Bab 7 Keputusan Menikah

23 1 0
                                    

"Akhirnya, Sayang, kamu sudah boleh pindah ke ruangan biasa. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Sari dengan nada gembira.

"Baik, Ma. Piter sudah sehat. Hanya saja, kakiku belum ada perkembangan," keluh Piter.

Sari terdiam sesaat mendengar ucapan sang anak, tetapi segera tersenyum. "Jangan khawatir, Sayang. Dokter Hasan bilang, kondisi kakimu perlahan membaik. Kita hanya perlu menunggu sampai kamu bisa mulai latihan jalan." Sari mengelus rambut Piter dengan penuh kasih sayang.

"Iya, Ma," balas Piter pelan. Ia tak sabar menantikan saat itu tiba. Sekarang, rasanya sudah tidak betah dengan kondisi ini—hanya bisa berada di dalam kamar dan harus selalu dibantu ke mana pun.

"Oh iya, Sayang, Mama mau bicara sesuatu sama kamu," ujar Sari sebelum duduk di samping tempat tidur Piter. Wanita itu menggenggam tangan Piter lembut dan mengelusnya perlahan. "Apakah kamu sudah ada rencana menikah? Atau sekadar memiliki pasangan yang mau kamu jadikan seorang istri?" tanya Sari hati-hati.

Piter mengernyitkan dahi. Pria itu memandang sang mama dengan tatapan menyelidik. "Ada apa Mama tiba-tiba tanya seperti itu?"

"Maafkan Mama. Bukannya gimana-gimana. Hanya saja sejak kamu kecelakaan, Kristy tidak pernah datang menjenguk. Padahal Mama sudah kasih kabar ke dia. Makanya Mama tanya, Sayang. Karena seingat Mama, kamu belum pernah mengatakan ingin menikah dengannya," jawab Sari sangat hati-hati, takut menyakiti hati sang anak.

"Piter memang tidak ada rencana untuk menikah dengan Kristy, Ma. Piter menerima Kristy hanya karena tidak ingin diganggu dengan tingkahnya yang selalu ngejar-ngejar Piter. Lagian ya, Ma, dia pasti sudah bilang ke Mama mau putus dari Piter, 'kan?" tebak dokter muda itu karena sudah mengenal watak dari 'pacar terpaksanya'. "Mana ada wanita yang mau berhubungan dengan pria cacat yang tidak bisa melakukan apa pun sendirian sepertiku? Mengurus diri sendiri saja tidak bisa. Apalagi tipe seperti Kristy yang maunya dilayani," ucap Piter dengan wajah yang murung dan terlihat sedih.

Tebakan Piter sangat tepat. Saat ia mengalami kecelakaan, Sari sudah berusaha menghubungi Kristy yang pernah memperkenalkan diri sebagai pacar Piter. Bukannya mengkhawatirkan keadaan sang kekasih, wanita itu malah langsung memutuskan hubungannya dengan Piter melalui Sari—saat itu juga. Itulah salah satu alasan Sari ingin menjodohkan sang anak dengan Olive.

Sampai hari ini, ia tidak bisa melupakan ucapan Kristy saat itu. "Ya ampun, Tan. Kalau Piter kecelakaan separah itu artinya sebentar lagi dia akan mati, dong. Kalau nggak mati, pasti cacat. Aku mau putus saja dari Piter ya, Tan. Kristy masih cantik gini, masa harus punya pacar yang dikit lagi mati atau paling ringan jadi orang penyakitan dan cacat gitu?"

Sari menggelengkan kepala pelan untuk melupakan suara Kristy yang masih terngiang di telinganya. "Jangan bersedih, Sayang. Masih ada kok wanita yang mau menerima keadaanmu. Lagi pula kamu masih punya kemungkinan untuk bisa jalan lagi setelah melakukan physiotherapy," hibur Sari sambil memeluk sang anak.

Hening sejenak. Kemudian, Sari melanjutkan. "Sebenarnya Mama sudah menjodohkan kamu dengan anak teman Mama. Mama mau kamu menikah dengannya. Mama juga sudah bicara dengannya—gadis itu bersedia menerima kondisimu saat ini. Kamu mau ya menikah dengan dia?"

"Ma, please deh. Jangan menyusahkan anak orang dengan kondisiku saat ini. Gadis itu pasti bisa mendapatkan pria yang lebih baik dibandingkan Piter yang cacat, Ma. Kristy saja tidak mau melanjutkan hubungan kami, apalagi gadis lain yang belum pernah kenal dengan Piter," tolak Piter dengan perasaan campur aduk.

Rasanya, ia sungguh kesal dan kecewa dengan keadaaannya saat ini. Kenapa harus dia yang mengalami kelumpuhan? Kenapa harus terjadi di saat kariernya sedang menanjak? Banyak pertanyaan 'kenapa' di dalam benaknya.

"Jangan menyamaratakan semua wanita seperti mantan pacar kamu yang pergi itu, Sayang. Olive sudah setuju untuk jadi istrimu dan tidak keberatan dengan kondisimu. Iya 'kan, Liv?" Kini, Sari menoleh ke arah Olive yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari mereka.

