- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Semua orang terdiam usai mendengar luapan amarah dari mulut Diah. Nafas Diah terlihat naik-turun, usai menghadapi genderuwo yang baru saja melarikan diri dari rumah itu. Beberapa saat setelahnya, Deden dan Fikri baru menyadari di mana Diah tengah berada saat itu.
"Diah ... Dek, ayo turun. Turun pelan-pelan dari sana," bujuk Deden.
"Non, pelan-pelan saja turunnya. Jangan buru-buru, karena takutnya Non Diah jatuh," tambah Fikri, ikut membujuk seperti yang Deden lakukan.
Diah kini mengarahkan tatapannya ke arah halaman, lalu menyadari bahwa semua orang tengah menatapnya dengan penuh ketakutan. Ia kemudian berbalik dan melompat dari pembatas balkon yang dipijaknya. Kelakuannya itu sukses membuat semua orang hampir terkena serangan jantung. Diah pun kembali bersandar pada pembatas balkon di lantai dua tersebut, sambil menatap ke arah Deden dan Fikri.
"Kalian berdua kenapa? Aku ini bukan anak kucing yang harus dituntun untuk turun pelan-pelan. Aku sudah dewasa dan tahu sampai di mana kemampuanku ketika melakukan sesuatu. Jangan terlalu sering cemas seperti itulah, Mas. Nanti Mas Deden dan Mas Fikri bisa terkena serangan jantung ringan kalau terlalu sering cemas," saran Diah.
Fikri dan Deden kini hanya bisa ternganga ketika mendapat ceramah dari Diah. Diah kini berbalik dan akan kembali masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya terhenti, saat sadar kalau tadi dirinya melompat keluar jendela dan memecahkan kacanya akibat mengejar genderuwo. Ia pun segera kembali melongok ke halaman dan menatap ke arah Eman yang masih menatap ke balkon atas bersama Laila, Rusdi, dan Yunita.
"Paklik ... kaca jendelanya pecah," adu Diah, sambil menunjukkan ekspresi bersalah sekaligus takut di wajahnya.
"Iya, Non. Tidak apa-apa. Sebentar akan Paklik ganti kacanya dengan yang baru," sahut Eman, berusaha menenangkan Diah.
"Hati-hati saat masuk kembali ke dalam, Non. Pelan-pelan saja, agar kaki Non Diah tidak terkena pecahan beling," ujar Laila, yang kemudian segera masuk kembali ke dalam rumah.
Diah mengangguk patuh, lalu segera kembali masuk ke dalam rumah melalui jendela yang ia lewati tadi. Deden dan Fikri masih terdiam di tempatnya, meski kini Diah sudah tidak berada di balkon lantai dua.
"Katanya dia bukan anak kucing," ujar Fikri.
"Tapi, kok, dia memasang ekspresi seperti anak kucing saat berbuat salah?" lanjut Deden.
Kedua pria tersebut segera beranjak menuju ke teras rumah itu. Eman kini tengah mengobrol dengan Rusdi dan Yunita. Kemungkinan, Eman tengah menceritakan soal Diah seperti yang Fikri lakukan tadi saat bicara dengan Deden. Diah keluar dari rumah dan tersenyum begitu manis seperti biasanya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kemarahan di wajahnya seperti yang tadi mereka lihat, ketika wanita itu sedang menghadapi genderuwo.
"Mas, aku mau jalan-jalan," pinta Diah kepada Fikri.
"Mau jalan-jalan ke mana? Ini masih tengah hari bolong, Non. Panas," ujar Fikri.
"Justru karena cuacanya panas, makanya aku ajak Mas untuk temani aku jalan-jalan. Kalau hujan, mana mungkin aku mau ajak Mas Fikri jalan-jalan? Yang ada aku akan dimarahi sama Bulik dan Paklik karena mengajak Mas Fikri jalan-jalan sambil hujan-hujanan," balas Diah, yang tidak mau keinginannya terpatahkan oleh penolakan dari mulut Fikri.
Deden berusaha menahan tawa sekuat mungkin. Fikri belum pernah kalah debat dengan siapa pun selama ini. Tapi tampaknya, kali ini Fikri jelas tidak akan bisa memberikan perlawanan terhadap balasan yang baru saja Diah berikan. Pria itu tampaknya tidak punya ide untuk menolak permintaan Diah.
