Chapter 2: Coming Home

57 15 10
                                    

Pulang adalah satu hal yang lucu. Semuanya terlihat sama, terasa sama, pun aromanya juga sama. Kau akan menyadari yang berubah adalah dirimu sendiri. (F. Scott Fitzgerald)

🌸🌸🌸

3 Tahun Kemudian

Zetira baru menyalakan ponselnya saat langkahnya melewati pintu kedatangan di bandara Soekarno - Hatta. Sesaat dia menyadari ponselnya masih terhubung dengan jaringan provider USA, yang artinya jika ingin memberi kabar pada teman-temannya tentang kepulangannya ke Indonesia, Zetira harus menghubungkannya dengan Wifi atau memakai ponsel lain khusus untuk nomor Indonesia. Ah, sepertinya hal itu masih bisa ditunda. Zetira kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berusaha mengedarkan pandangannya untuk mencari sesosok familiar yang sebelumnya berjanji akan menjemputnya.

Zetira berjalan keluar dengan cepat. Entah ini hanya perasaannya atau apa, tapi rasanya beberapa pasang mata menatapnya dengan takjub. Tidak. Bukan hanya beberapa saja, rasanya semua orang yang melewatinya seolah berhenti sejenak untuk mengamati Zetira. Terlebih, mesti tanpa melihat, beberapa kali Zetira mendapati sosok-sosok orang yang mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. Apa-apaan ini? Apa dia mulai berhalusinasi?

Zetira tidak ingin menduga-duga. Saat ini dia hanya ingin fokus menemukan sesosok familiar di antara kerumunan orang. Tak berapa lama dia pun mendapati sepasang matanya menangkap siluet wanita berusia tiga puluhan yang melambaikan tangan dengan antusias.

"Tiraaa!!!" seru wanita itu dengan suara yang melengking, nyaris membuat semua orang menoleh ke arahnya.

"Tante Yeyen!" Zetira membalas lambaian wanita itu sembari tersenyum lebar. Dia pun setengah berlari menghampiri, dengan kemeja oversized motif garis dari Bottega Veneta yang dikenakannya sedikit berkibar saat udara malam Jakarta menerpa wajahnya. Syukurlah, penampilannya yang boyish dengan sepatu ankle boot Manolo Blahnik andalannya tidak membuatnya kesulitan berjalan cepat hingga melesat ke pelukan sosok yang dia sayangi melebihi orang tua kandungnya sendiri.

"Gila, kapan sih lo nggak pernah nggak cantik? Lo keluar dari bandara tuh auranya udah kayak idol Korea kalo lagi difotoin paparazi tahu nggak? Airport fashion lo udah on point pula. Ponakan gue yang ini bikin ngiri aja sih."

Wanita berpenampilan feminin dengan rok terusan warna pastel itu menyerahkan koper dan bawaan Zetira pada sesosok sopir yang mengikuti di belakangnya. Dengan patuh, sopir pria itu menaruh bawaan Zetira ke dalam bagasi.

"Tante kelewatan ah mujinya. Ini karena kita jarang ketemu aja, Tan... Tante gimana kabar? Masih belum bisa nyetir ya?" goda Zetira. Seketika wanita dengan rambut bob itu mencubit pipi Zetira.

"Hih, jangan suka ngeledek orang tua. Nanti kualat. Lagian, apa enaknya nyetir sendiri, kan lebih enak disetirin dan nggak usah pusing-pusing mikirin mau nyari jalan tikus yang mana lagi buat hindarin macet."

Zetira pun terkikik geli. Dia lega, sosok kesayangannya sama sekali tidak berubah. Baginya, Tante Yeyen sudah amat menyenangkan sejak Zetira masih kecil. Meski terlahir dari keluarga kaya seperti dirinya, Yeyen terbiasa mandiri dengan orang tua yang tidak terlalu mengekang. Sesuatu yang membuatnya iri dan berandai-andai andai Mama juga sama menyenangkannya dengan adik bungsunya itu. Cantik, bahagia hidup melajang dan hidup tanpa tekanan karena terlahir bungsu dengan jarak yang cukup jauh dengan kakak-kakaknya membuat hidup Tante Yeyen bebas dari sorotan. Ketika kakak-kakaknya terlibat persaingan untuk menduduki posisi penting di perusahaan yang dibesarkan oleh ayah Yeyen sekaligus kakek Zetira, tantenya itu memilih menarik diri dan memilih profesi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik perusahaan sekaligus keluarga. Hasilnya, dengan perjuangannya sendiri Alyena Dinar, bibi bungsu dari keluarga Prawirayasha berhasil mengobarkan nama sebagai aspiring fashion designer.

Hidup Tante Yeyen yang bebas dan penuh keseruan seolah-olah hanya memiliki satu kelemahan dan Zetira tidak pernah bosan menyinggungnya. Fakta bahwa Tante Yayan sangat menyukai mobil mewah, tapi tidak pernah bisa mengendarainya membuatnya tidak pernah tidak lucu. Ada tiga unit mobil mewah di garasi rumah Tante Yeyen, termasuk mobil Mercedes Benz S-Class yang sekarang mereka naiki. Meledek ketidakmampuan Tante Yeyen dalam menyetir dan mengingat arah akan selalu menjadi kelemahan kecil yang dijadikan bahan candaan saat mereka bertemu.

"Jangan terlalu nyaman disetirin sopir, Tan... cari suami lah biar Tante juga bisa duduk di depan, sambil cipokan pas mobil ngebut di atas 130 km/jam," goda Zetira lagi.

"Heh, lo doain gue cepet mati?"

"Ya kan emang gitu gunanya punya mobil mewah. Lamborghini punya Tante yang warnanya kuning gonjreng mana enak dibawa macet-macetan di Jakarta. Bawa ngebut dong, sambil pacaran tapi," kedip Zetira.

"Lagak lo tuh ya, berasa yang udah pengalaman banget urusan pacaran. Baru juga digosipin sama aktor Korea udah kayak–"

"Wait, Tan... lo ngomong apa?" tanya Zetira kebingungan. Kenapa tiba-tiba Tante Yeyen membahas soal aktor Korea? Memang siapa yang dimaksud? "Gua digosipin sama siapa emangnya?"

"Lo serius nanya? Atau lo mau pura-pura polos depan gue?"

"Di antara semua teman-teman gue, cuma di depan Tante gue sangat jarang berpura-pura. Apa untungnya buat gue pura-pura, Tan?"

Di saat yang sama, dering notifikasi ponselnya mendadak beruntun membanjiri indera pendengarannya. Layar ponsel Zetira bergerak dengan cepat sesaat setelah ponsel lamanya menyala kembali. Ribuat mention membanjiri notifikasi Instagramnya yang tenang dan pesan-pesan pribadi Whatsapp membuat ponselnya nyaris meledak dengan bunyi-bunyi yang memekakkan telinga. Dan semua berlangsung begitu cepat. Belum lagi akun media sosialnya yang lain terus-menerus mendapatkan mention dari banyak orang. Rasanya terlalu naif jika menganggap ini semua cuma kebetulan.

"Oh makes sense kalau lo nggak tahu apa-apa, ternyata lo habis kemping di gua," gumam Yeyen dengan ekspresi meledek keponakannya.

"Tan, gue mati gaya di pesawat non stop dari LA ke Jakarta selama 19 jam tanpa koneksi internet. Memangnya apa yang bisa terjadi dalam waktu kurang dari sehari sampai-sampai tante gue sendiri ngomongin gue seolah-olah gue orang lain? Memangnya gue salah apa?"

Yeyen menunjuk ke layar ponsel Zetira. "Kayaknya bakal lebih cepet kalau lo sendiri yang ngecek semua notif yang mampir ke akun medsos lo ketimbang gue cerita."

Dengan cepat, Zetira membaca semua pesan masuk, pesan grup, hingga beberapa akun-akun gibah yang memiliki follower ratusan ribu yang menyebut namanya. Membaca semua kabar dan berita-berita yang menyinggung dirinya, refleks membuat Zetira menutup mulutnya.

What the efff?

Seketika Zetira ingin mengumpat dan telapak tangannya pun terasa dingin. Jet lag telah membuat tubuh dan pikirannya terasa lelah. Ada sesuatu membuncah dan menyesaki kepalanya yang butuh dikeluarkan. Zetira mencoba memejamkan mata, melemaskan jemarinya yang terkepal dan mengambil napas panjang.

Yeyen menatap keponakannya dengan sorot mata simpati sembari mengelus rambut Zetira, lalu mengambil ponsel Zetira dari genggamannya.

"Lo butuh istirahat, kalau nggak tics lo bakal balik. Rumor yang lagi trending ini nggak lebih penting ketimbang kesehatan lo, Ra."

Zetira memandangi jalanan di luar mobil. Udara Jakarta yang begitu panas dan terik ditambah kemacetan yang familiar seolah menuntutnya untuk tidak lengah. Anehnya, Zetira tidak merasa bahwa dirinya telah pulang. Dia bukan kembali ke rumah, melainkan penjara yang segera akan merenggut kebebasannya.

***


Note:

Met hari Senin, biar nggak bete kutemenin sama update-an dari Zetira. Apa kabar kalian? Part minggu ini agak pendek yak... Semoga sebelum Senin depan, masih sempet update satu part lagi. Untuk sementara ini dulu.

Jan lupa vote dan komen, cintyaaah...

STOLEN (Gerha Purana Series)Where stories live. Discover now