A Landslide

25 2 2
                                    

Trigger warning : Mention of blood and dark places.

//

Derap kelewat gusar, embusan napas berantakan, gemercik rasa was-was telah meledak menjadi ketakutan. Adalah garis besar yang dapat tergambarkan pada keseluruhan pemuda berusia sekitar sepuluh tahun itu.

Tidak adil. Kaki si pemuda yang kurus dan pendek seolah diremehkan oleh batang-batang pohon yang besarnya menyerupai lima kali lipat dirinya, dan tingginya mungkin enam kali lipat lebih tinggi dari dirinya.

Gelap jelang tengah malam turut ikut serta memberi peran, cahaya terang rembulan di atas pucuk kepala seolah tidak membantu keselamatan.

Justru, bulan bulat sempurna di ujung pandangan tiap kali ia mendongak, adalah apa yang ia takuti lebih dari apa pun. Dan yang ia tahu, ia hanya harus pergi dari hutan tersebut sebelum mahkluk-mahkluk di belakang sana dapat menggapainya.

Benar, nyaris pukul tengah malam, gelap padam, hutan dan belukar tanpa petunjuk, bukanlah apa yang pemuda itu inginkan. Kegiatan menyenangkan yang seharusnya memenuhi satu dari sekian puluh ribu harinya itu berbalik total, menjadi malam yang berat dan mencekam.

Ia rasa, atas situasi seperti ini, ia tidak akan ingat hal terakhir apa yang ia lakukan sebelum segalanya terjadi. Ia sendiri bahkan tidak ingat perihal awal mula, ia tidak ingat tentang apa pun ketika tahu-tahu tubuh ringkihnya begitu saja terseret sekitar lima meter dari tempatnya bermalam bersama beberapa kawannya dalam lelap.

Bayangan hitam tadi—astaga, si pemuda hanya ingat bagaimana bayangan pekat tanpa bentuk tadi membumbung tinggi-tinggi di antara dahan-dahan pohon sebelum akhirnya merangsek cepat menyerang ia dengan kasar, hitamnya berusaha mengikat pergelangan kaki kurus dan menyeretnya lebih jauh lagi andai si pemuda tidak mengeluarkan segenap usahanya untuk melarikan diri.

Ketidakadilan di antara mereka semakin terasa begitu waktu terus berputar bak arloji rusak. Si pemuda telah kehabisan hampir separuh oksigennya, sementara sosok menyeramkan di kanan dan kiri ujung matanya seakan tidak mengenal kata lelah seujung kuku pun.

Tetesan keringat di pelipis begitu saja terlepas, bersamaan dengan langkah lari si pemuda yang menyempit sebelum sebilah kaki kecil kirinya terantuk akar pepohonan tua.

Pemuda malang tersebut tersungkur di antara belukar dan akar, kedua telapak tangan serta sikut telanjangnya lecet. Jangan tanya seperti apa sakit yang ia rasa, walau gelap malam menutup wujud luka rapat-rapat, nyeri yang teramat telah memenuhi sensori kulitnya.

Belum sempat si pemuda berlindung dari geraman marah di sekitarnya, ia lebih dulu mendapati bayangan hitam yang mengejarnya sedari tadi melesak begitu cepat di sisi dirinya hanya dalam hitungan kurang dari satu sekon. Menyisakan si pemuda bersama napas kasar yang tercekat beberapa detik, sebelum si pemuda merasakan suatu benda cair mengalir lambat pada tulang pipinya.

Spontan, tangan gemetar si pemuda meraba pipinya sendiri untuk mendapati cairan kental pekat itu kini menodai ujung-ujung jari.

Terpatah-patah, tangannya kembali mengusap pipinya yang dirasa semakin perih dan semakin banyak mengeluarkan cairan dalam jumlah tidak terkira.

Darah.

Si pemuda berusaha menghilangkan bekas-bekas darahnya sendiri dengan segala cara, mengusapnya kasar pada ujung kaus, menutupnya menggunakan lipatan siku, bahkan menekan tepi lukanya keras-keras, namun semua dirasa sia-sia sebab darahnya terus menyeruak keluar.

Sebagai manusia normal seusianya, ia sudah hampir menangis dan putus asa menghilangkan jejaknya itu, tetapi, seolah semesta tidak mau tahu dan tidak lagi berpihak padanya. Si pemuda seperti dikuliti di tempat, di detik yang sama sewaktu cahaya bulan purnama berada pada puncak cantiknya, membuat sosok malang tersebut terpaku, membeku tanpa sebab.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 15, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Silent OrbitWhere stories live. Discover now