"Ya sudah, Non Diah mau jalan-jalan ke mana?" tanya Fikri.
"Ke warung makannya Pak Tarjo, Mas," jawab Diah, penuh semangat.
"Loh? 'Kan Non Diah baru saja selesai makan. Kok sekarang sudah mau makan lagi?" heran Fikri.
"Ya Allah, Mas Fikri. Pak Tarjo buka warung makan tapi tidak hanya menjual makanan, loh, Mas. Pak Tarjo juga jual minuman di sana. Aku mau beli jus alpukat."
Lengkap sudah semua syarat tidak bisa menolak yang harus dihadapi oleh Fikri. Deden kini benar-benar tertawa ketika melihat wajah nelangsa Fikri yang baru pertama kali ia lihat.
"Aku enggak pernah kalah debat. Non Diah jelas salah satu orang yang tidak seharusnya aku ajak berdebat," keluh Fikri, dengan suara pelan.
"Hm, sabar saja. Bukankah sejak kecil dia sudah begitu?" tanggap Deden.
Mereka bertiga berjalan bersama menuju warung makan Pak Tarjo yang begitu terkenal sejak dulu, di Desa Benowo. Deden memilih ikut bersama Fikri dan Diah. Ia ingin bicara lebih banyak dengan Diah, karena sejak tadi ia belum sempat bicara banyak dengan wanita itu. Seseorang muncul dari sebuah gang dan langsung menghentikan langkah mereka bertiga. Deden dan Fikri jelas sudah terbiasa dihentikan seperti itu di tengah jalan. Namun lain halnya dengan Diah yang terlihat cukup kaget, karena diberhentikan mendadak.
"Hai. Kalian mau ke mana?" tanya Zainal.
"Mau ke warung makannya Pak Tarjo," jawab Fikri.
"Terus ... ini siapa? Kok dia pergi bersama kalian berdua?" Zainal mulai mengamati Diah dengan seksama.
"Ini Diah Prawira, Zain. Putri dari Keluarga Prawira," jawab Deden.
"Diah Arasti Prawira, Mas. Namaku tidak sesingkat nama Almarhum Kakak dan Adikku," protes Diah kepada Deden.
Kedua mata Deden langsung membola ketika mendapat protes dari Diah. Wanita itu kini sedang melayangkan tatapan sengitnya ke arah Deden, sementara Fikri mulai tertawa pelan karena akhirnya Deden mendapat tatapan sengit yang menjadi ciri khas Diah jika sedang kesal.
"Oh ... dia adalah Diah yang dulu suka lari-larian bersama Ayu dan Rida sambil bawa-bawa sapu lidi, tho? Jadi dia sekarang akan tinggal di sini lagi?" tanya Zainal lagi.
Tatapan sengit Diah kini beralih kepada Zainal.
"Mas Zain, tolonglah jangan bahas-bahas aibku saat masih kecil. Mas Zain tentu tidak mau kalau aibnya aku buka di depan Mas Deden dan Mas Fikri, 'kan?" ancam Diah.
"Loh? Kok kamu bisa tahu siapa namaku? Memangnya kamu masih mengenali siapa aku, ya, setelah dua belas tahun tidak bertemu?" heran Zainal.
"Siapa yang bisa lupa sama Mas Zain, kalau dulu setiap hari Ayu selalu saja membahas soal Mas di depanku dan Rida. Mas Zain adalah orang yang Ayu suka sejak baru masuk SMP. Memangnya sampai detik ini Ayu belum pernah bilang soal perasaannya terhadap Mas Zain, gitu?" tanya Diah.
Wajah Zainal memerah dalam sekejap, usai mendengar fakta tersebut dari mulut Diah. Bahkan Fikri dan Deden ikut ternganga dan hanya bisa saling menatap satu sama lain dalam diam. Pada saat itulah Diah tersadar bahwa dirinya telah membuka rahasia Ayu, padahal Ayu belum pernah bilang apa-apa kepada Zainal.
"O-ow! Uhm ... Mas Zain bisa rahasiakan hal barusan? Aku ... aku takut Ayu marah kalau sampai dia tahu, bahwa aku sudah membocorkan rahasianya secara tidak sengaja pada Mas Zain," mohon Diah.
"Mm ... boleh, Dek. Tapi dengan satu syarat," Zainal pun tersenyum menyebalkan.
* * *

YOU ARE READING
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...