Bab 12 Bergaining

13 1 0
                                    

Setelah meraung dan menangis, Piter tertidur. Olive dibantu oleh Andre memindahkan Piter ke atas tempat tidurnya dan menyelimuti pria itu dengan nyaman. Andre keluar setelah memastikan adiknya baik-baik saja dan sudah diberikan infusan serta obat oleh Olive. Sedangkan gadis itu masih berdiam diri di samping tempat tidur dokter tampan calon suaminya itu. Piter tampak pucat dan sedikit ada gurataan halus di keningnya seakan di dalam mimpi pun pria itu sedang merutuki diri sendiri akan kelumpuhannya.

Sebelum keluar dari kamar Piter, Olive menyempatkan untuk membersihkan pecahan piring dan tumpahan makanan yang berceceran. Setelah selesai merapikan kamar Piter, Olive kembali mendekati pria itu dan duduk di sampingnya. Menatap pria yang dulunya menjadi salah satu idolanya dan rekan-rekannya, saat ini tampak sangat rapuh dalam kondisinya yang lumpuh.

"Kamu harus semangat, Kak. Aku yakin Kakak pasti bisa sembuh. Kita berjuang bersama ya, Kak. Aku tidak akan pergi seperti yang Kakak minta. Aku janji akan selalu mendampingi Kak Piter. Cepat pulih ya, Kak," ucap Olive sambil menggenggam tangan calon suaminya dengan lembut.

"Istirahat lah, Kak. Aku keluar dulu, ya," ucapnya sekali lagi lalu memberanikan diri untuk mengecup sekilas kening Piter sebelum ia keluar. Tentu saja Olive berani melakukan itu karena tahu Piter  sedang tidur, jika pria itu tidak sedang tidur, tidak mungkin Olive akan berani menyium keningnya.

Tampak seluruh keluarga Sanjaya sedang berkumpul dengan wajah khawatir menghiasi setiap mereka. Sari segera mendekati Olive saat gadis itu keluar dari kamar sang anak. Wanita paruh baya itu merengkuh tangan Olive.

"Liv, bagaimana kondisi Piter?" tanya Sari dengan tidak sabar.

"Kak Piter sudah lebih tenang, Ma. Olive sudah pasang cairan infus juga sesuai instruksi Dokter Mira. Sekarang Kak Piter lagi tidur," jawab Olive dengan senyum kecil di wajahnya. Walau tersenyum, raut lelah dan khawatir sangat terlihat di wajah cantik gadis itu.

"Syukurlah. Kamu sendiri bagaimana? Kata Intan kamu belum makan siang kan? Ayo makan sama Mama. Biarkan Piter tidur dulu," ajak Sari menggandeng Olive menuju ruang makan.

Perasaan Sari lebih tenang saat tahu Piter sedang tidur. Paling tidak ia bisa lebih merasa lega karena Olive berada di sisi anak keduanya itu. Olive bahkan langsung menghubungi dokter Mira tanpa diminta. Gadis itu terlihat sangat tulus merawat Piter dan tidak tampak seperti terbebani sama sekali

***

"Sebenarnya apa yang Engkau inginkan untukku, Tuhan?" tanya Piter saat ia sudah terbangun dari tidurnya.

Ia hanya berdiam diri di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamarnya tanpa ada niat untuk beranjak. Hatinya masih belum bisa menerima kenyataan, tapi setiap dipikirkan selalu jawabannya adalah satu, ini adalah ujian dan salib yang harus dipikulnya. Menjadi pengikut Kristus tentu tidak pernah mudah.

Cukup lama Piter diam pada posisinya hingga terdengar pintu kamarnya terbuka. Langit sore kini telah berubah menjadi malam. Olive masuk dan menyalakan lampu di kamar pria itu sekalian melihat keadaan Piter. Entah kenapa pria tampan itu refleks menutup kembali matanya seakan masih tertidur.

"Kak, bangun yuk," ucap Olive dengan lembut menyentuh tangan Piter, namun tidak ada respon darinya. Lebih tepatnya Piter pura-pura tidak merespon.

"Cepat pulih ya, Kak. Kakak harus kembali semangat. Aku akan selalu menemani Kakak dalam proses penyembuhan. Kakak harus percaya bahwa kaki Kakak bisa kembali digerakkan. Aku kangen lihat senyum Kakak dan lihat kepercayaan diri Kakak seperti sebelumnya," ucap Olive saat duduk dipinggir tempat tidur dan menggenggam tangan Piter.

Pria itu tetap bergeming dengan mata tertutup tidak merespon ucapan Olive. Tapi gadis itu tidak tau bahwa sejujurnya jantung Piter berdetak dengan begitu kencangnya saat merasakan Olive duduk disampingnya, menggenggam tangannya dan mengucapkan kata-kata penyemangat yang membuatnya merasa hangat.

