PROLOG

9.6K 371 27
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Diah memasuki pintu ruang perawatan seraya membawa makanan yang baru saja ia beli. Ia duduk di samping ranjang yang menjadi tempat berbaring Ibunya sehari-hari. Rumah sakit itu sudah sangat sering dikunjunginya selama bertahun-tahun, sejak seluruh anggota keluarganya pindah ke Bogor. Diah tidak pernah banyak menghabiskan waktu di rumah, karena harus menemani orang sakit di dalam keluarganya. Mulai dari Kakeknya, Neneknya, Ayah, Kakak, Adik, dan kini juga Ibunya. Ibunya adalah yang paling terakhir terkena penyakit aneh yang menimpa keluarganya. Setelah kematian Adiknya dua tahun lalu, Ibunya langsung menderita penyakit yang sama. Yang mana penyakit itu tidak pernah bisa dijelaskan oleh Dokter mana pun.

"Bu, ayo makan dulu. Ibu sejak tadi belum makan. Makanan rumah sakit tidak enak, bukan? Ini sudah aku belikan makanan dari luar agar Ibu bisa makan," ujar Diah, mencoba membangunkan Ibunya.

Suri membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke arah Diah yang tengah menatap seraya mengusap-usap wajahnya dengan lembut. Diah tersenyum saat Suri menatapnya. Namun lain halnya dengan Suri, yang langsung meneteskan airmata ketika menatap wajah putrinya.

"Maafkan, Ibu. Selama ini Ibu hanya bisa memberikan kesulitan untuk kamu. Maaf," lirihnya.

Diah sudah terbiasa mendengar permintaan maaf itu dari bibir Ibunya. Setiap kali Suri menatapnya--saat masih sehat ataupun ketika sakit--selalu saja terucap permintaan maaf kepada Diah tanpa alasan yang jelas.

"Bu, jangan minta maaf terus. Ibu enggak salah apa-apa padaku. Aku pun enggak merasa marah pada Ibu, meskipun harus menjalani hidup penuh kesulitan seperti yang selama ini aku jalani. Terkadang kita perlu berpikir positif, Bu, bahwa Allah hanya sedang memberikan kita cobaan. Allah tidak mungkin menyiksa hamba-Nya sendiri, Bu. Allah selalu sayang pada semua umat-Nya. Kalau pun ada hal yang harus Ibu lakukan saat ini, hal itu jelas bukanlah meminta maaf. Ibu mungkin ingin mulai menjelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga kita? Kenapa seluruh anggota keluarga kita bisa mendadak mengidap penyakit yang bahkan Dokter pun tidak bisa menjelaskan soal penyakit itu? Kenapa semua orang sakit tanpa bisa sembuh, lalu meninggal hanya dalam kurun waktu dua tahun? Kenapa seperti itu, Bu? Ada apa, sebenarnya?" tanya Diah.

Suri pun dengan cepat menyeka airmatanya, lalu menggelengkan kepala seperti biasa. Diah sudah tahu bahwa lagi-lagi Suri menolak untuk memberi tahu Diah yang sebenarnya terjadi di dalam keluarga mereka. Sebagai seorang putri yang begitu menyayangi Ibunya, Diah tentu saja tidak bisa memaksa jika Suri memutuskan untuk tidak memberi tahu dirinya. Itu adalah hak Suri sepenuhnya dan Diah merasa tidak berhak untuk memaksa.

"Kalau Ibu tidak mau cerita, aku tidak akan memaksa. Ayo, sebaiknya Ibu segera makan, agar perut Ibu tidak kosong sebelum tiba waktunya minum obat," bujuk Diah.

"Ibu enggak lapar, Nak. Ibu sedang tidak ingin makan," balas Suri.

Diah kembali memandangi wajah Ibunya begitu lama seraya melamun. Ia ingat betul bagaimana semuanya bermula. Dua belas tahun lalu saat usianya masih tiga belas tahun, mendadak Almarhumah Neneknya mengambil keputusan untuk pindah dari rumah milik keluarga mereka ketika Almarhum Kakeknya tiba-tiba sakit tanpa alasan. Kepindahan mereka dari Surabaya ke Bogor benar-benar terjadi tanpa rencana. Entah apa yang sebenarnya terjadi, Diah tidak pernah diberi tahu. Meski telah pindah sejauh mungkin dari rumah keluarganya yang lama, tetap saja seluruh anggota keluarganya mengalami sakit yang sama satu-persatu. Setelah Almarhum Kakeknya meninggal, Almarhumah Neneknya sakit. Setelah Almarhumah Neneknya meninggal, Ayahnya yang sakit. Begitu seterusnya sampai Diah juga kehilangan Ayah, Kakak, serta Adiknya.

Kini, Ibunya yang harus menjalani penderitaan itu. Penderitaan yang sama dan sudah jelas akan memberikan hasil yang sama. Diah mungkin hanya perlu menunggu waktu saja, hingga dirinya nanti akan menempati posisi yang sama dan menghadapi akhir yang sama. Dia jelas tidak bisa melarikan diri meskipun ingin. Segalanya seakan sudah tertulis seperti itu di dalam takdir milik Allah, sehingga Diah merasa tidak perlu berlari ke mana pun demi menghindari kenyataan.

"Nak," panggil Suri, lirih.

Lamunan Diah tentang keluarganya pun buyar dalam sekejap, lalu berganti dengan fakta bahwa ia masih harus menghadapi Ibunya yang tengah sakit.

"Iya, Bu? Ada apa? Ibu sudah mau makan?" tanya Diah.

Suri pun menggelengkan kepalanya, lemah. Wanita paruh baya itu mencoba tersenyum pada Diah meski sedang menahan-nahan rasa sakit. Diah kembali mengusap rambut dan wajah Ibunya dengan penuh kasih sayang. Entah mengapa, rasanya kali itu Diah ingin menatap wajah Ibunya jauh lebih lama dari biasanya.

"Dengar Ibu baik-baik, Nak. Jangan pernah kembali lagi ke rumah lama milik keluarga kita. Tetaplah menjauh dan kalau perlu jangan kamu ingat-ingat lagi. Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia," pesan Suri.

Diah terdiam sesaat usai mendengar pesan yang Suri ucapkan. Pikirannya mencoba meresapi maksud dari pesan itu. Namun entah mengapa batinnya justru langsung berperang dengan akal sehatnya.

"Maksudnya apa, Bu? Kenapa Ibu sampai harus berpesan seperti itu padaku? Ada apa di rumah lama milik keluarga kita? Kenapa aku tidak boleh pulang lagi ke sana?" tanya Diah, bertubi-tubi.

"Dengarkan saja yang Ibu katakan, Nak. Jangan dilanggar," pinta Suri.

"Tapi, Bu ...."

Tuuuuuuuut!!!

Dengungan panjang mendadak terdengar dari mesin EKG yang selalu memperdengarkan detak jantung Suri. Diah tak bisa lagi mengatakan apa-apa. Kepanikan melanda dirinya yang segera berlari keluar dari ruang perawatan, untuk meminta tolong pada Perawat ataupun Dokter. Segala upaya telah dilakukan oleh pihak rumah sakit untuk membantu menyadarkan Suri kembali seperti sediakala. Namun, takdir benar-benar berkata lain dan Diah harus kembali menghadapi kehilangan.

Pemakaman Suri berlangsung begitu cepat. Tidak ada kerabat yang melayat dan bahkan tidak ada tamu yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Diah sudah terbiasa dengan semua itu ketika satu-persatu anggota keluarganya meninggal dunia bertahun-tahun lalu. Kini ia kembali menghadapi hal yang sama, jadi ia merasa tidak perlu terlalu menganggap hal itu adalah hal yang baru. Sepi adalah teman baiknya. Bahkan kini ia benar-benar harus menghadapi sepi tanpa siapa pun di sisinya.

Diah memandangi sebuah foto lama yang ia dapat dari kamar orangtuanya. Foto itu diambil saat mereka tengah merayakan keberhasilan Almarhum Ayahnya yang baru saja mendapatkan proyek baru. Itu adalah foto keluarga yang diambil terakhir kalinya, sebelum Almarhum Kakeknya mendadak sakit tiga minggu kemudian. Tatapan Diah bukan terarah pada wajah-wajah yang kini sudah pergi lebih dulu ke hadapan Allah. Tatapannya kini hanya tertuju pada rumah lama milik keluarganya, yang menjadi latar dari foto tersebut.

"Aku akan kembali ke sana. Aku harus mendapat jawaban," tegas Diah, kepada dirinya sendiri.

* * *

KUTUKANWhere stories live. Discover now