Bab 8; Cara Hujan Menggerus Tiap Rasa Sakit

2.4K 399 266
                                    

Bab 8;Cara Hujan Menggerus Tiap Rasa Sakit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bab 8;
Cara Hujan Menggerus Tiap Rasa Sakit

________________________________________

Manado, Desember, lima tahun yang lalu.

Sebelum hari ini tiba, Kala tidak pernah mengira akan ada waktu di mana ia harus meninggalkan Jakarta dengan air mata. Beberapa kali ia memang pernah membayangkan untuk bepergian ke tempat-tempat yang jauh, mengunjungi sudut-sudut lain dunia yang luas, tetapi bukan kepergian semacam ini. Bukan pergi dengan seluruh luka dan tangis. Bukan pergi dengan banyaknya rasa sakit.

Kala tidak pernah ingin meninggalkan Jakarta dengan cara seperti ini.

Ini baru hari pertama, tetapi Kala sudah merindukan Jakarta seolah ia sudah pergi sangat lama. Karena ternyata rasanya aneh sekali, saat ia tidak mendapati siapa-siapa ketika terbangun di kamarnya pagi ini. Saat tidak ada Denta di separuh sisi kasurnya yang dingin, juga saat suara anak itu tidak ia dengar sama sekali. Pagi pertamanya di kota ini rasanya jadi berkali-kali lebih berat, daripada di pagi sebelumnya, saat ia tahu akan segera meninggalkan Jakarta. Meninggalkan Mama. Meninggalkan Denta.

"Pa," panggil anak itu, kalau tidak keliru di detik ke-tiga setelah Papa menghabiskan suapan nasi terakhirnya. Sekarang piring di hadapan lelaki itu sudah kosong, berbanding terbalik dengan milik Kala.

Harus diakui, meja makan pagi itu terasa luar biasa dinginnya. Satu porsi bubur Manado yang Papa belikan untuk Kala bahkan hanya ia aduk-aduk untuk disisihkan daun kemanginya. Sementara yang paling mencolok dari meja makan pagi itu adalah fakta bahwa sejak tadi malam, sejak meninggalkan rumah Mama di tengah hujan, selama menunggu jadwal penerbangan yang terpaksa delay beberapa jam karena cuaca tidak memungkinkan, dan sampai mereka akhirnya menginjakkan kaki ke tanah Sulawesi yang belum pernah satu kali pun Kala datangi, tidak ada pembicaraan panjang apa pun di antara ia dan Papa.

Sekat dingin panjang itu seolah mengurung keduanya, mulai dari semalam dan bertahan sampai sekarang. Diamnya Papa membuat Kala tidak berani mengatakan apa-apa. Percakapan terakhir mereka adalah saat Papa menyuruhnya untuk istirahat dini hari tadi, dan Kala baru berani memanggil Papa lagi pagi ini.

"Kenapa?" Saat itu Papa akhirnya mengangkat pandangan, dan sepertinya lelaki itu juga baru menyadari bahwa sejak tadi Kala bahkan belum menghabiskan separuh porsi sarapannya. "Kamu nggak suka makanannya?"

Anak itu menggeleng. Sejenak ia terdiam, menggigit bibir dalamnya untuk beberapa detik sebelum akhirnya kembali menatap Papa. Ada beberapa hal yang tidak ia mengerti dari kepergian mereka ke kota ini, termasuk saat Papa tiba-tiba meminta ponselnya di sepanjang perjalanan tadi malam dan masih menyimpannya entah di mana sampai saat ini. Maka, kali ini, di hadapan Papa yang sepertinya sudah tampak jauh lebih baik daripada hari kemarin, Kala mencoba mengajak lelaki itu berbicara lebih panjang.

"Aku udah boleh minta Hp-ku lagi? Seenggaknya kita perlu kasih kabar ke mereka. Dan aku juga perlu tau kabar mereka."

Sebab, semenjak meninggalkan kediaman Mama, Kala benar-benar tidak tahu lagi bagaimana keadaan di sana. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Mama setelah mobil taksi yang ia naiki bersama Papa itu membawanya menjauh. Ia tidak tahu kapan Denta berhenti menangis. Ia juga tidak tahu pesan-pesan apa saja yang mungkin sudah anak itu kirimkan ke nomornya. Kala ingin tahu bagaimana semalam Denta melewati malam pertama tanpa dirinya, ia juga ingin tahu bagaimana anak itu terbangun untuk pertama kali di pagi hari ... tanpa ia di sekitarnya.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now