Setelah hening sejenak, Piter bisa merasakan gadis itu kembali berdiri dan meletakkan tangannya kembali dengan perlahan. Setelah itu Piter bisa merasakan daging lembut dan hangat menempel di keningnya. Pria itu menebak kalau Olive telah menyium keningnya, lalu terdengar pintu kamarnya kembali tertutup. Setelah dirasa cukup aman, pria itu kembali membuka matanya, telinga dan pipinya sudah merah merona. Jantungnya sudah berdebar dengan sangat kencangnya.

"Aku kenapa?" gumam Piter sambil menyentuh dadanya.

***

Selama beberapa hari ini, Piter menjadi sosok yang lebih pendiam. Walaupun tidak lagi mengamuk seperti sebelumnya, saat ini ia seperti enggan membahas mengenai kelumpuhannya. Bahkan, pagi ini saat seluruh cucu keluarga Sanjaya berkumpul, pria tampan itu tidak ikut mengobrol seperti biasanya.

"Kak Piter, Lo datang kan nanti ke acara wisuda gue?" tanya Bayu yang mencoba mengajak sang kakak sepupu berbicara.

Piter hanya diam tidak menanggapi. Bayu menggaruk tengkuknya dan menatap kakak sepupunya yang lain meminta pertolongan, namun semua tampak enggan. Intan menyenggol tangan suaminya agar mengajak Piter bicara, mau tidak mau Andre menyanggupi permintaan sang istri.

"Tentu saja dia datang. Nanti gue temani ya Pit, kita bareng ke acaranya Bayu," ujar Andre seakan membuat keputusan untuk sang adik.

"Gue juga ikut deh, sepertinya jadwal syuting gue nggak terlalu banyak," sambung Jordan mencoba untuk ikut mengobrol.

"Wah, seru dong kalau gitu. Lo juga ikut kan Kak?" Kali ini Bayu bertanya pada Olive.

"Aku ikut keputusan Kak Piter saja," jawaban Olive membuat suasana kembali canggung. Pasalnya, Piter tetap diam tanpa respon.

"Seandainya gue nggak cacat, gue dengan senang hati datang, Bay. Tapi sekarang gue cacat. Apa yang Lo cari dari gue yang cacat ini?" pertanyaan Piter membuat semuanya hening. Setelah diam yang cukup panjang, Piter akhirnya menganggapi, tapi tanggapannya sangat menyakitkan.

Bayu tampak murung mendengar ucapan kakak sepupunya itu. Sosok kakak yang selama ini menjadi panutannya dan selalu membelanya di depan keluarga besarnya bahkan menjadi tempat pelariannya saat memiliki masalah, kini terlihat sangat rapuh. Bayu sangat tidak tega melihat kondisi Piter seperti itu.

"Kak, Kakak nggak boleh bilang seperti itu. Walau Kakak belum bisa jalan saat ini, tapi kondisi kaki Kakak semakin membaik. Bukannya kata Dokter Hasan minggu depan kita sudah bisa mulai latihan berjalannya? Lagipula, kita masih bisa datang ke acaranya Bayu menggunakan kursi roda. Kakak bukan cacat tapi hanya lumpuh sementara," ucap Olive yang merasa kesal dengan ucapan Piter.

"Bayu hanya akan merasa malu kalau aku datang dengan kondisi cacat seperti ini. Seandainya kondisiku tidak cacat, aku pasti akan pergi, Liv," balas Piter ke calon istrinya itu. Pria itu masih saja menggunakan kata 'cacat' untuk menggambarkan kelumpuhannya.

"Siapa yang malu? Gue nggak malu dengan kondisi Lo, Kak. Gue malah berharap Lo datang ke acara wisuda gue," ujar Bayu dengan semangat dan berapi-api walau di matanya tampak genangan air mata yang sedang berusaha ia tahan.

"Nah, Bayu sudah bilang kayak gitu. Kakak harus semangat,"Olive kembali menyemangati pria berkacamata itu.

"Benar Pit, kita semua tidak ada yang pernah malu dengan kondisi Lo saat ini. Kita semua tahu Lo dokter yang hebat dan Lo akan segera sembuh," ujar David yang kebetulan sedang kembali ke rumah utama keluarga Sanjaya itu.

Piter tersenyum sekilas menatap satu persatu saudara sepupunya itu. Bukan jenis senyum bahagia, melainkan senyum keputusasaan. "Terimakasih untuk ucapan kalian, tapi gue tahu itu semua hanya sekedar basa-basi untuk nyemangatin gue. Semua itu tidak mengubah kenyataan gue tetap cacat."

***

Bersambung...

Perfect Love In JesusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang