20. AWAL PECAH RAIDRES

94 8 0
                                    

Bel pulang sudah berbunyi 10 menit yang lalu. Namun, dua penghuni SMAVA belum ada niatan pulang. Albara dan Aleanora, sepasang kekasih itu belum ada niatan pulang. Sedangkan teman-teman mereka sudah pulang terlebih dahulu. Aleanora, perempuan penyuka bola itu, sedang menemani Albara latihan futsal.

Bukan, bukan latihan futsal, tapi mereka memang sengaja. Mereka memang sengaja berada di lapangan futsal, untuk main-main.

"Ra," panggil Albara.

"Hm?"

"Jangan berharap," kata Albara, serius.

Aleanora mengernyit,"Berharap?" ulang perempuan tersebut. Albara mengangguk,lalu ia merapikan rambut Aleanora yang acak-acakan, karena angin.

"Jangan berharap sama manusia,Ra. Berharap sama manusia itu, taruhannya kecewa. Dan lo, jangan berharap sama gue juga, Ra, karena bisa jadi gue bagian dari kecewa tersebut."

Aleanora menatap lelaki tersebut,"lalu bagaimana cara tidak berharap,Al?" tanya Aleanora. Ah, Aleanora tidak tahu untuk tidak berharap. Karena kata itu selalu ada di fase hidupnya.

"Bukankah berharap kata yang hampir selalu ada dalam hidup?"

"Dan kecewa itu risikonya," lanjut Aleanora.

Albara mengangguk,"Jangan percaya dan selalu ingat, bahwa orang tersebut akan pergi," ujar Albara, serius.

"Manusia tidak ada yang baik,Ra. Mereka bersembunyi di dalam kemunafikan, bahkan, gue bisa jadi salah satunya." Memang benar, manusia tidak ada yang baik, mereka munafik.

"Jadi, jangan terlalu berharap,oke?" Aleanora mengangguk,lalu tersenyum tipis.

Hening.

Lapangan futsal tersebut hening, saat kedua insan tersebut berhenti berbicara. Keduanya sibuk berperang dengan pikiran masing-masing.
"Pulang?"

Aleanora mengangguk,lalu mereka saling menggenggam. Dan melangkahkan bersama, kebetulan gerbang sekolah belum tertutup.

Dari lapangan futsal sampai parkiran, mereka tidak saling bicara. Hingga Albara memakaikan Aleanora helm.

Lalu,Albara membisikan sesuatu,"Beruntung bertemu lo, beruntung sekali."

                                            🪐

Waktu terus berputar, jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik. Hari juga tidak terasa menjadi malam. Seperti kali ini, malam ini markas Raidres begitu menegangkan.

Pasalnya, ini keputusan tentang Devan.

Albara menatap anggotanya datar, ia melirik jam. Ternyata sudah pukul 11 malam, ia ternyata sudah lama menunggu Devan. Hingga suara motor memasuki pekarangan markas Raidres, sudah pasti itu motor Devan. Karena mereka hampir tahu suara motor masing-masing.

"Anjir gue deg-degan," bisik Kaivan pada Faldo yang di sampingnya. Karena suasana benar-benar menegangkan, apalagi sedari tadi mereka tidak bercanda.

Albara tersenyum miring."Dari mana aja lo?" tanya Albara, saat Devan memasuki markas. Lalu Albara bangkit, berhadapan dengan Devan, sambil menatapnya datar.

"Sorry." Devan menunduk.

"Lo pikir sorry bisa bayar kesalahan lo selama ini?" tanya Albara masih santai, karena ini masih sahabatnya.

"Gue tanya sekali lagi, kemana lo?" tanya Albara masih santai. Ia paling tidak suka jika ada yang tidak menjawab pertanyaannya.

Lalu Kaivan bangkit, berdiri di tengah-tengah mereka. "Santai, ngomongin baik-baik," lerainya, sambil setenang mungkin.

BANDUNG DAN KISAH KITA Where stories live. Discover now