19. MULAI MENERIMA

3 0 0
                                    

Zee menerima semua yang terjadi dengan kekuatan yang tak pernah dia tahu dari mana asalnya. Kedua orang tuanya akhirnya bercerai, dan kini dia tinggal bersama Zarra. Itu pilihannya. Sedangkan Brian pergi entah ke mana dengan kekasihnya. 

Soal materi Zee tidak khawatir, karena dia sudah terbiasa mengatur uang sakunya sedemikian rupa. Sebagai bentuk tanggung jawab, Brian masih terus menggelontorkan uang untuk kebutuhan putrinya. Miris, hubungan anak dan ayah, kini hanya sebatas materi. Bukan Zee yang memutuskan, tetapi Brian yang membuat semuanya terputus dan hancur. 

"Zee, hari ini ujian hari terakhir, kan. Fokus dan jangan pikirin hal lain. Janji?" Zarra khawatir Zee terpecah fokus karena perceraiannya. Melihat beberapa waktu terakhir putrinya sudah lebih baik. 

Zee sempat membuat Zarra khawatir, karena putrinya jadi pendiam dan mengurung diri dalam kamar. Kalaupun dia keluar hanya untuk sekolah. Bahkan dia minta berhenti les, berganti dengan sering begadang dan mengikuti bimbel online. 

"Zee berangkat, Ma!" 

"Bekalnya sudah Mama masukkin ke tas kamu, ya. Jangan lupa dimakan." 

"Ya, Ma!" 

Zarra melanjutkan hidup dengan bisnis barunya setelah bercerai. Usaha butik busana pengantin cukup menjanjikan baginya. Ide kreatifnya berkembang terus dan pelanggan yang pernah order tak segan-segan mengungkapkan kepuasannya di sosial media.

"Lilis! Saya ke butik. Bahan untuk makan siang sudah ada di kulkas. Masak menu favoritnya Zee, ya." 

"Baik, Bu." 

Lilis tetap ikut Zarra ke rumah baru. Rumah yang lama dijual dan uangnya disimpan atas nama Zee. Zarra tidak meributkan harta gono gini. Soal materi dia bisa mencarinya. Keputusan itu dirasa sudah adil baginya. 

***

"Pagi, Zee!" Jovan menyapa saat mereka berpapasan menuju kelas masing-masing. 

"Pagi, Van!" Zee tersenyum tipis. Dia sudah lama tahu Jovan sudah berubah. Dia ikut senang mengetahuinya

"Semoga lancar ujiannya, Zee. Gue duluan." Jovan berbelok menuju kelasnya. 

Sedangkan Zee lurus ke arah perpustakaan. Kelasnya berada satu baris dengan ruangan perpustakaan. Tak lama bel masuk berbunyi, semua tas ditaruh di depan kelas. Seperti biasa siswa hanya membawa alat tulis untuk mengerjakan soal. 

Sudah jadi hal biasa Zee jadi siswa pertama yang selesai lebih dulu. Di depan kelas Zee terkejut Jovan duduk di bangku depan kelasnya. 

"Lo ada waktu nggak, Zee? Gue mau traktir lo mie ayam favorit lo. Kali ini gue yang bayar. Beneran!" 

Zee sudah menolak ajakan Jovan sebelumnya. Tidak ada salahnya kali ini dia terima ajakan itu, kan. 

"Ok, kita berangkat sekarang?" 

"Serius? Lo mau?" 

"Iya. Ayo, sebelum gue berubah pikiran." 

"Oke oke. Ayo!" 

Sepanjang perjalanan suasana canggung tercipta. Baik Zee atau Jovan, keduanya tidak ingin membahas tentang hal sudah terjadi. Jangan sampai hubungan yang mulai membaik ini jadi rusak lagi. 

"Sebentar gue isi BBM dulu, ya." 

Dulu, Zee yang akan membayar tagihannya. Kali ini Jovan sudah sedia uang di kantong bajunya. 

Benar-benar berubah, Jovan bukan lagi yang boros dan semaunya sendiri. Mereka sangat menikmati mie ayam favorit Zee. Obrolan pun seru dan rasa canggung pun mencair seketika. 

Mobil Jovan matikan tepat di depan gerbang rumah Zee. 

