47. Destinasi

9 4 1
                                    

"Hana, bangunlah," bisikku lembut padanya yang masih lelap di dalam dekapanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hana, bangunlah," bisikku lembut padanya yang masih lelap di dalam dekapanku. Kami sudah berada jauh dari kastil menakutkan itu. Sekarang, kami hampir sampai di danau kaca yang Kano katakan. Kami berhenti sebentar di bawah pohon rindang di padang rumput yang begitu indah.

"Hana gak mau bangun, Hana takut ini cuma mimpi, dan saat Hana membuka mata, Bapak hilang dari hadapan Hana."

Aku mengeratkan pelukan. Aku juga sama, tak ingin berpisah darinya jika kami terjaga nanti.

"Hana, apa kau ingat semua yang terjadi di antara kita?" Aku hanya ingin memastikan, jika dia sudah mengingatku atau tidak.

Hana tidak menjawabnya, dia hanya mengeratkan pelukannya dan membuatku hampir tidak bisa mengendalikan diri.

"Mas, adakah cara agar kita tidak saling melupakan?"

Aku tidak punya jawaban dari pertanyaannya itu. Hatiku rasanya ngilu mendengarnya, jika memang tidak akan saling lupa, mungkin itu akan menjadi hal yang lebih baik.

Tuhan, tolong kami.

Hana menempelkan tangannya ke pipiku, "Mas nangis? Mas takut?"bisiknya dengan suara lirih.

Aku tak lagi bisa mengendalikan diriku. Aku mengecup keningnya, lalu turun pada bibir tipisnya. Aku tak ingin melepaskannya, biarlah kami tenggelam sebentar dalam gelora terlarang ini. Biarlah, aku menjadi bejat untuknya sebentar saja. Kalau nanti kami sama-sama lupa, semoga kenangan ini akan samar-samar terbayang di hati kami berdua.

"Sayang," ucapku lembut setelah aku melepas panggutan. "Aku akan berusaha mengingatmu sekuat tenaga."

Dia menangis tersedu, dalam dekapanku. Hatiku sekarang, sangat ngilu, aku kembali mengecup bibirnya, seakan tak ingin dia segera pergi dari hadapanku.

Namun, daun-daun pohon mulai terdengar berisik. Mereka memintaku untuk berhenti sebentar dan segera lari dari tempat kami sekarang.

Dia melepas panggutannya dan mendorong dadaku pelan. Pandangan matanya mengarah ke padang rumput. Dia diam sebentar, seperti sedang menyisir padang rumput untuk mencari sesuatu.

"Apa sayang?"

"Ada yang datang, Mas," katanya setengah berbisik. Jemari lentiknya ada di bibirku sekarang. Aku pasti sudah hampir gila karena gelora setan ini hampir menguasaiku. Aku memejamkan mata.

"Mas, jangan merem-merem gitu, ini kita mungkin saja sedang dalam bahaya."

"Tuhan, bocah ini benar-benar menjengkelkan, tidakkah dia tahu apa mauku sekarang," gerutuku dalam hati.

Aku juga sedang mendengarkan pohon tempat kami berlindung. "Cepat larilah, kalian tidak aman di sini."

Aku cepat-cepat menarik tangannya dan berlari ke arah danau. Namun, belum sempat lagi kami sampai di sana. Ada yang jatuh dan mendarat di hadapan kami sekarang.

Laki-laki dengan sayap hitam besar dan mata hazelnya. Dia menyeringai, "di sini rupanya kalian!"

Aku menarik Hana agar berdiri di belakangku, tetapi dia memilih berdiri di sampingku dan menatap makhluk besar itu dengan seksama.

"Kau ajudan ibu, kan?" katanya tanpa ragu.

"Hana, siapa dia?" Wajahnya sangat mirip dengaku. Aku menarik Hana agar menjauh darinya.

"Kalian berdua sengaja menarik aku ke dunia ini karena kau sudah membunuh Hana di dunia ini kan?"

