14. Gitar

497 49 23
                                    

"Bukan masalah harga, tetapi kenangan
tidak bisa dibeli dengan alat tukar apapun."

-Richandra Dion

***

Dia menuntun langkah menuju salah satu Tempat Pemakaman Umum di sana. Pukul sebelas siang tepatnya, Chandra kini berada di samping sebuah gundukan tanah.

Dia berjongkok, mencabuti rumput-rumput ataupun daun yang membuat peristirahatan terakhir Mahen tampak sedikit kotor.

"Abang, maafin Chandra." Dia bermonolog sembari menatap gundukan tanah didepannya. "Kita jarang banget kesini, ya?"

Chandra menatap kosong tulisan "Mahendra Ghaza bin Devin Argana" itu. "Chandra mau cerita banyak banget sama abang, tapi gak tau mau mulai dari mana."

Dia tersenyum kecut, air mata meluruh dengan sendirinya dari netra hitamnya. Chandra lalu menghapus air yang jatuh dari matanya tersebut.

"Gue kangen lo, Bang. Selalu." Suaranya bergetar menahan tangis. Semuanya seolah ingin Chandra ceritakan pada seorang Mahen yang kini tidak ada lagi disampingnya. Chandra yang biasanya bercanda bersama Mahen, Chandra yang selalu bercerita tentang teman-temannya pada Mahen, Chandra yang selalu dibuat kesal karena Mahen, Chandra yang bercerita sambil menangis, hanyalah dengan Mahen.

Rasanya Chandra ingin kembali memeluk tubuh kokoh yang jauh sebenarnya sangat rapuh itu. Selalu Chandra mengeluh didepan Mahen, tapi tak sekalipun kakaknya itu pernah mengeluh didepan dirinya.

Mahen yang biasanya bermain gitar tiap malam bersama Chandra, Mahen yang selalu menutup lukanya dibalik senyum, dan Mahen yang selalu menjadi garda terdepan dan terkuat bagi adik-adiknya sangatlah amat Chandra rindukan.

Jika dia tahu Mahen akan pergi secepat ini, dia tidak akan pernah menangis didepan Mahen, dia tidak akan pernah menyalahkan Mahen karena tidak pernah mengambil rapornya.

Terbesit rasa bersalah yang besar dalam hati Chandra. Biar bagaimanapun, rasa sayangnya pada Mahen tidak akan bisa diungkapkan lewat kata.

Chandra tak langsung pulang, dia kembali menyusuri pemakaman sembari mencari peristirahatan terakhir milik seseorang

Devin Argana

Chandra berjongkok disamping. Menatap penuh arti makam yang terlihat kumuh tersebut. Dulu, Mahen-lah yang selalu kesini, tapi sekarang bahkan dia juga turut diistirahatkan di tempat ini. Sementara saudaranya yang lain jarang mengunjungi karena kesibukannya masing-masing. Meskipun begitu, mereka juga rutin mengirimkan doa meski dari rumah.

"Ayah... Kita jarang banget kesini, ya?" Dia mencabuti rumput-rumput yang ada disitu. "Chandra sama yang lain selalu pengen kesini, tapi gak sempet. Maaf, Yah."

"Jendral pasti kangen banget sama Ayah. Dia sekarang lagi sakit. Dia kecelakaan, Ayah juga udah tau, ya?"

Dari kesemua Argana, yang paling dekat dengan Ayah selain Mahen yaitu Jendral. Dia juga mewarisi kekuatan Ayah yang benar-benar kuat, dan juga senyum Ayah yang bisa menghangatkan hati orang lain, begitupun dengan Jendral.

Ayah dulu sebenarnya mabuk bukan karena alasan kebiasaan, melainkan karena terlalu berat memikirkan semua masalah tanpa adanya Ibu, lalu kebetulan dia diajak oleh temannya. Dan berakhirlah Ayah pulang dengan kondisi setengah sadar.

"Chandra pamit, assalamualaikum." Chandra berdiri selepas selesai dengan urusan membersihkan makam ayahnya. Walaupun tak terlalu bersih, tetapi lebih terlihat terawat.

"Chandra lupa gak bawa bunga, Bang Mahen juga gak Chandra kasih. Gak papa ya, Yah?"

Dia lalu berjalan meninggalkan area pemakaman yang sepi, mungkin hanya ada satu atau dua orang.

Argana || NCT Dream [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora