seragam Bapak

78 12 22
                                    

Dulu sekali, entah tahun kapan itu, aku anak yang kurang ajar ini menemukan baju hijau neon dengan jaring-jaring berserta garis perak di kedua sisinya. Ia ada di lemari pakaian orang tuaku di mana seragam sekolahku sama-sama digantung juga bersebelahan bersamanya. Kubilang dengan sedikit mengejek, "Loh, kok ono klambi ngeneki, Pak?¹" Kebetulan di sana sedang ada Bapak.

¹ "Loh, kok ada baju seperti ini, Pak?"

Bapak saat itu tersenyum lebar, kumisnya yang lebat terangkat naik, tetapi kepalanya agak menunduk sebentar. Beliau menjawab, "Bapak ndaftar dadi tukang parkir di swalayan, tapi koyok e kapusan. Wis mbyar pitung puluh lima ewu, je, eh duite digowo. Bapak malah ora isoh kerjo.²"

² "Bapak mendaftar jadi tukang parkir di swalayan, tetapi ternyata tertipu. Sudah membayar tujuh puluh lima ribu, eh, uangnya dibawa. Bapak malah tidak bisa bekerja."

Aku berhmm-hmm sejenak, mengangguk sekali, lalu kembali berjalan keluar kamar tanpa mengkomentari apa pun. Di dalam hati aku membatin, "Bapak yang egonya tinggi sekali itu ... kok ya mau gitu loh mencoba jadi tukang parkir?"

Hanya semenit aku sok-sokan berpikir sebelum bertemu jawabannya. Betul juga sih, bengkel motor di samping sawah seperti milik kami, tak akan laku-laku amat. Mungkin hanya akan dapat recehan dari orang-orang yang butuh isi angin, biasanya petani atau siswa/i. Bapak hanya akan meminta seribu rupiah sebagai bayarannya. Menambal ban pun paling tenaganya dihargai 5000 rupiah sahaja, karena Bapak tahu, orang-orang yang mampir ke bengkel kami kebanyakan tidak punya banyak uang.

Kalau apes, yang datang justru orang yang barusan jatuh di depan bengkel kami, berdarah-darah, kecelakaan. Hingga Bapak tak enak hati untuk meminta uang ongkos dari hasil kerja kerasnya membenarkan setang yang bengkok, lampu yang pecah, sampai motor nan ringsek. Belum lagi pas ada korban yang meninggal di tempat, terseret dan terpental, keluarga kami sering dituduh melaksanakan praktek pesugihan.

Hah, yang benar dong bicaranya. Rumah kami ialah satu-satunya rumah di desa itu yang tidak memiliki dinding semen. Hanya anyaman bambu yang dicampur dengan papan asbes, terpal, juga kayu maupun triplek bekas. Menyewa lagi. Kalau benar pesugihan, orang tuaku sudah bikin supermarket di Kota sana. Aku sudah terbang ke Jepang, beli apartemen, buang-buang uang di maid kafe sambil ngumpulin gatcha. Adikku mungkin sudah menetap di Korea satu kilometer dari SMTown, tiap hari nonton konser Kpop, bukannya jadi duo anak bidikmisi gini, aih.

Lalu kupikir lagi, meski jasa servis alat semprot listrik obat hama atau pupuk (sprayer tanaman) yang dikerjakan Bapak bisa mengantongi 50.000 rupiah per alat, tapi ya, paling sebulan cuma satu sampai dua orang saja yang datang.

Masih kuingat betul, beberapa minggu setelah Bapak meninggal masih banyak orang dari atas bukit sana, turun mencari rumah kami. "Bapakmu ono, Nduk? Isoh ndandani iki ora?³" tanyanya, sambil meletakkan alat semprot dengan keadaan badan masih penuh lendhut⁴, kulit masih dihujani peluh, juga sepatu bot yang terlihat berat sekali akibat tingginya tanah, kerikil, bahkan rumput yang menempel.

³ "Bapakmu ada, Nak? Bisa mbenerin ini tidak?"

⁴ Lumpur

Aku bingung Pak, mau menjawab apa waktu itu. Aku tidak pintar berbahasa Jawa meski sudah setua ini. "Bapak sampun sedo, Pak.⁵" Jawabanku ya hanya sepotong template pendek itu. Setelahnya, semua hening, mereka meminta maaf sebelum berpamitan dengan senyuman. Meskipun yang terlihat olehku hanyalah beban di punggung mereka yang terasa lebih berat.

⁵ "Bapak sudah meninggal, Pak."

Kutebak mereka bertanya-tanya, "Di mana lagi harus kami temukan orang yang bisa memperbaiki alat ini? Sudah jauh dari rumah. Mau ke mana? Bengkel lain sudah pasti tidak mau."

ketika usiamu hampir tiga puluhWhere stories live. Discover now