Bab 12; Senja Akan Selalu Indah Selama Kita Tidak Sedang Patah Hati

2.3K 336 199
                                    

Bab 12;Senja Akan Selalu Indah Selama Kita Tidak Sedang Patah Hati

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bab 12;
Senja Akan Selalu Indah Selama Kita Tidak Sedang Patah Hati

____________________________________________

Jakarta, 5 tahun yang lalu.

Malam itu adalah malam ke-enam semenjak pertengkaran Mama dan Papa, di mana Papa lagi-lagi absen menemani si kembar duduk di ruang tengah, menonton televisi, dengan satu toples pringles yang dimakan berdua. Lelaki itu hanya bergabung untuk makan malam, lalu pergi lagi setelah menerima telepon dari seseorang. Katanya urusan pekerjaan. Akan tetapi, sebagai seorang anak yang tidak bisa lagi dibilang anak-anak, Denta tahu lelaki itu hanya menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk menghindar. Nyatanya, tidak ada pekerjaan yang akan menjadikan seorang kepala keluarga menjauhi keluarganya sendiri.

Mama dan Papa sedang tidak baik-baik saja. Itu yang sebenarnya terjadi. Dan yang membuat Denta semakin yakin bahwa memang ada dinding tinggi yang sedang dibangun oleh kedua orang tuanya, adalah Mama yang tiba-tiba bertanya aneh sekali. Sejauh Denta mengenal Mama, ia tahu wanita itu suka sekali berbicara. Isi kepala wanita itu selalu seluas samudra dan kadang-kadang Denta bahkan tidak bisa menebak topik tentang apa yang akan dia bawa. Sama seperti bagaimana Mama membuat Denta beralih dari suara keran air yang menyala malam itu.

"Kalau Papa lagi nggak di rumah begini, rasanya kayak kita cuma hidup bertiga aja, ya?"

Jam saat itu sudah hampir menyentuh pukul sepuluh, saat Denta turun dari kamar dan mendapati Mama sedang membereskan piring-piring bekas makan malam. Kala yang sedang kurang enak badan hari itu sudah tidur di kamarnya setelah meminum obat penurun panas. Dan sekarang, di dapur yang terasa lebih dingin dari beberapa jam lalu itu, hanya Denta yang menemani Mama. Membantunya mencuci piring. Mendengarkannya bercerita.

Namun, ia tidak pernah mengira kalau topik obrolan yang Mama bangun malam itu akan berlabuh ke sana.

"Lama-lama jadi terbiasa."

Perasaan Denta itu selalu lebih peka daripada siapa pun, dalam hal-hal paling kecil sekalipun. Ia bisa mendengar getar berbeda dari cara Mama mengubah topik obrolan mereka. Ia bisa menangkap isi pikiran wanita itu yang keruh ketika dia mulai menyebut nama Papa. Kemudian, pertanyaan berikutnya dari wanita itu adalah hal yang sebenarnya paling Denta hindari sejak malam di mana ia diam-diam mendapati Mama dan Papa bertengkar.

"Seandainya Mama tanya sama kamu, kamu bakal lebih suka hidup sama Mama atau sama Papa, jawaban kamu apa?"

Suara air keran yang mengguyur deras permukaan piring saat itu seperti tersamar. Satu buah gelas kaca yang sedang Denta keringkan saat itu hampir terlepas jika tidak segera ia genggam erat-erat. Anak itu dengan segera menoleh ke arah Mama. Wanita itu tidak beralih. Masih sibuk menggosok-gosok piring dengan spons yang penuh busa. Masih bergerak mondar-mandir memisahkan piring yang basah dengan yang sudah kering.

Denta tidak menghitung ada berapa banyak detik yang terlewat sejak Mama menyelipkan pertanyaannya di antara gemericik air dan samar-samar suara angin. Tetapi sepanjang jeda itu, Denta menggigit kuat bibir dalamnya. Sampai kemudian ia membuang satu hela napas panjang dan melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Ia meraih satu lagi gelas yang sudah selesai dicuci oleh Mama untuk kemudian dikeringkan dengan kain lap di genggamannya.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now