Aku sungguh tidak mengerti apa yang baru saja Hana katakan. Makhluk besar itu mendekat, Kini, jaraknya hanya beberapa inci saja. Sayap besarnya perlahan menutup dan dia pun mendarat di depan Hana.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Hana?" Aku berusaha memahami situasi asing ini. Namun, makhluk itu malah mendekat dan mencengkeram leherku. Dia mengangkat tubuhku tinggi. Napasku tercekat. Aku mencoba menendang ke segala arah untuk menyelamatkan diri. Namun, di saat yang sama, napasku rasanya makin sulit dan semua terasa gelap. Tubuhku melayang tinggi dan mendarat pada permukaan air yang dingin.

Aku membuka mata sebentar, hanya air yang gelap yang sekarang ada di hadapanku. Kucoba menggerakkan kaki dan tangan, tetapi semuanya sia-sia belaka. Aku bahkan tidak bisa memalingkan wajah, semuanya terasa begitu sesak sekarang.

Hanya suara Hana yang sayup terdengar dan makin menghilang disertai lengkingan tinggi yang memekakkan telinga. Aku benar-benar tak berguna. Harusnya aku bisa lebih kuat, dia membutuhkan aku sekarang. Sebuah sinar putih tiba-tiba saja menyergap, aku ditarik kuat dan melayang tinggi.

Mataku terbuka lebar, ada tirai putih di hadapanku. Bau khas alkohol menyengat masuk ke hidungku. Aku mencoba duduk dan melihat sekelilingku. Seorang dokter yang sedang berjaga menatap ke arahku. Dia segera mendekat dan memeriksa kondisiku.

"Saya di mana?"

"Bapak di UGD, tadi Bapak pingsan jadi, kami bawa ke sini."

"Sudah berapa lama saya tak sadarkan diri?" tanyaku lagi.

"Hm, sekitar 4 jam lebih."

"Hana! Saya harus mencari Hana."

Aku segara meloncat dari tempat tidur dan melepaskan jarum infus dalam satu tarikan. Aku tak peduli pada darah yang menetes dari tanganku dan segera berlari ke ICU. Namun, seorang dokter wanita menangkapku dan menahan langkah kakiku. Dia menyeretku ke sebuah kursi dan segara membersihkan tangaku.

"Apa yang kau kejar, kenapa begitu terbutu-buru? Lihat tanganmu yang berdarah ini, apa kau mau mengotori lantai yang susah payah dipel ini dengan darahmu? Duh, mau cari apa, sih? Bill kamu udah dibayar, kok, gak perlulah kabur gitu.

Aku mencoba mengamati wajah wanita di depanku. Dia hanya menunduk dan fokus pada tanganku. Walau begitu, dia tidak berhenti meracau dan mengomeliku.

"Saya harus melihat istri saya."

Dia mengangkat kepalanya dan menatapku lurus. Wajah dokter muda itu terlihat sedikit familier. Dia kembali menunduk dan memberikan plester ke tanganku.

"Lain kali, kalau mau ketemu istri, infusnya dibawa aja. Ini bukan film aksi, di mana kau akan baik-baik saja saat menarik jarum infus sembarangan. Aku sedang tak ingin melihat ada yang meregang nyawa di sini," omelnya lagi.

"Saya harus pergi."

Aku segara berlari tanpa menghiraukan orang-orang yang menatap heran ke arahku. Tujuanku sekarang ke ICU untuk mencari Hana. Aku tak yakin, tetapi dia mungkin saja sudah terjaga, sama sepertiku.

Langkah kakiku terhenti di depan pintu ICU. Ada sebuah bed yang didorong pelan dengan seseorang yang ditutupi kain putih. Di sebelahnya ada dua orang yang sedang menangis tersedu. Mereka Pak Alfian dan Bu Laras. Aku pun segera berlari dan menarik kain putih itu.

Tubuhku begitu lemas, saat melihat tubuh kaku Hana yang terlihat tersenyum manis itu. Aku jatuh terduduk di samping tempat tidur. Pak Alfian mencoba menarikku, membantu berdiri.

"Praaaaaaaam, Hana... Praaaaaam." Tangis parau pria paruh baya itu membuat hatiku semakin ngilu. "Hana, Pram. Hana...." isaknya lagi sambil memelukku erat.

Anak satu-satunya kini berpulang. Bagaiman mungkin aku bisa membujuknya untuk segera tenang. Aku pun tak bisa bernapas lagi rasanya.

Tuhan, kenapa takdir yang kau timpakan padaku begitu kejam.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang