20. Keputusan

212 26 3
                                    

Obrolan di meja makan sering kali acak topiknya dicetus oleh seseorang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Obrolan di meja makan sering kali acak topiknya dicetus oleh seseorang. Di sela-sela suara denting alat makan dan piring, Agasi melemparkan beberapa pertanyaan kepada kedua anaknya, mengenai perkembangan mereka di sekolah. Maliq memberitahu niatnya masuk ke salah satu kampus dan menceritakan keputusannya meninggalkan beberapa kegiatan di sekolah untuk fokus belajar—semester depan dia seorang siswa kelas XII, jika ingin lolos menjadi mahasiswa di kampus yang dia inginkan maka dia harus bersungguh-sungguh. Sementara Ewil kurang tertarik menjabarkan rencana masa depannya, kedua orang tuanya sudah tahu niatnya masuk ke SMA yang sama bersama Renu dan teman-teman lainnya—kedua orang tuanya juga sudah tahu beberapa bulan ke belakang dia rutin belajar bersama kelompok belajarnya.

“Aku ga nuntut kalian berlebihan, aku cuma minta kalian konsisten sama keputusan kalian. Melanjutkan sekolah di mana saja boleh. Yang aku minta jangan sampai bikin aku malu dengan kelakuan menyimpang.”

“Kelakuan menyimpang, gimana?” tanya Ewil kepada Ayahnya.

“Pacaran boleh dong?” celetuk Maliq.

“Kamu punya pacar?” tanya Yolan.

“Ga,” jawab Maliq. “Kali aja bagi kalian pacaran itu termasuk kelakuan menyimpang.”

“Anak seumuran kalian sangat wajar tertarik dengan hal-hal baru. Karena itu edukasi sejak dini sangat diperlukan. Peran orang tua membantu kalian menelaah mana hal baru yang harusnya didekati atau justru dijauhi,” kata Agasi. “Aku sangat berterima kasih kalau kalian mau terbuka dengan aku atau mama kalian, menceritakan hal baru yang kalian kurang pahami.”

“Jadi, pacaran itu kelakuan menyimpang atau bukan?”

“Tergantung bagaimana sikap kamu saat pacaran.” Agasi menatap Ewil. “Sex bebas jelas ga bisa aku normalkan di keluarga kita.”

“Gimana kalo salah satu dari anak Ayah melakukan hal menyimpang?” Ewil meletakkan alat makannya di atas piring, berhenti makan.

“Aku akan kecewa, Ewil Agasi Putra. Akan sangat kecewa,” ucap Agasi pelan namun penuh penekanan.

Ewil menunduk. “Paham,” gumamnya, lalu melanjutkan makan dengan tenang.

Obrolan di meja makan berlanjut ke topik-topik acak lainnya. Ewil masuk ke kamarnya setelah membantu Yolan mencuci piring. Berbaring telentang di atas empuk kasurnya, lalu kusut dari benang-benang di dalam kepala bermunculan.

🐰

“Besok boncengan ke rumah om Dirman yuk. Beli es krim dulu depan kompleks, terus keliling sebentar sebelum ngadem di perpustakaan.”

“Ga,” tolak Ewil.

Rahang Renu jatuh dengan sorot mata kecewa. “Kok ga?”

“Gue mau pergi sama nyokap.”

“Oh.” Alasan yang bersangkutan dengan orang tua memang tak terbantahkan. Renu memanyunkan bibirnya. “Sendirian dong gue di rumah.”

“Man nyokap lo?”

“Ke Bangkok. Bokap di Singapura. Yeri nginap di rumah temannya.”

“Kasihan banget lo.”

“Dan lo jalan sama nyokap lo.”

“Main sama yang lain aja,” saran Ewil.

Langkah kaki Renu berhenti di tengah koridor. “Tumben?” katanya.

“Tumben?” ulang Ewil, menoleh ke belakang.

“Biasanya lo ga senang kalo gue ngajak yang lain dulu.”

“Kan kali ini gue ga bisa main sama lo, jadi sama yang lain aja.”

“Gue ada salah?”

“Salah apa?” ujar Ewil, melanjutkan langkahnya. “Ga ada deh.”

Dia terus melangkah meninggalkan titik berhenti Renu. Melewati gerbang dan masuk ke dalam mobil Agasi yang menjemputnya.

Tidak ada acara apa pun bersama mamanya esok hari. Semenjak obrolan di meja makan tentang hal-hal menyimpang dan kekecewaan ayahnya jikalau dia melakukan itu, dia mulai menciptakan jarak, lebih sering menolak ajakan Renu bermain berdua di luar jam sekolah atau jadwal belajar bersama mereka, menghindari Renu, mencoba melupakan kesenangannya.

Bagaimanapun tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menjadi alasan kecewa orang tuanya. Dia bukan anak sempurna menuruti semua amanat orang tuanya, namun membuat mereka kecewa, itu hal buruk dan dia tidak menginginkannya.

Lalu, beberapa hari sebelum kelulusan diumumkan pihak sekolah, dia berkata kalau dia akan masuk ke SMA yang sama dengan SMA kakaknya—bukan sekolah yang SMA seperti teman-temannya.

“Kenapa?” tanya Renu.

“Bokap bakal semakin sibuk dengan proyeknya tahun depan. Satu sekolah dengan bang Maliq biar ga bikin repot bokap antar-jemput gue lagi."

"Lo bisa ikut jemputan gue," ujar Renu.

"Gue ga bisa nebeng lo tiap hari, Ren."

"Rumah kita berseberangan.”

“Karena itu bukan masalah kalo kita ga satu SMA.”

Renu mengatup rapat bibirnya. Merapatkan duduk ke Rayi. Menggigit ujung jarinya sampai kuku di sana terpotong.

🐰

“Lo kenapa sih?” tanya Eno. “Cuma perasaan gue atau lo emang jauhin Renu.”

“Gue ga bisa, No.”

“Apa yang lo ga bisa?”

“Terus suka sama Renu.”

“Selama ini gue pikir lo cukup nyaman suka sama Renu tanpa status.”

“Ga bisa,” gumam Ewil. “Gue harus berhenti suka sama Renu.”

“Gue ga mau bikin ortu gue kecewa.”

“Dengan menjauhi Renu?”

Ewil mengangguk.

🐰

The Sandy [ HyuckRen ]Where stories live. Discover now