil menikmati musik Waltz dan semilir angin sore yang begitu damai.

Aku senang saat membaca buku harian ibu. Ada perasaan senang bukan kepalang, karena pasalnya apa yang dia tulis di sini, tidak semuanya dia ceritakan.

Aku membolak-balikkan halaman buku itu dan menemukan sebuah foto di sana. Wajah ibu ketika dia masih remaja dan sangat mirip denganku.

Aku bekerja di kafe Tuan Wiskar dengan perasaan bahagia. Setiap hari, aku datang ke sini dengan mengayuh sepeda ontel milik bapak. Hari berganti dan pelanggan kami makin banyak. Aku pun sedikit demi sedikit mulai kenal dengan putri Tuan Wiskar, Julia.

Namun, hidup ini memang tidak akan indah jika tidak dibarengi masalah. Julia mengaku selalu dirisak dan digoda teman-temannya. Aku keheranan menatap raut wajahnya yang terlihat biasa saja. Dia tersenyum, tertawa, seperti orang yang tidak memiliki beban hidup.

Aku pun memutuskan untuk membantunya. Kami berdua datang ke sekolah untuk meminta keadilan terhadap perilaku buruk teman-temannya. Namun, yang terjadi adalah, kami tidak bisa menuntut keadilan itu. Pasalnya, orang yang merisaknya adalah anak kepala sekolah.

Aku berhenti membaca sejenak dan membolak-balikkan semua halamannya sampai habis. Luka rupanya kembali ke ruangan ini lagi. Dia keheranan dengan reaksiku.

"Kau membaca semuanya?"

Aku kembali membuka halaman paling depan dan menemukan tanggal pertama kali buku ini dituliskan.

"Kenapa?"

"Apa yang Ibu alami sama seperti apa yang aku alami, Luka. Apa halaman terakhir buku ini sudah ditemukan?"

Pemuda berambut perak itu pun hanya menggeleng dan mendesah lemah. Dia berjalan mendekatiku dan mengambil buku itu dari tanganku.

"Jika hal itu benar, lantas setelah ini kau akan menemui siapa?" Luka terlihat tertertarik dengan ucapanku.

"Tidak ada yang menuliskan nama Clara di buku ini."

"Clara siapa?"

Rasa penasaranku dengan sosok Clara menuntunku pada sebuah praduga. Apa jangan-jangan, dialah yang menciptakan dunia ini agar aku terkurung di sini selamanya?

"Mungkin saja, karena pada akhir misi ibu tidak terlaksana."

Aku mendesah pelan.

"Tenanglah, Hana, kita pasti menemukan cara agar keluar dari sini dengan selamat. Namun, sebelumnya, kau harus melaksanakan misi rahasia."

"Apa itu?" selidikku. "Apa jangan-jangan, kau juga berencana untuk membawaku ke Om-Om?"

Luka tersenyum kecil, dia menarik tanganku dan berjalan mendekati sisi lain dari ruangan tempat kami berada sekarang. Ada sebuah bingkai foto raksasa yang menampilkan foto milik ibu. Aku terperangah dan hampir tidak percaya jika puzzle yang terbuka di sini adalah wajah ibu.

"Apa kau sudah cukup main-mainnya, Tuan putri?"

Ajudan itu, entah muncul dari mana, dia segera menarik tangaku dan menyeretku keluar dari kamar.


Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now