PROLOG

209 36 22
                                    

"Kemiskinan tak ubahnya sebuah kejahatan yang tidak kau lakukan." (Eli Khamarov)

🌸🌸🌸

Kalingga tidak pernah memahami kenapa ibunya mau repot-repot menjemur diri di  tengah matahari terik dan duduk bersimpuh di tengah-tengah halaman rumah yang luasnya hampir bisa digunakan untuknya bermain bola dengan tim lengkap. Jauh lebih luas dibandingkan halaman sekolahnya yang cuma sekolah dasar negeri di pinggiran Jakarta. Hanya saja ia sama sekali tidak mengira bakal duduk di halaman paving yang luas dan terasa amat membakar pantatnya nyaris ke permukaan kulit. Beberapa jam yang lalu, Ibu hanya minta ditemani ke suatu tempat karena ada hal penting yang harus ia lakukan. Wajah sayunya membuat wanita itu terlihat lebih tua dibandingkan usianya karena sejak kematian ayah Kalingga, ibunya tidak pernah lagi merasakan tidur nyenyak.

"Sudahlah, Bu... Jangan berbuat begini dan merepotkan orang banyak. Perusahaan sudah memberikan kompensasi yang cukup besar buat keluargamu. Apa itu masih kurang?"

Seorang pria yang mengenakan setelan rapi menghampiri Natri, ibu Kalingga yang memasang wajah teguh sekalipun dahinya dipenuhi tetes-tetes keringat yang berkumpul dan makin memperlihatkan rautnya yang pucat.

"Kompensasi katamu? Semudah itu kalian mengerdilkan nyawa seseorang? Seseorang yang menjadi tulang punggung keluarga dan tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan perusahaan? Aku cuma butuh keadilan. Keadilan bahwa kematian suamiku bukan disebabkan kelalaian pekerja seperti yang kalian katakan pada media!"

Natri mengeluarkan ponsel keluaran lama yang sudah agak kuno dari tangannya. "Ini buktinya. Sebelum kecelakaan itu terjadi, suamiku sempat mengirim sms yang mengatakan dia berusaha menemui supervisor untuk mengatakan bagian podium proyek apartemen yang sedang dibangun itu patah dan akan bahaya kalau sampai ambruk. Dia bilang ucapan dia sama sekali tidak didengar supervisor proyek dan menyuruhnya tetap bekerja. Kalau saja bukan karena suamiku memperingati pekerja lainnya, korban pasti akan bertambah banyak. Karena itu aku minta—Aaaaakh!!!"

"Ibu!" Kalingga yang terkejut buru-buru menangkap tubuh ibunya sebelum tersungkur.

Pria bersetelan itu dengan gilanya menendang tangan Natri hingga ponsel di tangannya terlepas, lalu dengan cepat pria itu menginjak ponsel kecil itu sekuat tenaga dengan sepatu pantofel mahal yang dikenakannya.

Kalingga mendongak, mendapati kemarahannya turut meluap tatkala menyaksikan betapa angkuh dan kejam sosok pria yang ada di hadapannya.

"Mana yang kamu sebut bukti itu? Silakan saja kalau kamu mau bawa ini ke pengadilan. Kamu pikir omongan ngawurmu itu bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan di depan jaksa dan hakim? Naif sekali..."

"Pengecut! Kalau kalian benar-benar tidak bersalah, harusnya Pak Dirut mau menemuiku dan mendengarkan keluhanku, tapi apa? Dia cuma bersembunyi seperti tikus kotor dengan menyuruh orang sepertimu menghadapiku." Suara Natri yang penuh amarah tumpang tindih dengan napasnya yang memburu. Kalingga menyadari telapak tangan ibunya kini gemetaran.

"Bu! Sudah... Ibu bisa pingsan," ucap Kalingga lirih.

"Ibu nggak akan ikhlas dengan semua ini, Kal. Ibu nggak akan bisa hidup tenang selama orang-orang ini menutupi kebenarannya."

Kalingga tidak sanggup melihat sosok wanita yang dicintainya bergerak merangkak menyedihkan hanya untuk mengambil sebongkah ponsel lama yang kini layarnya sudah retak. Baru saja tangan kurus itu mencapai benda kecil itu, sepatu milik pria kasar itu sudah menginjak jari-jari pucat Natri. Seketika wanita itu menjerit pedih seiring dengan suara retak bersamaan dengan derit sepatu yang menginjak jemari itu bagaikan menginjak kerikil tajam. Kalingga tidak sempat berpikir lagi dan mencengkeramkan tangannya di kaki pria bertubuh tinggi besar itu. Ia hanya berharap usahanya sanggup menghentikan tindakan semena-mena lelaki yang memandang rendah ibunya. Namun, sayangnya, tubuh Kalingga terlalu kecil dan kurus dibandingkan tenaga milik pria itu. Dengan mudah, pria itu membuat tubuh Kalingga terpelanting dengan hanya mendorong kakinya saja.

STOLEN (Gerha Purana Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang