43. Demon

11 6 1
                                    

Aku diseret keluar dari restoran dan dibawa pulang oleh ajudan ibu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku diseret keluar dari restoran dan dibawa pulang oleh ajudan ibu. Wanita yang berwajah sama dengan ibu itu terlihat geram. Dia mengunciku di kamar dan tidak diberi makanan. Aku diam saja sambil memeluk ransel. Sebelum keluar dari ruang kenangan tadi, aku masih sempat membawa buku diary ibu. Namun, aku tak bisa membacanya karena ajudan ibu bisa membaca pikiranku.

Benar saja, tak berselang lama pintu kamar terbuka dan dia ada di ambang pintu dengan sebuah piring berisi makanan dan juga sebuah botol minum untukku. Dia meletakkan botol itu di depanku, lalu pergi begitu saja.

"Malam ini, aku tidak akan membaca pikiranmu," katanya sebelum mengunci pintu kamar.

Aku jelas saja tak bisa langsung percaya dengan ucapannya. Pasalnya, dia bisa membaca pikiran semua orang. Sebenarnya, aku juga kasihan melihatnya yang tidak bisa menolak semua bising yang ada di dalam kepalanya. Namun, juga kesal, karena dia membaca isi kepalaku seenaknya.

Aku meraih botol minum dan menenggaknya setengah. Lalu, pandangan mataku beralih pada piring. Makanan di dalam piring terlihat menggiurkan, aku berusaha tak acuh, tetapi perutku mengkhianatiku. Dia berbunyi merdu sekali, dan aku otakku pun bereaksi, aku harus makan.

Tiba-tiba saja, aku ingat perkataan seseorang, "makanan akan terasa begitu nikmat saat kita benar-benar lapar. Tak peduli sesederhana apa masakannya, kita akan merasa nikmat yang tiada tara saat memakannya."

Aku tersenyum kecil diiringi dengan air mata yang perlahan berurai.

"Tuhan, kapan aku bisa keluar dari sini, apa kabarnya dia di sana? apakah dia mencariku? Dia bilang, ke mana pun, asal aku menyebut namanya, dia akan datang? Pram... Mas Pram, aku kangen."

Mataku mulai mengantuk, semua terasa begitu melelahkan sekarang.
.
.
Aku mencoba membuka mata. Tidak ada cahaya di sini, tanganku juga tidak bisa bergerak dengan mudah. Tidak ada bau-bauan yang membuatku tidak bisa memikirkan sebuah tempat. Aku meronta, mencoba melepaskan diri. Namun, semuanya terasa percuma. Sekuat apa pun aku meronta, ikatan itu semakin terasa kuat dan semakin kuat. Rasa takut pun mulai menyusup ke dalam hatiku.

"Kau tidak boleh menangis sekarang, Hana, berpikirlah!"

Aku menduga, ibu pasti memasukkan sesuatu di dalam makananku. Seharusnya, aku tidak memakannya, seharusnya aku tidak menenggak minuman itu sampai habis.

Aku merutuki kebodohanku. Sejurus kemudian, ada sebuah suara yang terdengar pelan sekali. Seperti langkah kaki yang perlahan mendekat. Benar saja, tak lama ada seseorang menendangku kuat. Aku mencoba memekik, tetapi percuma, suaraku tertahan oleh kain yang menyumpal mulutku.

Dia terus saja menendangiku sampai rasanya, aku lebih ingin mati agar semua cepat berakhir. Namun, ada sebuah tangan yang menjambak rambutku. Aku diseret seperti binatang. Tanpa ampun, tubuhku di tarik kuat sampai melayang dan mendarat pada dinding. Tubuhku nyeri sekali.

"Kau masih mau melanggar semua aturan yang kami buat? Memangnya, kau siapa berani mengusik aturan baku di dalam kota ini? Aku ini penguasa di sini, kau gak berhak mengatur-atur anak buahku."

Hardikannya yang cukup keras itu, membuatku mangalah. Mau melawan bagaimana pun, tetap akan kalah juga pada akhirnya. Namun, jika tidak melawan, besok aku mungkin saja tidak akan bernapas lagi.

Memikirkannya saja sudah cukup menakutkan buatku. Aku mencoba untuk tetap tenang. Kepalaku ini harus selalu berpikiran positif di saat seperti ini, agar aku bisa mencari jalan keluar dari masalah ini.

Aku mencoba memikirkan banyak tempat di kota ini. Dari semua yang ada di kepalaku sekarang, hanya satu tempat yang belum pernah aku kunjungi.

Clara bilang, ada sebuah tempat rahasia yang digunakan penguasa untuk mengurung orang yang melanggar aturan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Clara bilang, ada sebuah tempat rahasia yang digunakan penguasa untuk mengurung orang yang melanggar aturan. Mungkin, inilah yang dimaksud.

Aku mencoba menghidu, mencari bau-bauan, menajamkan teliga, agar bisa menangkap suara. Namun, nihil. Sekeras apa pun aku mencoba, tidak ada suara yang aku tanggkap saat ini.
memikirkan
Aku mencoba sebuah nama, tetapi anehnya tidak ada sebuah nama pun yang lewat di kepalaku selain seseorang bernama Clara. Apa dia?

"Ah, tebakanmu benar." Ada sebuah suara yang terdengar tak jauh dari tubuhku.

Ketukan sepatunya terdengar mendekat, dengan cepat dia pun sudah ada di dekatku. Dan sebuah tendangan kembali mendarat di perutku.

"Clara, apa yang kau lakukan, padaku?"

"Percuma saja, kau mau memohon agar aku mengampunimu sekarang! Aku sudah peringatkan, akan ada sebuah tempat untuk orang-orang pembangkang seperti kamu. Bukannya berhati-hati, kau malah melarikan diri bersama si bodoh itu. Di sini, semua kenangan akan dibersihkan, semua kebahagiaan akan dihapus dari ingatanmu. Kau tak lagi bisa memikirkan seseorang yang paling kau cintai saat ini. Tak usah repot-repot mengatakan aku kejam, aku memang kejam!"

"Aku tak heran dengan tingkah anehmu itu, Kau berusaha sekuat tenanga untuk mengkopi diriku, kan? Tapi gagal terus! Dasar oon!" lirihku dalam hati.

Aku mengatakannya di dalam hati, karena tahu dia pasti mendengarkan isi hatiku. Benar saja, dia pun mulai menendangiku lagi. Rasanya, dunia menjadi gelap dan anyir. Aku tidak bisa menguasai diriku sendiri saat ini. Kepalaku menjadi sangat berat. Udara dingin seakan menyergap dan membuat tubuhku yang sakit ini menggigil kedinginan.

Mataku perlahan terpejam, sakit yang tak terperikan itu membuatku tidak lagi bisa bergerak.

"Tuhan, apa Kau akan memanggilku sekarang?"

Gelak tawa Clara perlahan menghilang, kantuk menguasaiku, Aku pasrah, Tuhan.

Kilasan kehidupanku tiba-tiba saja muncul di benakku. Tentang adik-adikku yang meninggal karena kebakaran, juga ibuku yang tiba-tiba saja menjadi gila dan juga seseorang yang selalu menjagaku di mana pun aku berada. Tuhan, kalau boleh aku ingin bertemu dengannya saat ini. Aku ingin minta maaf karena sudah menjadi beban untuknya.

Tarikan napasku mendadak semakin berat dan berat. Tak ada hal lain yang aku inginkan saat ini, kecuali untuk tetap hidup. Namun, bagaimana aku bisa hidup dengan luka yang sekarang terasa begitu sakit tak terperikan lagi. Andai saja dia di sini sekarang? Tuhan... tolong kirimkan dia untuk menjemputku pulang.

Aku seperti melayang ke udara dengan kilauan cahaya putih yang masuk ke mataku saat ini. Aku tidak ingin membukanya sekarang. Mungkin saja saat ini, aku ada di surga-Nya. Kalau pun ya, aku harusnya bersyukurkan? Tuhan, aku ikhlas jika ini adalah akhir hidupku. Aku ingin minta, aku ingin semua orang yang aku tinggalkan mendapatkan kebahagiaan.

Cahaya yang berpendar itu perlahan menghilang, berganti gelap  yang teramat sangat. Aku tetap memejamkan mata dan tak ingin membukanya. Biar begini saja, toh tidak akan ada yang mencariku saat aku benar-benar mati."

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now