"Makasih traktirannya, dan udah diantar pulang juga." Zee melepas sabuknya dan hendak membuka pintu. 

"Zee." 

"Ya?" 

"Gue seneng kita bisa baikan. Bisa jalan bareng seperti sekarang." 

Berbagai pertanyaan mulai berdatangan di otak Zee. Apa Jovan mau ngajak balikan? Kalau iya, Zee sudah pasti akan menolak. Situasi dirinya tidak siap untuk hal itu. 

"Tapi lo …." 

Jovan tersenyum. "Santai Zee. Tenang aja, gue udah cuma pengen jadi temen lo."

Senyum pun terukir, Zee lega. 

"Thank's, Van. Jujur gue lagi kacau dan nggak siap kalo lo berharap hal lain saat kita bisa deket gini." 

"Ya, gue paham, Zee. Semua yang terjadi pasti nggak mudah buat siapa pun. Gue sendiri belum tentu kuat kalo ada di posisi lo." 

Zee tersenyum lebar mendengar kalimat bijak yang keluar dari mulut Jovan. 

"Kenapa? Nggak percaya gue tulus?" 

Zee menggeleng cepat. "Bukan. Gue bangga sama lo yang sekarang. Tetap seperti ini ya, Van. Gue yakin lo bakal nemuin cewek yang juga tulus sama lo." 

Kalo boleh sih, gue maunya lo, Zee. Tapi gue sadar lo masih butuh waktu. Hati lo masih luka karena ortu lo cerai, ditambah lagi Derren yang ngilang. 

"Berkat lo, gue  berusaha berubah Zee. Ok, gue pulang, ya. Salam buat Tante Zarra." 

"Ok. Ati-ati, lo!" 

"Siap!" 

Rumah sepi lagi, tetapi terasa berbeda sekarang. Dulu sepi yang menyiksa, sekarang sepi itu hanya berarti kata. Hati Zee lebih lega dia tahu Zarra bekerja dan akan pulang di sore hari. Mereka bahagia dan lebih ringan melanjutkan hidup. 

Zee segera mengganti bajunya. Gerah dan lapar jadi satu. Teh Lilis pasti masak menu kesukaannya. 

"Apa Mama akan pulang makan siang?" gumamnya sambil menuju meja makan. 

"Teh Lilis, Mama bilang makan siang di rumah, nggak?" Zee mencomot perkedel kentang di atasnya meja. 

"Nggak tahu, Mbak. Tadi cuma pesan suruh masak menu favoritnya Mbak Zee." 

Lilis menuangkann air putih untuk Zee. Anak majikannya itu langsung mengambil nasi dan lauk yang tersedia. 

"Teh, makan sekalian sama Zee, yuk! Lebih enak kalo makan bareng." 

Lilis menurut, dia mengambil piring dan ikut makan bareng Zee. 

Tak lama setelah Zee menandaskan makan siangnya, ada pesan masuk di ponselnya. 

Dari Mama:
Zee, maaf, ya, Mama nggak bisa pulang buat makan siang. Ada klien baru yang mau order gaun. Tapi Mama pulang sore, kok! Makan yang banyak, ya.

Zee membalas kalau baru saja selesai makan. Baru saja ponsel ditaruh dan berniat mengambil perkedel lagi, ponselnya berbunyi. Saat dilihat layarnya menampakkan nomor tak dikenal. 

Zee ragu mau angkat, hingga deringnya berhenti Zee memilih tetap menikmati perkedel kentang favoritnya. Tak lama ponselnya berdering dari nomor yang sama. 

"Siapa, sih?" geram Zee. Dia paling malas kalau ada nomor asing yang menghubungi seperti ini. 

"Angkat aja, Mbak, siapa tahu penting." Lilis yang melihat Zee ragu menyarankan untuk mengangkat telepon itu. 

Zee akhirnya menggeser tombol hijau dilayar ponselnya. 

"Zee." 

Suara ini tidak asing di telinganya. 

Bersambung

Siapa tuh yang telepon? Finally, bisa mampir lagi ke sini.

Aduh, bener" jadwal nggak bisa diprediksi. Maaf, ya.

Thank you so much for reading.



I Love You, Derren (END) Where stories live. Discover now