44. Detik terakhir

20 9 1
                                    

Hari ini demi hari menjadi begitu sepi untuk kami semua

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari ini demi hari menjadi begitu sepi untuk kami semua. Rumah ini juga teramat sepi, sampai aku bisa mendengar suara detakan jam dan suara deru kendaraan dari bukit sebelah yang berjarak cukup jauh dari sini. Malam yang hening tanpa celotehmu begitu menyakitkan, Hana. Kembalilah sayang.

Sudah tak tahu berapa banyak doa yang kurapalkan untuknya. Aku masih tidak bisa pergi ke dunia tempatnya berada. Luka bersikeras melarangku pergi ke sana. Pun, aku juga tidak melihatnya melakukan apa-apa. Ah, aku tak tahu pasti apa yang sedang dia kerjakan di sana, apakah bersiap untuk kuliah, atau malah sibuk dengan kafenya.

Aku sepi di sini, Hana, pekerjaanku yang menumpuk membuatku makin frustrasi. Aku susah berkonsentrasi karena kepalaku terbelah. Rasanya, tidak kuat jika bila suster yang kami minta menjaga tiba-tiba menelepon dan mengatakan kamu mengalami kejang.

Sama seperti hari ini, aku berlari seperti orang gila dari kampus untuk melihatmu. Jantungku rasanya akan meledak saat suster bilang kamu kejang lagi dan berulang beberapa kali hari ini. Rasanya aku ingin memakinya, tetapi dia bilang, Ayah yang memintanya tidak mengatakannya karena tahu aku baru saja bekerja sebagai asisten dosen, Hana.

Hana, tolonglah kembali.

Pak Alfian duduk tertunduk di sebelah anak gadis semata wayangnya. Tangannya menggengam jemari putrinya. Aku datang dan berdiri terpaku di belakangnya. Dia menoleh ke arahku dan menarik tanganku untuk meraih jemari putrinya.

"Pram, saya minta maaf jika selama ini kamu merasa terbebani dengan amanah ini. Saya tahu, masa depanmu masih jauh, masih banyak hal yang bisa kau kerjakan. Masih banyak gadis di luar sana yang layak mendapatkan perhatian dan cintamu. Saya minta, di depan saya, tolong talak anak saya, Pram. Dan bangunlah rumah tangga dengan gadis lain."

"Tidak, Pak!" Aku menggeleng kuat, menahan semua air mata yang hampir saja tumpah. Bagaiman bisa aku meninggalkan dia yang sedang sekarat ini sendirian. "Tolong izinkan saya menjaganya, Pak. Saya mohon," pintaku tulus pada Pak Alfian. 

Sontak aku bersimpuh di depannya memohon agar aku masih diizinkan bersama putrinya. Semua yang terjadi di antara kami tidak mungkin bisa kulupakan seperti menyapu air.

"Kamu masih muda, Pram. Mungkin saja, Hana tidak akan bertahan lama," kata Pak Alfian lagi. Suaranya bergetar dan akhirnya tangisnya pun pecah. "Maaf saya memaksamu menikahinya dahulu, saya menyesal melakukannya, tapi saya juga sadar, pernikahan itu bukan hal main-main yang saat kalian bosan bisa diputuskan. Pram, saya terbawa emosi, maafkan saya."

"Di saat sesulit ini, tidak mungkin saya meninggalkannya begitu saja.  Kalaupun nanti, dia tidak kembali, kami tidak bisa bersama lagi, setidaknya saya diizinkan untuk melepasnya dengan baik-baik, Pak. Saya mohon."

"Saya tidak ingin merusak masa depanmu, Pram. Pergilah, tinggalkan Hana di sini. Jika takdir memang menyatukan kalian, saya berjanji, akan menerima kamu dengan lapang dada. Kalaupun dia tidak selamat, saya tidak akan menyalahkanmu, Pram." 

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now