Dua detik berikutnya, Sari dan Piter menatap Olive dengan tatapan yang berbeda. Sari menatap Olive dengan pandangan bahagia, sedangkan Piter penuh tanda tanya dan menuntut banyak penjelasan. Gadis itu mendadak gugup dan dengan susah payah menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan Sari.

"Jadi selama ini kamu merawatku karena permintaan Mama? Ini alasan kamu tidak lagi bekerja di bagian anak?" tanya Piter menuntut penjelasan.

"I-iya, Kak, dan apa yang Tante Sari bilang itu benar," jawab Olive sambil menunduk dalam-dalam. Ia tidak berani menatap langsung mata Piter yang terlihat menusuk.

"Nah, benar 'kan. Jadi kamu mau ya, Sayang? Mama ingin ada yang mengurusmu nantinya, seperti Andre yang sudah punya Intan sebagai pendamping," bujuk Sari lagi dengan wajah memelas.

"Ma, tapi Olive masih muda dan punya karier bagus di rumah sakit ini. Apa Mama tidak kasihan dengan Olive? Dia harus merelakan jenjang kariernya jika menikah denganku," tolak Piter. Sungguh, sebenarnya Piter tidak ingin melihat wajah sedih sang mama dan lebih dari itu, siapa yang tidak mau menikah dengan wanita yang sudah berhasil mengambil hatinya?

Piter dan Kristy berpacaran bukan atas dasar rasa cinta. Piter menerimanya karena wanita itu terus mengejar Piter, bahkan mengganggu aktivitasnya. Kristy bilang, akan berhenti mengganggu jika pria itu mau menerimanya jadi seorang kekasih. Akhirnya Piter menerima Kristy menjadi pacarnya, apalagi kakak bucin-nya selalu menganggap Piter mengharapkan Intan. Sekalipun sudah berpacaran dengan Kristy, Piter tidak memiliki perasaan apa pun. Namun ketika bertemu dengan Olive, rasanya beda. Baru kali ini Piter merasa tertarik dengan lawan jenis.

"Olive masih tetap bisa bekerja setelah menikah denganmu, kok," elak Sari. Ia baru sadar mengenai hal itu setelah Piter mengatakannya.

"Huft, Ma. Apa mama pikir setelah menikah denganku, Olive masih bisa bekerja? Dia pasti harus mengurusku yang tidak bisa apa-apa ini 'kan. Apa Mama mau aku diurus orang lain, sedangkan aku sudah memiliki istri?" tanya Piter lagi. Kalimat itu menusuk hati Sari.

Benar, Sari tidak akan bisa menerima kalau sang anak diurus oleh orang lain, sedangkan sudah memiliki istri. Bukannya mau memberatkan Olive, tapi ia harus menjaga perasaan sang menantu yang suaminya harus diurus oleh wanita lain. Jika mempekerjakan pengurus laki-laki, Sari kurang yakin karena laki-laki sering tidak telaten merawat orang sakit.

Sari menatap Olive dan Piter secara bergantian dengan perasaan kalut dan bingung. Anehnya, Olive justru mengembangkan senyum manis. Ia tidak menyangka bahwa Piter akan menolak karena memikirkan dirinya dan kariernya, bukan karena alasan tidak suka atau alasan lain yang bisa melukai hati.

"Tidak masalah, Kak. Aku tidak keberatan keluar dari pekerjaanku saat ini. Mengurus suami dan keluarga adalah cita-citaku sejak dulu. Lagian jika Tuhan berkenan, nantinya aku akan bisa kembali bekerja. Jangan khawatirkan ke depannya, percayakan saja sama Tuhan." Ucapan Olive bagaikan air penyegar bagi ibu dan anak itu.

Mereka tidak menyangka Olive bakal mengiyakan dengan mudah. Padahal Sari sedang memikirkan cara untuk membujuk Olive agar bersedia, tetapi gadis itu lebih dulu mengangguk dengan sukarela. Piter juga tidak bisa menutupi rasa bahagianya mendengar keputusan Olive menjadi istrinya dan mengurusnya yang lumpuh.

"Oke! Kalau begitu sudah sepakat ya. Mama akan urus proses pernikahan kalian sekarang dan kalian akan mulai sesi pranikah setelah Piter keluar dari rumah sakit!" ujar Sari dengan nada sangat antusias. Sungguh, hatinya amat bahagia! Ia langsung berdiri dari tempat duduknya dan memeluk Piter, lalu Olive, kemudian pergi meninggalkan mereka.

Dalam sekejap, suasana menjadi canggung. Baik Piter maupun Olive diam mematung. Tak lama, lelaki itu tertawa kecil tanpa suara sambil menggaruk tengkuknya, sedangkan Olive tersenyum kecil sambil memilin jari-jarinya. Mereka bertatapan dan sekali lagi tertawa bersama.

"Kamu lucu," ujar Piter.

"Kakak yang lucu," balas Olive sambil tertawa kecil, memamerkan deretan giginya yang rapi.

***

Bersambung...

Perfect Love In JesusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang